Kemampuan Bercerita, Bukan Pencitraan

Beberapa waktu lalu, dalam perjalanan dari Jakarta, saya menyempatkan diri mengunjungi sebuah toko buku. Saya membeli sebuah buku berjudul How to Tell a Story karya Meg Bowles dan kawan-kawan (2023).

Mengapa buku ini saya beli? Saya teringat perjalanan ke beberapa musem yang ada Eropa. Koleksi yang mereka punya sepintas “terlihat biasa”, tetapi mereka mampu menghadirkan narasi yang menggugah dan kontekstual, narasi yang luar biasa. Kemampuan menarasikan peristiwa atau bercerita inilah yang perlu kita asah.

Kemampuan bercerita relevan untuk banyak konteks: interaksi personal, komunikasi profesional, penyampaian gagasan di ruang publik, penulisan ilmiah, hingga penulisan status di media sosial. Cerita yang baik dapat menjembatani jarak, membangun kepercayaan, dan memikat perhatian.

Sambutan ini terinspirasi beberapa gagasan dalam buku tersebut, terkait dengan bagaimana menceritakan pengalaman yang sifatnya personal. Meski perlu juga dicatat, artikel jurnal ilmiah atau buku juga intinya adalah bercerita (Angler, 2020). Gagasan atau temuan riset yang sama, bisa diceritakan dengan cara yang berbeda.

 

Cerita yang jujur

Buku tersebut mengingatkan kita bahwa kekuatan cerita personal tidak terletak pada kehebatan tokohnya, tapi pada kejujuran dan kerentanannya. Cerita yang mampu menggugah hati adalah cerita yang tidak dibuat-buat, yang menunjukkan sisi manusiawi—tempat di mana orang lain bisa melihat dirinya sendiri. Dalam konteks ini, kelulusan bukanlah akhir cerita, melainkan kelanjutan dari perjuangan yang sudah Saudara jalani, penuh warna dan emosi.

Kita sering tergoda untuk hanya menampilkan bagian yang indah dari perjalanan kita—kesuksesan, penghargaan, dan pencapaian. Padahal, cerita yang membekas justru sering berasal dari saat-saat kita tersandung. Saat merasa tidak cukup pintar. Saat nilai tidak sebaik harapan. Saat waktu hampir habis dan ide belum juga muncul. Tapi Saudara memilih bertahan. Di sanalah keajaiban narasi dimulai.

Dalam dunia yang makin dipenuhi dengan citra sempurna, keberanian untuk mengakui ketidaksempurnaan adalah tindakan radikal. Cerita tentang bagaimana Saudara pernah gagal, lalu bangkit, lebih jujur dan lebih kuat dibanding cerita kemenangan yang steril. Karena justru di saat-saat terendah, karakter diuji dan dibentuk. Dan di situlah orang lain bisa belajar, terinspirasi, dan terhubung secara emosional.

Cerita hidup bukan lomba pencitraan. Ia bukan katalog prestasi, melainkan perjalanan batin. Maka, tak perlu malu untuk bercerita tentang rasa takut, keraguan, atau kesedihan yang Saudara alami selama masa studi. Sebab, setiap detik yang Saudara lalui adalah bagian sah dari perjuangan, dan tidak satu pun dari itu sia-sia.

 

Menulis cerita hidup

Cerita yang layak dibagikan bukan yang membuat kita terlihat hebat, tapi yang menunjukkan kita tetap berusaha meski keadaan sulit. Dan orang-orang tidak terinspirasi karena kita tak pernah jatuh, melainkan karena kita selalu berusaha bangkit. Cerita seperti inilah yang membentuk empati, memantik semangat, dan menumbuhkan rasa percaya bahwa setiap orang punya ruang untuk berkembang.

Kegagalan bukan tanda bahwa Saudara lemah, tetapi bahwa Saudara sedang belajar. Bahkan, keberhasilan hari ini tidak berdiri sendiri. Ia dibentuk dari akumulasi keberanian di masa-masa sulit. Maka, jika Saudara hari ini berdiri di panggung kelulusan, itu bukan karena tidak pernah gagal, tetapi karena tidak menyerah ketika gagal.

Kelak, saat Saudara berkarya dan memimpin, ceritakanlah perjuangan itu. Jangan hanya bercerita tentang apa yang dicapai, tapi juga tentang apa yang dikorbankan, tentang luka yang sembuh perlahan, tentang air mata yang berubah menjadi kekuatan. Dunia yang kita nikmati hari ini disusun dari berjuta ketidaksempurnaan di masa lampau. Dunia tidak butuh lebih banyak kesempurnaan; ia butuh lebih banyak kejujuran.

Ingatlah: cerita paling kuat adalah yang paling manusiawi. Manusiawi berarti berani mengakui bahwa kita pernah goyah, pernah salah, tapi terus memilih berjalan. Sebagian episode cerita itu sudah Saudara susun di kampus ini.

Cerita seperti apa yang Saudara bayangkan untuk disampaikan ke anak cucu, tergantung dengan rangkaian ikhtiar baik selama mengemban beragam peran dan tanggung jawab selepas wisuda. Saya berharap di sana tidak ada cerita soal pengkhiatan, termasuk penyalahgunaan kewenangan dan korupsi.

Maka tulislah cerita hidup Saudara dengan tinta kejujuran, keberanian, dan harapan. Insyaallah, banyak orang siap mendengarkan, membacanya, dan terinspirasi.

 

Referensi

Angler, M. W. (2020). Telling science stories: reporting, crafting and editing for journalists and scientists. Routledge.

Bowles, M., Burns, C., Hixson, J., Jenness, S. A., & Tellers, K. (2023). How to tell a story: The essential guide to memorable storytelling from The Moth. Crown.

 

Sambutan pada acara wisuda Universitas Islam Indonesia, 28-29 Juni 2025.

Fathul Wahid

Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026