Para guru dan senior yang saya hormati. Kang Jana, terima kasih sudah mengundang Universitas Islam Indonesia (UII). Saya mewakili UII. Di sini saya belajar dan menyerap energi positif dari forum mulia ini.
Izinkan saya memulai dengan melakukan pengakuan: latar belakang pendidikan saya informatika dan sistem informasi, agak jauh pokok kajian forum pagi ini: pemilihan presiden tanpa etika dan penegakan hukum. Karenanya, saya tidak akan mengutip pasal dalam sebuah undang-undang, misalnya. Saya akan masuk ke level abstraksi yang lebih tinggi.
Mohon dimaafkan jika apa yang saya sampaikan tidak sangat mendalam. Paparan ini mungkin semacam “curhat” akademik bertema. Yang menguatkan saya juga adalah bahwa pendapat yang mengatakan intelektual kadang harus keluar dari pagar disiplinnya untuk merespons masalah publik.
Akal sehat yang tergadai
Fenomena yang menjadi fokus tampaknya sudah menjadi semacam rahasia publik. Pelanggaran etika, penyalahgunaan sumber daya negara, potensi pengabaian hukum, dll. Lembaga negara atau lembaga resmi yang seharusnya meniup peluit belum bergerak juga.
Semua orang yang masih tersisa akal sehatnya, sedikit saja, bisa mengendus dengan mudah.
Kita semua bersyukur dalam beberapa hari terakhir, ruang publik menyambut dengan baik pernyataan banyak kampus, dari seluruh penjuru Indonesia.
Hanya saja, tidak semua kampus mempunyai keberanian menyuarakan karena beragam alasan. Saya tidak tahu persisnya. Beragam spekulasi bisa dibuat. Termasuk di dalamnya, tersandera hutang budi. Pernyataan beberapa pimpinan PT beberapa hari terakhir yang penuh puja puji bisa menjadi indikasi. Ternyata ada “operasi pasar” yang dilakukan oleh oknum aparat.
Tentu kritik tidak berarti tidak mengapresiasi sisi baik kinerja pemerintah. Tentu ada prestasi yang dibukukan. Kita bisa buat daftarnya.
Tetapi, ketika ada praktik berbangsa dan bernegara yang keluar dari koridor, sebagai intelektual yang masih waras akalnya harus mengingatkan. Itulah mengapa dalam tradisi di Indonesia, yang diperingati orang adalah haul, hari kematian, jika berakhir dengan husnul khatimah. Jika berakhir buruk, saya khawatir, peringatan haul akan kehilangan alasannya.
Tugas intelektual
Dalam konteks, ada isu intelektualisme yang dipertanyakan. Saya ingat tulisan Noam Chomsky, salah satu tugas intelektual adalah mereka yang menyuarakan kebenaran dan mengungkap kebohongan. Tugas ini tentu dengan risiko.
Saya ingat obrolan personal lewat pesan WhatsApp dengan Prof. Azyumardi Azra Allahuyarham sekitar sebulan sebelum wafatnya. Ketika itu, saya mengingatkan beliau untuk berhati-hati. Ini jawaban beliau
“Saya juga kadang-kadang khawatir karena sering mengkritik secara terbuka di media elektronik dan media cetak. Saya tawakkaltu (alallah) sajalah. … Bahkan yang terhitung kawan kita dalam barisan kepemimpinan nasional ikut-ikutan menyalahkan mereka yang kritis.”
Sebagian kawan terpelajar juga mengatakan, kalau demokrasi mati mengapa orang masih bisa berbicara dan tidak ada yang diproses.
Sebentar. Ini bukan soal kanal bersuara yang dibuka, tetapi bagaimana suara itu secara serius didengar. Suara rakyat tentu bukan sekedar efek suara seperti dalam film-film Hollywood untuk menjadikan adegan lebih kuat tersampaikan. Rakyat tidak hanya sebagai obyek pelanggeng kekuasaan dan mendapatkan legitimasi hanya karena membebaskan bersuara.
