,

Faktor Non-Yuridis Jadi Pertimbangan Pemberat Vonis Ferdy Sambo

Dalam beberapa bulan terakhir ini, kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J kerap menghiasi pemberitaan di media massa. Publik menaruh perhatian besar dalam kasus tersebut dengan mengikuti setiap episode proses hukumnya. Irjen Ferdy Sambo adalah salah satu terdakwa yang banyak disorot publik karena dianggap otak dalam kasus pembunuhan Brigadir J. Dari beberapa terdakwa, Ferdy Sambo merupakan terdakwa pertama yang dijatuhi vonis oleh majelis hakim. Dari tuntutan pidana seumur hidup, majelis hakim menjatuhkan vonis lebih tinggi yakni pidana mati.

Pengajar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Ari Wibowo, S.HI., S.H., M.H. menilai vonis mati yang dijatuhkan hakim kepada Ferdy Sambo, tidak semata-mata didasarkan pada faktor yuridis (hukum) saja. Namun juga faktor non-yuridis seperti keadaan diri terdakwa, akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana yang dilakukan terdakwa, cara terdakwa melakukan tindak pidana, keadaan korban tindak pidana, dan lain sebagainya. 

“Faktor non-yuridis inilah yang paling banyak mempengaruhi hakim dalam menentukan bobot pidana yang dijatuhkan. Hakim akhirnya memilih menjatuhkan pidana mati bukan pidana lainnya karena melihat faktor non-yuridis sebagaimana dicantumkan dalam alasan-alasan yang memperberat,” jelasnya.

Menurut majelis hakim, ada banyak alasan yang memperberat pidana Ferdy Sambo, antara lain kedudukan Ferdy Sambo sebagai Kadiv Propam Polri, korban adalah ajudan yang telah mengabdi selama 3 (tiga) tahun, perbuatan Ferdy Sambo mengakibatkan duka yang mendalam bagi keluarga korban, dan perbuatan Ferdy Sambo menimbulkan keresahan bagi masyarakat luas. “Majelis hakim menganggap tidak ada alasan-alasan yang memperingan, sehingga wajar jika hakim mengganjar dengan pidana mati,” katanya.

Ia melanjutkan, dalam suatu putusan, paling tidak hakim akan mempertimbangkan 3 (tiga) kepentingan sekaligus, yaitu terdakwa sendiri, korban, dan masyarakat. Untuk tindak pidana yang relatif ringan atau sedang hakim biasanya masih mempertimbangkan kepentingan terdakwa untuk memperbaikinya (rehabilitasi). 

Sementara untuk tindak pidana yang berat, hakim akan lebih cenderung mempertimbangkan kepentingan korban dan masyarakat (general deterrence). Dalam putusan Ferdy Sambo, hakim jelas menganggap perbuatan yang dilakukannya merupakan tindak pidana berat, sehingga vonis yang dijatuhkan cenderung berpihak kepada kepentingan korban dan masyarakat. 

Selain itu, penjatuhan pidana mati menunjukkan bahwa hakim cenderung menggunakan teori tujuan pemidanaan retributif atau pembalasan (quia peccatum) dengan berpandangan bahwa perbuatan Ferdy Sambo yang sangat keji dan tidak manusiawi patut diganjar dengan pidana yang setimpal (talio beginsel).

Sedangkan secara teoritis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sanksi pidana dirumuskan dengan pola antara, yaitu ada rentang minimal dan maksimal. 

“Pidana minimal (straf minima) untuk semua tindak pidana adalah sama, sementara pidana maksimalnya (straf maksima) masing-masing tindak pidana berbeda. Inilah yang dikenal dengan sistem pidana minimum umum-maksimum khusus,” ungkapnya.

Ia pun menambahkan salah satu perbuatan yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap Ferdy Sambo adalah tindak pidana pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP. Ancaman pidana maksimalnya berupa pidana penjara 20 tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati. 

“Sementara pidana minimal untuk semua tindak pidana adalah 1 (satu) hari. Di sini, secara yuridis hakim diberikan kewenangan untuk menjatuhkan pidana di antara rentang 1 (hari) penjara sampai dengan pidana maksimal tersebut,” pungkasnya.