Strategi Baru Masyarakat Adat Namblong Lindungi Hak Ulayat
Di tengah situasi kritis masyarakat adat Indonesia yang terus berhadapan dengan ekspansi korporasi, muncul sebuah terobosan perlindungan hak ulayat yang tidak biasa. Masyarakat Adat Namblong di Kabupaten Jayapura, Papua, memilih melakukan “mimikri institusional” dengan mendirikan sebuah perseroan terbatas, PT Yombe Namblong Nggua, untuk secara aktif mempertahankan hak-hak mereka dari ancaman deforestasi. Fenomena inilah yang menjadi pemantik utama dalam Seminar Nasional yang digelar Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia pada Kamis (20/11).
Langkah Suku Namblong mendirikan PT dilatarbelakangi oleh situasi kritis masyarakat adat di Indonesia dan lemahnya instrumen hukum publik dalam memberikan perlindungan. Keynote Speaker seminar tersebut, Direktur Advokasi Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Muhamad Arman, memaparkan bahwa masyarakat adat kini terbagi dalam tiga kategori: yang masih cukup kuat, yang kritis, dan yang terancam punah.
Arman juga menyoroti kerugian masif yang dialami masyarakat adat. Ia mengutip data AMAN: “ada sekurang-kurangnya 11,7 juta hektar wilayah masyarakat adat itu yang diambil alih atas nama pembangunan untuk izin-izin konsesi pertambangan, untuk izin-izin konsesi perkebunan monokultur, untuk izin-izin konsesi kehutanan, maupun infrastruktur yang sering kita dengar dengan istilah proyek strategis nasional atau PSN,” ungkapnya.
Kelemahan hukum ini juga tercermin di pengadilan. Arman menceritakan pengalamannya menggugat perusahaan sawit di Kalimantan Barat, yang mana gugatan tersebut ditolak karena masyarakat adat dianggap tidak memiliki kedudukan hukum.
“Alasannya adalah karena masyarakat adat yang melakukan gugatan itu itu tidak memiliki legal standing. Kenapa tidak punya legal standing? Karena masyarakat adat itu belum dapat pengakuan dari negara,” jelas Arman.
Pandangan kritis mengenai sistem hukum nasional disampaikan oleh Prof. Dr. Widodo Dwi Putro, dari Universitas Mataram. Ia menggambarkan hubungan antara hukum adat dan korporasi sebagai dua unsur yang tak mungkin bersatu, seperti “air dan minyak” dalam ilmu kimia. Prof. Widodo menilai regulasi yang melindungi korporasi sebagai bentuk kejahatan legal.
“Saya menyebutnya ini sebagai law as a tool of perfect crime. Kalau mereka mengambil atau merampas tanah masyarakat adat itu bukan kejahatan, karena sudah dilegalisasi oleh hukum. Kejahatan yang sempurna adalah ketika kejahatan itu bersalin rupa menjadi hukum, ia tidak bisa dijerat oleh hukum karena sudah menjadi bagian dari hukum itu.” tegas Prof. Widodo.
Penggunaan instrumen hukum perdata melalui pendirian PT Yombe Namblong Nggua menjadi perhatian para ahli. Guru Besar Hukum dari UII, Prof. Dr. Muhamad Syamsudin, menyebut fenomena ini sebagai terobosan yang tak terduga. “Nah, inilah yang disebut dengan mimikri. Saya kagum, saya takjub dengan kawan-kawan di Namblong yang membuat PT Yombe Namblong Nggua. Mengapa? Karena itu merupakan suatu novelty, suatu kebaruan.” ungkap Syamsudin.
Menurut Syamsudin, problem perlindungan hak adat di Indonesia adalah akibat “transplantasi hukum kita yang terbalik,” di mana hukum adat dipaksakan menyesuaikan dengan hukum impor.
Sementara itu, Akademisi Hukum dari UGM, Dr. Yance Arizona, melihat strategi ini penting untuk diakomodasi dalam perkembangan hukum perdata. “Kita melihat dari pengakuan subjek, tidak saja melihat masyarakat adat itu sebagai satu subjek publik, tapi juga sebagai subjek privat. itu menjadi penting dan sebagai subjek privat ia bisa melakukan kontrak bertanggung jawab dan juga memiliki legal standing.” jelas Yance.
Direktur PT Yombe Namblong Nggua, Yohana Tarua, menjelaskan bahwa perusahaan yang dibentuk pada September 2024 ini dimiliki oleh 44 marga Suku Namblong yang bertindak sebagai pemegang saham. Perusahaan yang mengelola wilayah adat seluas 52.530 hektar ini berpegang pada filosofi Noken. Noken merupakan tas multifungsi yang dibuat dari tali serat kayu yang digunakan hampir seluruh orang Papua. “Jadi benangnya itu saling mengait, saling terhubung dan solid. Noken ini sebagai identitas orang Papua” ujarnya.
Tujuan utama PT ini untuk mengendalikan wilayah adat sendiri. Yohana Tarua menambahkan, mendirikan perusahaan milik masyarakat adat memberikan harapan baru tentang bagaimana masyarakat adat mampu mengendalikan pengolahan wilayah adatnya sendiri. Tujuan lainnya adalah menjaga aset tanah, air, udara, serta mensejahterakan 19.000 jiwa warga Suku Namblong. Untuk mendorong perputaran ekonomi adat, PT Yombe Namblong Nggua mengembangkan enam unit usaha, yakni kehutanan, pertanian, vanila, ekowisata, perikanan, dan peternakan.
Di sisi lain, Prof. Widodo memberikan catatan kritis mengenai risiko dari “perkawinan paksa” antara hukum adat dan hukum korporasi ini. Ia memperingatkan, “Apakah perkawinan paksa antara hukum adat dan hukum korporasi ini merupakan terobosan perlindungan hak ulayat yang jenius atau menjadi kuda troya yang menyimpan bom waktu sengketa kepemilikan di masa depan?” jelasnya.
Untuk menghindari jebakan tersebut, Prof. Widodo mendesak adanya “transplantasi hukum terbalik” di mana hukum nasional menyesuaikan dengan kebutuhan adat. Ia secara spesifik menyarankan agar asas inalienability (tidak dapat dialihkan) tanah adat diterapkan pada saham perusahaan BUMA.
“Yang penting di sini saham ini ada kekhususan. Saham ini tidak dapat diperjual belikan, ya, karena memang di situ ada asas inalienability atau inalienabilitas tanah adat yang diterapkan ke saham perusahaan,” pungkasnya. (MANF/AHR/RS)