Kalau suara rakyat, tentu termasuk kampus, didengar, saya yakin sudah banyak perubahan yang dilakukan. Tapi kan, di lingkaran kekuasaan juga banyak orang terpelajar. Itulah masalahnya. Terpelajar dan tersadar adalah dua cerita yang berbeda.
Beberapa pertanyaan
Saya jadi bertanya, meminjam istilah William Davies dalam bukunya Nervous State, apakah “demokrasi perasaan” (democracy of feelings) juga menemukan buktinya di Indonesia? Ini pertanyaan dan saya serahkan jawabannya ke Ibu/Bapak semua.
Dalam alam demokrasi jenis ini, perasaan semakin mendominasi keputusan manusia dalam mengambil keputusan. Karenanya, fakta pun dimanipulasi untuk memberikan dampak emosional yang maksimum, dan perasaan banyak orang dimainkan untuk menavigasi perubahan yang diinginkan, meski tidak sejalan dengan akal sehat.
Saya juga teringat bukunya Guriev dan Treisman yang berjudul Spin Dictators. Secara sederhana, adalah diktator yang memutarbalikkan fakta. Kediktatoran varian baru ini tidak lagi dilakukan dengan menebar teror atau memanfaatkan aparat, tetapi dengan menguasai narasi.
Diktator jenis ini cenderung populis dan bahkan disuka rakyat. Tapi yang ditampilkan ada sesuatu yang semu belaka karena ada beragam modus yang dilakukan untuk menjadi penjaga gerbang informasi.
Tidak ada kata “Indonesia” dalam buku tersebut. Buku itu terbit 2 tahun lalu, pada 2022. Apakah akan berbeda daftar negara yang masuk di buku tersebut, jika buku ditulis di 2024?
Lagi-lagi, ini sebuah pertanyaan, dan jawabannya saya serahkan ke Ibu/Bapak semua.
Paparan pada diskusi Forum Guri Besar dan Doktor Insan Cita tentang “Pemilihan Presiden Tanpa Etika dan Penegakan Hukum” pada 4 Februari 2024.
UII Tegaskan Kontribusi Bagi Kemajuan Indonesia dan Kemanusiaan
Universitas Islam Indonesia (UII) memperingati milad ke-81 tahun pada Senin (12/2) di Auditorium Prof. K.H. Abdulkahar Mudzakkir, Kampus Terpadu UII. Milad UII kali ini mengangkat tema Dedikasi untuk Negeri. Tema ini membawa pesan bagi seluruh sivitas akademika UII untuk terus memegang komitmen yang kuat dalam menjalankan peran UII sebagai perguruan tinggi yang unggul dalam mendidik para cendekiawan dan calon pemimpin bangsa di masa depan. Read more
Akal Sehat Kaum Terpelajar
Para guru dan senior yang saya hormati. Kang Jana, terima kasih sudah mengundang Universitas Islam Indonesia (UII). Saya mewakili UII. Di sini saya belajar dan menyerap energi positif dari forum mulia ini.
Izinkan saya memulai dengan melakukan pengakuan: latar belakang pendidikan saya informatika dan sistem informasi, agak jauh pokok kajian forum pagi ini: pemilihan presiden tanpa etika dan penegakan hukum. Karenanya, saya tidak akan mengutip pasal dalam sebuah undang-undang, misalnya. Saya akan masuk ke level abstraksi yang lebih tinggi.
Mohon dimaafkan jika apa yang saya sampaikan tidak sangat mendalam. Paparan ini mungkin semacam “curhat” akademik bertema. Yang menguatkan saya juga adalah bahwa pendapat yang mengatakan intelektual kadang harus keluar dari pagar disiplinnya untuk merespons masalah publik.
Akal sehat yang tergadai
Fenomena yang menjadi fokus tampaknya sudah menjadi semacam rahasia publik. Pelanggaran etika, penyalahgunaan sumber daya negara, potensi pengabaian hukum, dll. Lembaga negara atau lembaga resmi yang seharusnya meniup peluit belum bergerak juga.
Semua orang yang masih tersisa akal sehatnya, sedikit saja, bisa mengendus dengan mudah.
