Melambat di Zaman Serba Cepat

Di momen berbahagia ini, izinkan saya mengajak Saudara memaknai wisuda bukan sebagai garis akhir perjalanan, melainkan gerbang awal petualangan kehidupan yang lebih luas terbentang.

Dunia yang terus berlari

Dunia di luar sana bergerak cepat, nyaris tanpa jeda. Teknologi berubah dalam hitungan bulan, pekerjaan yang hari ini ada, lima tahun mendatang bisa saja tinggal cerita.

Karena itu, keberhasilan sejati kini bukan semata tentang keahlian tunggal, melainkan tentang keluwesan beradaptasi di tengah perubahan yang dinamis. Adapasi adalah keberanian menjelajah wilayah baru tanpa gentar, dan keterbukaan untuk terus belajar, menyerap makna, memperbarui diri, seraya melangkah dengan rendah hati dan sekaligus percaya diri.

Kita hidup di zaman yang sangat bising, bukan hanya oleh suara, tetapi oleh banjir informasi, opini, dan tuntutan untuk selalu bereaksi cepat. Setiap hari kita digoda untuk segera merespons, menyimpulkan, dan mengambil posisi, seolah kecepatan adalah tanda kecerdasan. Padahal, seperti diingatkan Daniel Kahneman, manusia kerap keliru justru ketika merasa paling yakin. Kebijaksanaan tidak lahir dari reaksi spontan, melainkan dari kejernihan berpikir dan keberanian untuk melambat.

 

Jebakan berpikir cepat

Kahneman (2011), peraih Nobel Ekonomi, dalam bukunya Thinking, Fast and Slow, menjelaskan bahwa pikiran manusia bekerja melalui dua sistem. Sistem pertama bekerja cepat, otomatis, dan emosional; ia membantu kita bereaksi instan, tetapi juga rawan bias dan kesalahan. Sistem kedua bekerja lebih lambat, penuh usaha, dan analitis; ia memang melelahkan, tetapi di sanalah penilaian yang lebih jernih terbentuk. Masalahnya, dunia hari ini hampir selalu memaksa kita hidup dalam sistem pertama—cepat membaca judul, cepat menyimpulkan isi, cepat membagikan tanpa sempat memeriksa.

Bayangkan seseorang yang melihat tali di lantai dan seketika meloncat karena mengira itu ular. Reaksi cepat itu wajar dan bahkan berguna. Namun, bayangkan jika semua keputusan hidup diambil dengan logika yang sama: memilih pekerjaan hanya karena terlihat bergengsi, mengikuti arus opini karena takut tertinggal, atau mengambil keputusan besar hanya karena semua orang melakukannya. Di sinilah berpikir cepat menjadi jebakan.

Menjaga akal sehat berarti memberi ruang bagi sistem kedua untuk bekerja. Artinya, berani berhenti sejenak sebelum bereaksi, berani bertanya sebelum percaya, dan berani menimbang sebelum memutuskan. Kahneman menyebut salah satu jebakan terbesar manusia sebagai overconfidence—bias, atau kesalahan sistematis, karena rasa percaya diri berlebihan pada penilaian sendiri. Di sini ada ilusi pemahaman. Banyak kesalahan besar dalam hidup bukan lahir dari kurangnya informasi, tetapi dari keyakinan yang terlalu cepat dan tidak diuji.

Sebagai ilustrasi, kita bisa melihat bagaimana pilihan publik dalam demokrasi sering kali ditentukan oleh apa yang disebut sebagai demokrasi perasaan (democracy of feelings) (Davies, 2018). Dalam situasi ini, keputusan tidak lahir dari penimbangan yang jernih atas gagasan, rekam jejak, dan dampak jangka panjang, melainkan dari emosi sesaat: rasa takut, marah, bangga, atau harapan yang dibangkitkan lewat slogan dan simbol.

Ketika emosi diberi panggung utama, sistem berpikir cepat mengambil alih—kita merasa yakin telah “memahami”, padahal yang bekerja sering kali hanyalah ilusi pemahaman. Pilihan pun dijatuhkan dengan penuh percaya diri, meski tanpa pengujian yang memadai. Di sinilah kita belajar bahwa hak memilih saja tidak cukup; yang lebih penting adalah kualitas cara memilih. Tanpa keberanian untuk berhenti sejenak, bertanya, dan menimbang secara rasional, demokrasi—baik dalam politik maupun dalam kehidupan sehari-hari—mudah tergelincir menjadi sekadar ekspresi perasaan, bukan keputusan yang benar-benar disadari.

Ilustrasi lain yang lebih sederhana: ketika kita menyetir di jalan yang macet, klakson bisa membuat kita merasa bergerak lebih cepat, padahal kenyataannya tidak. Atau, bisa jadi kita  menggunakan bahu jalan sebagai jalur baru ketika kemacetan sedang terjadi. Kita merasa akan menyelesaikan masalah, tetapi tak jarang, keputusan cepat justru memperburuk kemacetan.

Demikian pula dalam hidup—bereaksi cepat sering memberi rasa puas sesaat, tetapi tidak selalu membawa kita lebih jauh. Justru mereka yang mampu menahan diri, menjaga kejernihan pikiran, dan memilih dengan sadar, biasanya melangkah lebih tepat.

 

Keberanian untuk melambat

Ilmu yang Saudara peroleh di bangku kuliah telah melatih logika dan nalar. Namun, kehidupan akan menguji sesuatu yang lebih dalam: kemampuan untuk tetap jernih ketika dunia menjadi gaduh, tetap tenang ketika tekanan datang bertubi-tubi, dan tetap berpegang pada nilai ketika pilihan terasa mudah tetapi menyesatkan.

Di tengah dunia yang bergerak semakin cepat dan semakin gaduh, kejernihan akal menjadi kompas yang menuntun langkah. Ilmu pengetahuan melatih nalar, tetapi kebijaksanaan tumbuh dari kemampuan memilah, menimbang, dan menentukan arah dengan tenang. Masa depan bukan hanya milik mereka yang paling cepat bereaksi, melainkan milik mereka yang mampu berpikir jernih, bertindak bijak, dan tetap waras di tengah hiruk-pikuk zaman.

Pilihan-pilihan yang mempunyai implikasi penting dan jangka panjang, sudah seharusnya didasarkan pada sistem kedua: berpikir lambat.

 

Referensi

Davies, W. (2018). Nervous states: How feeling took over the world. Random House.

Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow. Farrar, Straus and Giroux.

Sambutan pada acara wisuda Universitas Islam Indonesia, 27 dan 28 Desember 2025.

Fathul Wahid

Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026