Bangun Deso: Melihat Perubahan Wajah Desa untuk Sumber Penghidupan yang Berkelanjutan
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menyelenggarakan Coffee Morning Lecture (CML) #8 pada Rabu (29/10) di Selasar Hall Gedung Moh. Natsir FTSP, Kampus Terpadu UII. Kegiatan CML kali ini mengangkat tema “Bangun Deso: Melihat Perubahan Wajah Desa untuk Sumber Penghidupan yang Berkelanjutan” dengan menghadirkan para pemangku kepentingan dari pemerintah hingga komunitas untuk merefleksikan arah pembangunan pedesaan di Indonesia yang kini mengalami transformasi besar akibat modernisasi, pembangunan infrastruktur, dan pengaruh budaya urban.
Dekan FTSP, Prof. Dr.-Ing. Ar. Ilya Fadjar Maharika, MA., IAI, dalam sambutannya, beliau menegaskan pentingnya desa sebagai ruang hidup yang tidak hanya menjadi objek pembangunan, tetapi juga subjek pengetahuan dan inovasi.
“Kita sering memandang desa dari kacamata urban, seolah desa harus meniru kota untuk maju. Padahal, masa depan keberlanjutan Indonesia justru bergantung pada kemampuannya menjaga nilai, kemandirian, dan ekologi pedesaan,” ujar Prof. Ilya.
Prof. Ilya menambahkan CML ini merupakan bentuk nyata keterlibatan universitas dalam menghidupkan kembali semangat triple helix sebagai sinergi antara akademisi, pemerintah, dan masyarakat untuk membangun desa yang tangguh dan berdaya
Sebagai narasumber utama, hadir Dr. Muhammad Roudo, S.T., MPP., Ph.D. sebagai Direktur Perdesaan, Daerah Afirmasi, dan Transmigrasi – Kementerian PPN/Bappenas. Dalam paparannya, Dr. Roudo menekankan pentingnya arah kebijakan pembangunan desa yang inklusif dan berkelanjutan.
“Desa bukan hanya ruang administratif, melainkan ruang ekologi dan sosial yang menentukan wajah pembangunan nasional. Tantangan kita sekarang adalah bagaimana mengubah logika pembangunan desa dari sekadar pembangunan infrastruktur menjadi pembangunan kapasitas manusia dan lingkungan hidup desa itu sendiri,” jelas Dr. Roudo.
Ia juga menambahkan bahwa Bappenas terus memperkuat kebijakan berbasis data dan kolaborasi lintas sektor agar desa dapat menjadi episentrum ekonomi hijau di masa depan. Sementara itu, Vira Maya Permatasari, Ketua Paguyuban Eco Sae Migunani, berbagi pengalaman dari lapangan tentang praktik pembangunan desa berbasis komunitas dan ekologi.
“Kami belajar dari petani, perempuan, dan anak muda desa bahwa perubahan tidak harus datang dari luar. Ketika warga diberi ruang untuk menentukan arah penghidupan mereka, maka muncul inovasi lokal yang luar biasa,” ungkap Vira.
Ia menekankan pentingnya pendekatan eco-social entrepreneurship yang menumbuhkan keseimbangan antara keberlanjutan ekonomi dan kelestarian lingkungan di desa.
Diskusi semakin kaya dengan kehadiran tiga penanggap dari pusat studi di lingkungan FTSP UII. Ir. Fajriyanto, MT, dari Pusat Studi Desa dan Kota yang menyoroti bahwa pembangunan desa memerlukan pendekatan spasial yang peka terhadap dinamika sosial dan budaya. “Desa memiliki lanskap sosial yang unik. Pembangunan fisik tidak bisa dilepaskan dari konteks sosialnya. Jika tidak, desa bisa kehilangan identitas, bahkan makna kebersamaannya,” ujarnya.
Pradipta Nandi Wardhana, S.T., M.Eng., dari Pusat Studi Banjir dan Kekeringan, menambahkan bahwa aspek tata air dan risiko iklim sering kali terabaikan dalam perencanaan desa. “Desa-desa di dataran tinggi dan hilir menghadapi risiko bencana hidrometeorologi yang berbeda. Konsep pembangunan desa berkelanjutan harus berbasis pada pengelolaan sumber daya air yang adaptif dan terintegrasi,” kata Pradipta.
Sementara itu, Ir. Luqman Hakim, S.T., M.Si., dari Center for Environmental Technology Study, menekankan pentingnya teknologi tepat guna dan kolaborasi lintas disiplin untuk memperkuat ekonomi hijau pedesaan. “Teknologi tidak selalu berarti mesin besar dan canggih. Inovasi kecil yang relevan dengan konteks desa justru bisa menjadi solusi paling berkelanjutan,” tutur Luqman.
Ketua Pelaksana CML #8, Ikrom Mustofa, S.Si., M.Sc., menyampaikan bahwa forum ini dirancang bukan hanya sebagai kegiatan rutin, tetapi sebagai ruang pembelajaran sosial dan kolaboratif. “CML ini kami niatkan sebagai wadah berbagi gagasan lintas generasi dan disiplin. Kami ingin FTSP UII menjadi kampus yang hidup bersama masyarakatnya—tempat bertemunya ide-ide teknis, sosial, dan budaya untuk kemajuan desa,” ungkap Ikrom.
Ia menambahkan bahwa ke depan, hasil diskusi akan dirangkum menjadi rekomendasi kebijakan dan rencana kolaborasi lanjutan antara FTSP UII, pemerintah, dan komunitas desa.
Melalui CML #8 ini, FTSP UII berharap dapat memperkuat peran perguruan tinggi sebagai penghubung antara ilmu pengetahuan dan kehidupan nyata masyarakat. Forum seperti ini menjadi bukti bahwa universitas tidak hanya mencetak sarjana, tetapi juga memelihara dialog sosial tentang masa depan bangsa. Dengan semangat itu, Coffee Morning Lecture FTSP UII akan terus hadir sebagai forum ilmiah terbuka—menyatukan para pemangku kepentingan dalam satu meja kopi, untuk bersama-sama membangun masa depan yang lebih berkelanjutan. (IM/AHR/RS)