Kita semua bersyukur dalam beberapa hari terakhir, ruang publik menyambut dengan baik pernyataan banyak kampus, dari seluruh penjuru Indonesia.
Hanya saja, tidak semua kampus mempunyai keberanian menyuarakan karena beragam alasan. Saya tidak tahu persisnya. Beragam spekulasi bisa dibuat. Termasuk di dalamnya, tersandera hutang budi. Pernyataan beberapa pimpinan PT beberapa hari terakhir yang penuh puja puji bisa menjadi indikasi. Ternyata ada “operasi pasar” yang dilakukan oleh oknum aparat.
Tentu kritik tidak berarti tidak mengapresiasi sisi baik kinerja pemerintah. Tentu ada prestasi yang dibukukan. Kita bisa buat daftarnya.
Tetapi, ketika ada praktik berbangsa dan bernegara yang keluar dari koridor, sebagai intelektual yang masih waras akalnya harus mengingatkan. Itulah mengapa dalam tradisi di Indonesia, yang diperingati orang adalah haul, hari kematian, jika berakhir dengan husnul khatimah. Jika berakhir buruk, saya khawatir, peringatan haul akan kehilangan alasannya.
Tugas intelektual
Dalam konteks, ada isu intelektualisme yang dipertanyakan. Saya ingat tulisan Noam Chomsky, salah satu tugas intelektual adalah mereka yang menyuarakan kebenaran dan mengungkap kebohongan. Tugas ini tentu dengan risiko.
Saya ingat obrolan personal lewat pesan WhatsApp dengan Prof. Azyumardi Azra Allahuyarham sekitar sebulan sebelum wafatnya. Ketika itu, saya mengingatkan beliau untuk berhati-hati. Ini jawaban beliau
“Saya juga kadang-kadang khawatir karena sering mengkritik secara terbuka di media elektronik dan media cetak. Saya tawakkaltu (alallah) sajalah. … Bahkan yang terhitung kawan kita dalam barisan kepemimpinan nasional ikut-ikutan menyalahkan mereka yang kritis.”
Sebagian kawan terpelajar juga mengatakan, kalau demokrasi mati mengapa orang masih bisa berbicara dan tidak ada yang diproses.
Sebentar. Ini bukan soal kanal bersuara yang dibuka, tetapi bagaimana suara itu secara serius didengar. Suara rakyat tentu bukan sekedar efek suara seperti dalam film-film Hollywood untuk menjadikan adegan lebih kuat tersampaikan. Rakyat tidak hanya sebagai obyek pelanggeng kekuasaan dan mendapatkan legitimasi hanya karena membebaskan bersuara.
Kalau suara rakyat, tentu termasuk kampus, didengar, saya yakin sudah banyak perubahan yang dilakukan. Tapi kan, di lingkaran kekuasaan juga banyak orang terpelajar. Itulah masalahnya. Terpelajar dan tersadar adalah dua cerita yang berbeda.
Beberapa pertanyaan
Saya jadi bertanya, meminjam istilah William Davies dalam bukunya Nervous State, apakah “demokrasi perasaan” (democracy of feelings) juga menemukan buktinya di Indonesia? Ini pertanyaan dan saya serahkan jawabannya ke Ibu/Bapak semua.
Dalam alam demokrasi jenis ini, perasaan semakin mendominasi keputusan manusia dalam mengambil keputusan. Karenanya, fakta pun dimanipulasi untuk memberikan dampak emosional yang maksimum, dan perasaan banyak orang dimainkan untuk menavigasi perubahan yang diinginkan, meski tidak sejalan dengan akal sehat.
Saya juga teringat bukunya Guriev dan Treisman yang berjudul Spin Dictators. Secara sederhana, adalah diktator yang memutarbalikkan fakta. Kediktatoran varian baru ini tidak lagi dilakukan dengan menebar teror atau memanfaatkan aparat, tetapi dengan menguasai narasi.
Diktator jenis ini cenderung populis dan bahkan disuka rakyat. Tapi yang ditampilkan ada sesuatu yang semu belaka karena ada beragam modus yang dilakukan untuk menjadi penjaga gerbang informasi.
