Menghidupkan Kembali Api Perjuangan
Suasana Selasar Auditorium Prof. Kahar Muzakkir, Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), mendadak berubah menjadi ruang dialektika yang hangat dan penuh semangat juang, Senin (30/6) sore. Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) UII bersama Pusat Studi Demokrasi dan Agama (PSAD) UII menggelar diskusi publik bertajuk “Menghidupkan Kembali Api Perjuangan di Kampus Perjuangan” yang secara khusus membahas isu krusial: Brutalitas aparat terhadap mereka yang tidak sejalan dengan rezim.
Diskusi ini menghadirkan tiga tokoh penting, Shinta Maharani, Koresponden TEMPO wilayah Yogyakarta, Despan Heryansyah, Peneliti PSAD UII; dan Rektor UII, Fathul Wahid. Ketiganya mengajak mahasiswa untuk merenungkan situasi kebebasan sipil dan akademik yang kian terdesak dalam rezim yang tak ramah terhadap suara-suara kritis.
Sejak pukul 16.00 WIB, puluhan mahasiswa berkumpul di area selasar. Antusiasme tinggi terasa dari awal hingga akhir acara. Diskusi berlangsung hidup dengan interaksi aktif antara pembicara dan peserta. Spanduk-spanduk bertuliskan “UII Melawan Brutalitas Aparat”, “UII Melawan”, dan “Kematian Perjuangan” menghiasi lokasi diskusi, menjadi simbol perlawanan sekaligus ekspresi keresahan mahasiswa atas represi yang terus terjadi di berbagai wilayah tanah air.
Shinta Maharani mengawali diskusi dengan refleksi tajam tentang pentingnya menjaga ruang bebas di lingkungan kampus. Ia mengingatkan bahwa kampus adalah tempat merawat kebebasan berpikir. “Kalau kampus sudah dibelenggu, secara kebebasan akademiknya sudah direnggut, ya bagaimana kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan bersuara itu bisa dipertahankan? Kan sulit,” tegas Shinta.
Ia juga menyinggung kasus intimidasi yang dialami oleh tiga mahasiswa UII baru-baru ini. “Teman-teman juga penting untuk mendukung terhadap tiga mahasiswa itu,” ujarnya, mengajak seluruh elemen kampus untuk bersolidaritas. Menurutnya, suara perlawanan tidak boleh padam. “Sikap tegas itu penting, salah satunya dengan diskusi seperti ini. Suara-suara seperti ini harus terus digaungkan.”
Despan Heryansyah turut memperkuat analisis dengan menyoroti lemahnya kepemimpinan sipil sebagai penyebab menguatnya dominasi militer dalam ruang publik. “Biasanya, di banyak negara, bahkan hampir di semua negara, menguatnya militer itu salah satu sebabnya adalah karena lemahnya kepemimpinan sipil. Dan itu sedang terjadi di kalangan kita sekarang,” ujarnya. Ia juga mengapresiasi keberanian UII yang tetap menyuarakan sikap kritis, berbeda dari banyak kampus lain yang justru memilih diam. “Kampus misalnya, hampir hanya UII yang berani lantang menyuarakan penolakan terhadap berbagai kebijakan,” tambah Despan.
Rektor UII, Fathul Wahid, tak tinggal diam. Dalam paparannya, ia menekankan pentingnya membangun kultur perjuangan di kalangan sivitas akademika. “Yang ingin saya ajak malah justru kulturnya, supaya kita sebagai warga negara, warga kampus, tahu haknya dan memperjuangkan haknya,” kata Fathul.
Ia menegaskan bahwa kebebasan akademik, mimbar kampus, dan ekspresi adalah hak yang harus diperjuangkan bersama. “Jadi, kebebasan akademik, kebebasan mimbar kampus, kemudian kebebasan berekspresi itu hak yang harus diperjuangkan.” Jelas Fathul Wahid
Diskusi ini bukan sekadar forum intelektual, tetapi juga perwujudan semangat keberpihakan kampus terhadap nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan. Keberanian mahasiswa dan sivitas akademika UII dalam menyuarakan kritik menjadi bukti bahwa api perjuangan belum padam. Acara ini menegaskan kembali identitas UII sebagai “Kampus Perjuangan” yang tidak gentar menyuarakan kebenaran di tengah gelombang tekanan rezim.
Dengan berlangsungnya diskusi ini, LEM UII dan PSAD UII telah membuka ruang yang penting, ruang untuk berbicara, berpikir, dan berani bersikap. Di tengah situasi demokrasi yang kian sempit, suara-suara dari kampus seperti inilah yang menjadi titik terang harapan akan masa depan yang lebih adil dan bebas dari intimidasi. (MFPS/AHR/RS)