Dosen FK UII Berbagi Pengalaman dengan Kader Pendamping ODGJ se-DIY
Tiga dosen dari Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa (IKJ) dan Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) yakni Dr. Ade Indah Wahdini, Sp.KJ, dan dr. Baiq Rohaslia Rhadiana, M.Sc., Sp.KJ, serta Dr. dr. Sunarto, M.Kes berbagi berbagi pengalaman terkait cara berkomunikasi hingga pendampingan untuk para kader pendamping ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa) dalam Kegiatan Pelatihan Kader Pendamping ODGJ pada Sabtu (24/05) di Ruang Audio-Visual Fakultas Hukum (FH) UII.
Mengenal Gangguan Jiwa
Ade Indah Wahdini, Sp.KJ dalam penyampaian materinya memberikan banyak istilah penting terkait ODGJ. Ia menyampaikan beberapa kriteria gangguan jiwa yang terdiri dari adanya gejala klinis bermakna, menimbulkan distress seperti rasa tidak nyaman hingga nyeri, bahkan tidak mampu merawat diri.
“Penyebab gangguan jiwa ini multifaktorial. Dari sisi biologis dipengaruhi oleh genetik, ketidakseimangan zat kimia dalam tubuh, hormon yang berubah, hingga kondisi medis. Sisi psikologis bisa dari kepribadian hingga riwayat trauma. Dari lingkungan juga bisa dari keadaan ekonomi dan konflik sosial yang memicu stress berkepanjangan,” ungkap dr. Ade.
Kemudian, dr. Ade juga memberikan informasi terkait tanda dan gejala dari gangguan jiwa mulai dari segi pikiran yang sulit berkonsentrasi hingga halusinasi. Perasaan yang selalu sedih hingga takut. Bahkan dalam berperilaku, ODGJ dalam membahayakan diri sendiri hingga orang lain.
Lebih lanjut, dr. Ade memberikan informasi kepada kader pendamping ODGJ dalam deteksi dini gangguan jiwa dengan 3 instrumen yakni Self Reporting Questionnaire dengan 20 dan 29 pertanyaan serta Geriatric Depression Scale (GDS).
Keterampilan Komunikasi Bagi Kader
Lanjut pada materi kedua yang dibawakan oleh dr. Baiq Rohaslia Rhadiana, M.Sc., Sp.KJ yang memaparkan bagaimana para kader mampu berkomunikasi dengan tepat baik dengan pasien ODGJ maupun keluarga karena komunikasi memiliki peran yang sangat penting untuk membentuk perilaku keteraturan minum obat untuk pasien.
“Bagaimana strategi komunikasi yang tepat dan efektif untuk pasien dan keluarga? Berangkat dari kebutuhan keluarga dan pasien, dari itu perlu dilakukan validasi terlebih dahulu pemahaman mereka (pasien dan keluarga -red) tentang informasi yang merek butuhkan. Penting bagi kita (kader pendamping -red) untuk memberi edukasi dan informasi yang dianggap perlu diketahui keluarga dengan tetap mengedepankan prinsip komunikasi yang baik,” jelas dr. Baiq
Selain itu, perlu ada sambung rasa dengan interaksi antara pasien dengan pewawancara yang didalamnya terdapat rasa percaya dan pengertian sehingga pasien dan keluarga lebih mudah membuka diri pada pemeriksa.
Peran dan Fungsi Kader Jiwa
Materi terakhir disampaikan oleh Dr. dr. Sunarto, M.Kes bagaimana pentingnya peran dan fungsi dari kader jiwa. Disampaikan oleh dr. Sunarto, peran kader sangat penting dalam mendampingi pasien ODGJ untuk pulih meliputi pendataan, pemantauan kasus gangguan jiwa di wilayah hingga menjadi motivator dalam pelaksanaan pengobatan dan rehabilitasi.
“Fungsi kader jiwa juga meliputi banyak aspek misalnya dari segi promotif, kader pendamping perlu menyampaikan informasi pentingnya memelihara kesehatan jiwa. Kemudian, langkah preventif juga dilakukan oleh kader dalam membantu mengenali gejala gangguan jiwa. Fungsi kuratif dengan mendorong dan memfasilitasi penderita untuk berobat. Hingga menjalankan fungsi rehabilitative dengan mendampingi pasien dalam proses pemulihan dan reintegrasi sosial,” jelas dr. Sunarto
dr. Sunarto juga memberikan beberapa rekomendasi untuk pemangku kepentingan dalam meningkatkan kinerja dari para kader pendamping ODGJ dan integrasi dalam penuntasan masalah ODGJ di wilayah DIY meliputi pendataan dan pemetaan wilayah kerja kader sehingga sasaran prioritas bisa maksimal.
“Pembentukan forum atau jejaring kader jiwa DIY sebagai wadah koordinasi, belajar bersama, dan bentuk dukungan. Penting juga dalam pengintegrasian program puskesmas, pemerintah desa, hingga dinas terkait bahkan rumah sakit. Selanjutnya, edukasi dan kampanye kesadaran jiwa dengan melakukan diskusi dengan warga hingga media sosial,” jelasnya.
Selain itu, monitoring dan evaluasi berkala dengan membuat indicator kinerja sehingga sasaran prioritas bisa terukur. Terakhir, advokasi untuk insentif dan perlindungan kader dengan perlingdingan hukum dan kesehatan, serta insentif dari dana desa maupun CSR (corporate social responsibility) atau tanggung jawab sosial dari pemangku kepentingan maupun mitra. (AHR/RS)