Generalis: Penjelajah dengan Pandangan Luas
Di kesempatan yang berbahagia ini, saya mengajak Saudara untuk memandang wisuda ini bukan sebagai akhir perjalanan, melainkan sebagai awal petualangan baru. Dunia di luar sana tengah bergerak cepat. Teknologi berkembang dalam hitungan bulan. Pekerjaan yang hari ini ada, mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama akan lenyap. Karena itu, keberhasilan sejati tidak lagi diukur dari seberapa ahli Saudara di satu bidang, tetapi dari seberapa luwes Saudara beradaptasi, seberapa berani Saudara menjelajah, dan seberapa terbuka Saudara untuk terus belajar hal-hal baru.
Dalam bukunya Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World, David Epstein (2021) mengingatkan kita bahwa dunia modern tidak hanya butuh para spesialis, tetapi juga para generalis — orang-orang yang berani menyeberangi batas pengetahuan, yang mampu melihat dunia dari banyak jendela, dan menghubungkan titik-titik yang tampak tak berhubungan menjadi solusi yang bermakna. Range merupakan salah satu buku yang direkomendasikan oleh McKinsey pada tahun ini, 2025[1].
Berani bereksperimen
Epstein menulis, “We learn who we are in practice, not in theory.” Kalimat sederhana itu mengandung pesan mendalam: kita tidak menemukan jati diri hanya dari teori atau rencana hidup yang rapi, melainkan dari keberanian mencoba, bereksperimen, dan kadang-kadang gagal. Karena justru dalam percobaan itulah kita belajar tentang diri kita sendiri.
Banyak dari kita dibesarkan dengan pandangan bahwa kesuksesan ditentukan oleh spesialisasi yang tajam — semakin cepat memilih jurusan, semakin cepat menentukan karier, maka semakin baik. Namun, Epstein justru menunjukkan hal sebaliknya. Bahwa mereka yang memberi ruang untuk menjelajah, yang berani “menyimpang sedikit” dari jalur, sering kali justru menemukan jalan yang lebih bermakna.
Lihatlah Roger Federer, pemegang 20 gelar Grand Slam tunggal dan menjadi petenis nomor satu dunia dalam waktu yang sangat lama, 310 pekan. Ia tidak tumbuh sebagai atlet tenis sejak bayi. Federer mencoba berbagai olahraga lebih dulu — sepak bola, bola basket, bahkan skateboard — sebelum akhirnya memilih tenis di usia remaja. Ia tidak terburu-buru “menetap”. Dan justru karena pengalaman yang beragam itulah ia tumbuh menjadi pemain yang lentur, kreatif, dan tahan banting.
Atau, pikirkan Steve Jobs. Ia bukan desainer, bukan insinyur, bukan pemrogram murni. Tapi ia adalah seseorang yang tahu bagaimana menghubungkan hal-hal yang kelihatannya tak terkait. Dari kelas kaligrafi yang ia ikuti secara iseng, lahirlah ide tentang tipografi indah di komputer Apple. Dari ketertarikannya pada desain, lahirlah filosofi sederhana: “Technology alone is not enough.”
Dalam sejarah peradaban Islam, banyak ilmuwan besar yang berpikir lintas batas disiplin—para generalis sejati yang melihat ilmu pengetahuan sebagai satu kesatuan.
Ibnu Sina, misalnya, tidak hanya dikenal sebagai peletak dasar ilmu kedokteran, tetapi juga seorang filsuf dan astronom. Ia menulis ratusan karya yang menjembatani ilmu kedokteran, metafisika, logika, dan bahkan musik, menunjukkan bahwa bagi dirinya, ilmu adalah jalan menuju pemahaman yang utuh tentang manusia dan alam semesta.
Al-Farabi pun serupa. Ia adalah filsuf yang juga menekuni politik, linguistik, dan musik, dan melalui karyanya Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah ia menggambarkan masyarakat ideal yang dibangun atas dasar harmoni akal dan moral.
