Tujuan Pendidikan: Kualifikasi, Sosialisasi, dan Subjektivitasi
Setelah wisuda, perjalanan baru menunggu Saudara. Inilah saatnya Saudara meneguhkan kiprah di tengah masyarakat.
Hari ini kita merayakan capaian besar. Saudara-saudara telah menempuh perjalanan panjang, melewati tugas yang tak terhitung, ujian yang menguras tenaga, hingga drama mencari tanda tangan dosen pembimbing.
Namun di tengah suasana suka cita ini, izinkan saya mengajak kita merenung: Apa sebenarnya tujuan pendidikan yang sudah Saudara jalani?
Pakar pendidikan dari University of Stirling, Skotlandia, Gert Biesta (2009) menyebut ada tiga fungsi utama pendidikan: kualifikasi (qualification), sosialisasi (socialisation), dan subjektivitasi (subjectification). Ketiganya sama-sama penting, saling berkaitan, dan membentuk fondasi manusia yang utuh.
Meski tidak sama persis, ketiganya sejalan dengan konsep pendidikan dalam Islam: ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib (Halstead, 2004). Kualifikasi sejalan dengan ta’lim, sosialisasi sejalan dengan tarbiyah, dan subjektivitasi sejalan dengan ta’dib. Tiga konsep ini saling melengkapi, membentuk pribadi yang berilmu, berakhlak, dan berdaya memilih jalan hidupnya.
Mari, kita eloborasi dengan ringkas dengan ilustrasi sederhana, untuk mengingatkan kita semua.
Kualifikasi: bekal perjalanan
Fungsi pendidikan yang pertama adalah kualifikasi. Fungsi ini membekali seseorang dengan pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang diperlukan untuk menjalani peran tertentu di masyarakat. Inilah pendidikan sebagai proses “mengisi kotak peralatan” yang kelak digunakan dalam dunia kerja dan kehidupan.
Kualifikasi membuat seorang lulusan teknik mampu merancang sistem, seorang lulusan kedokteran mampu menangani pasien, dan seorang lulusan hukum mampu menafsirkan dan menerapkan peraturan. Tanpa fungsi ini, pendidikan kehilangan perannya sebagai pintu menuju kontribusi profesional.
Bayangkan seorang wisudawan informatika yang dulu gagap memprogram, kini dapat membuat aplikasi yang mempermudah transaksi usaha kecil dan menengah (UKM). Atau, lulusan manajemen mungkin dulu hanya mempelajari teori pemasaran di kelas, kini bisa merancang strategi penjualan yang meningkatkan omzet perusahaan. Sementara lulusan kimia yang dulu berjuang memahami reaksi senyawa, kini mampu mengembangkan formula pembersih ramah lingkungan yang aman bagi kesehatan.
Kualifikasi adalah seperti menyiapkan bekal di tas perjalanan: tanpa bekal ini, kita mungkin berangkat, tetapi tidak siap menghadapi medan yang menantang.
Sosialisasi: hidup bersama
Fungsi pendidikan yang kedua adalah sosialisasi. Fungsi ini membentuk kita mampu menjadi bagian dari masyarakat, budaya, dan tradisi yang kita masuki. Pendidikan tidak hanya mengajarkan isi buku, tapi juga nilai, norma, dan cara hidup bersama. Sosialisasi menanamkan kesadaran bahwa hidup tidak dijalani sendirian, melainkan dalam jalinan relasi yang menuntut rasa hormat, kerja sama, dan empati.
Bayangkan awal perkuliahan ketika Saudara belum terbiasa bekerja dalam kelompok dan berbicara di depan banyak orang. Seiring waktu, Saudara belajar membagi peran saat mengerjakan proyek, menghormati pendapat yang berbeda, bahkan mengalah demi kebaikan bersama.
Sosialisasi seperti bermain orkestra: keindahan musik muncul bukan dari satu pemain, melainkan dari harmoni semua instrumen yang bekerja sama.
Subjektivikasi: berani bersikap
Fungsi pendidikan yang ketiga adalah subjektivitasi. Fungsi ini memerdekakan kita menjadi pribadi yang otonom—mampu mengambil keputusan dan menentukan arah hidup sendiri, dengan tanggung jawab penuh atas pilihan itu.
Subjektivikasi adalah saat pendidikan mengajarkan kita bukan hanya apa yang harus dipikirkan, tetapi bagaimana berpikir, dan berani mengatakan “inilah saya” dengan kesadaran akan konsekuensinya.
Contohnya, seorang lulusan ekonomika mendapat tawaran kerja di bank multinasional, tapi ia memilih pulang ke daerah untuk membangun koperasi desa. Atau, lulusan kedokteran yang lebih memilih bertugas di daerah terpencil daripada di rumah sakit besar di kota. Keputusan ini mungkin tidak populer, tapi lahir dari kesadaran diri dan keberanian. Atau, lulusan hukum yang memilih berjalan di rel kejujuran di antara godaan untuk mengabaikannya.
Subjektivikasi ibarat kompas pribadi—ia tidak selalu menunjukkan jalan yang paling mudah, tapi mengarahkan kita ke jalan yang paling bermakna.
Selamat melangkah
Mengapa ketiganya harus berjalan bersama? Kualifikasi tanpa sosialisasi bisa membuat seseorang cerdas dan cakap tapi egois. Sosialisasi tanpa kualifikasi bisa membuat kita ramah tapi sulit berkontribusi nyata. Subjektivikasi tanpa keduanya bisa menjerumuskan pada cita-cita yang tidak membumi. Ketiganya seperti tiga kaki tripod kamera: hilang satu saja, hasilnya goyah.
Hari ini, Saudara sudah membawa tiga bekal itu—pengetahuan, pemahaman hidup bersama, dan keberanian menentukan jalan hidup. Saudara sudah dibekali, dibentuk, dan dimerdekakan. Tugas berikutnya adalah menjaganya tetap seimbang, sambil menggunakannya untuk memberi manfaat bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan bangsa.
Selamat melangkah ke babak baru. Semoga perjalanan Saudara selalu penuh berkah, makna, dan kontribusi.
Referensi
Biesta, G. (2009). Good education in an age of measurement: On the need to reconnect with the question of purpose in education. Educational Assessment, Evaluation and Accountability, 21(1), 33-46.
Halstead, M. (2004). An Islamic concept of education. Comparative education, 40(4), 517-529.
Sambutan pada acara wisuda Universitas Islam Indonesia, 23 dan 24 Agustus 2025
Fathul Wahid
Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026