Dari keduanya kita belajar bahwa keunggulan tidak lahir dari spesialisasi sempit, melainkan dari keluasan pandangan, keberanian menjelajah banyak bidang, dan kemampuan menghubungkan ilmu untuk kemaslahatan.
Kemampuan berimajinasi
Itulah kekuatan seorang generalis — kemampuan melihat yang tak dilihat orang lain. Gagasan ini serupa dengan yang diungkap oleh Malcolm Gladwell (2009) dalam What the Dog Saw. Epstein berbicara tentang pentingnya memiliki range — kemampuan untuk melihat pola di antara hal-hal yang tampaknya tidak berhubungan. Sementara Gladwell, mengajak kita untuk memandang dunia dari mata yang lain, dari sudut pandang yang sering diabaikan. Kedua gagasan ini sama-sama menegaskan: keunggulan masa depan tidak datang dari mereka yang hanya tahu banyak, tetapi dari mereka yang tahu cara melihat — melihat apa yang luput dari pandangan orang lain.
Kita hidup di dunia yang tidak lagi menghargai kepastian tunggal. Masalah-masalah hari ini tidak bisa diselesaikan hanya oleh satu disiplin ilmu. Krisis iklim, ketimpangan ekonomi, etika kecerdasan buatan — semuanya menuntut kolaborasi lintasbidang, lintasbahasa, lintas-cara berpikir. Karena itu, pendidikan sejati bukanlah soal mencetak ahli sempit, tetapi menumbuhkan manusia yang mampu berpikir luas, berjejaring lintas disiplin, dan menghargai keragaman pengetahuan.
Epstein juga mengingatkan bahwa dunia kerja modern menuntut knowledge transfer — kemampuan memindahkan pengetahuan dari satu konteks ke konteks lain. Mereka yang hanya bisa belajar dari pengalaman lama akan tertinggal. Tetapi mereka yang bisa belajar tanpa pengalaman langsung — yang bisa berimajinasi, mensintesis, dan menghubungkan — merekalah pemimpin masa depan.
Karena itu jangan Saudara takut untuk belum menemukan “tujuan hidup” hari ini. Jangan khawatir bila arah karier Saudara nanti berubah. Kadang kita perlu berkenalan dulu dengan berbagai pengalaman sebelum tahu mana yang benar-benar cocok untuk kita. Ambillah waktu untuk menjelajah, karena menjelajah bukan membuang waktu — ia adalah cara terbaik untuk menemukan makna, jalur yang paling pas menurut kita.
Dan, yang tak kalah penting, jangan takut untuk gagal, bahkan untuk berhenti. Kadang berhenti justru langkah paling berani — karena ia memberi ruang untuk hal yang lebih sesuai. Dunia ini terlalu luas untuk dijalani dengan pikiran yang sempit.
Tetaplah menjadi amatir
Hari ini Saudara semua resmi diwisuda. Tapi gelar yang Saudara dapatkan bukanlah titik akhir, melainkan undangan untuk terus belajar, untuk terus menjadi “pembelajar seumur hidup”. Di dunia yang berubah cepat, yang paling berharga bukan lagi “apa yang Saudara tahu”, tapi “seberapa cepat Saudara mau belajar ulang.”
Jadilah pribadi yang deliberate amateur — orang yang tidak berhenti ingin tahu, yang berani keluar dari zona nyaman, yang membaca di luar bidangnya, dan yang belajar dari pertemuan antaride. Di sanalah tumbuh inovasi dan kebijaksanaan yang sesungguhnya.
Referensi
Epstein, D. (2021). Range: Why generalists triumph in a specialized world. Penguin.
Gladwell, M. (2009). What the dog saw: And other adventures. Little, Brown and Company.
Sambutan pada acara wisuda Universitas Islam Indonesia, 25 dan 26 Oktober 2025
Fathul Wahid
Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026
[1] https://www.mckinsey.com/featured-insights/annual-book-recommendations