Tidak ada kata “Indonesia” dalam buku tersebut. Buku itu terbit 2 tahun lalu, pada 2022. Apakah akan berbeda daftar negara yang masuk di buku tersebut, jika buku ditulis di 2024?
Lagi-lagi, ini sebuah pertanyaan, dan jawabannya saya serahkan ke Ibu/Bapak semua.
Paparan pada diskusi Forum Guri Besar dan Doktor Insan Cita tentang “Pemilihan Presiden Tanpa Etika dan Penegakan Hukum” pada 4 Februari 2024.
UII Mendapat Label Kampus Role Model dari Universitas Muria Kudus
Universitas Islam Indonesia (UII) mendapat julukan sebagai Kampus Role Model oleh Universitas Muria Kudus (UMK) pada kegiatan Kunjungan Kerja, Rabu(1/2) di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII. Pertemuan yang diawali dengan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama ini, mendiskusikan bagaimana menavigasi transformasi digital guna optimalisasi sistem informasi kampus. Read more
Rektor UII Terima Kunjungan Kerja IAIN Palopo
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc. menerima kunjungan kerja dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palopo pada Rabu (31/1) di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII. Pertemuan diawali dengan Penandatanganan Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerja Sama antara oleh kedua belah pihak. Read more
UII Sambut Hangat Kunjungan Telkom University
Universitas Islam Indonesia (UII) menerima kunjungan kerja dari Universitas Telkom pada Rabu (31/1) di Gedung GBPH Prabuningrat, UII Kampus Terpadu. Kunjungan ini mendiskusikan terkait pengembangan karakter, karier, dan pemberdayaan kesejahteraan mahasiswa. Berkesempatan hadir dalam pertemuan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Keagamaan, dan Alumni UII, Dr. Drs. Rohidin, S.H., M.Ag., Direktur Pembinaan Kemahasiswaan UII, Arif Fajar Wibisono, S.E., M.Sc. dan Direktur Kemahasiswaan Telkom University, Desy Dwi Nurhandayani, S. T., M.M. Read more
UII Respons Situasi Politik Nasional
Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai perguruan tinggi nasional yang didirikan para pendiri bangsa, memiliki tanggung jawab moral untuk turut merawat demokrasi dan menjaga martabat kedaulatan rakyat. Merespons situasi politik nasional mutakhir UII menyampaikan pernyataan sikap bertajuk Indonesia Darurat Kenegarawanan.
Read more
Pernyataan Sikap Civitas Academica Universitas Islam Indonesia: Indonesia Darurat Kenegarawanan
Bersiap Hadapi Tantangan Mondial Melalui IISMA Bootcamp
Universitas Islam Indonesia (UII) melalui Direktorat Kemitraan/Kantor Urusan Internasional (DK/KUI) menyelenggarakan IISMA Bootcamp untuk kali kedua pada Senin (29/1) di ruang Teatrikal, Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII Yogyakarta. Kegiatan ini merupakan bentuk persiapan UII dalam menghadapi tantangan mondial sebagai Universitas yang ber-progres mondial. Read more
Dua Dosen UII Sampaikan Pidato Pengukuhan Profesor
Dosen Program Studi Akuntansi Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Rifqi Muhammad, S.E., M.Sc., Ph.D. dan dosen Program Studi Hukum UII, Prof. Nandang Sutrisno, S.H., LL.M., M.Hum., Ph.D. dikukuhkan sebagai profesor pada Selasa (30/1) dalam Rapat Terbuka Senat Pidato Pengukuhan Profesor di Auditorium K.H. Abdul kahar Muzakkir, Kampus Terpadu UII. Masing-masing dosen UII ini dikukuhkan sebagai Profesor Bidang Ilmu Akuntansi dan Profesor Bidang Ilmu Hukum Internasional.
Read more
Rektor UII Mewisuda 717 Lulusan
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. mewisuda 717 lulusan pada pelaksanaan Wisuda UII Periode III Tahun Akademik 2023/2024. Peserta wisuda kali ini terdiri dari 2 program diploma, 630 sarjana, 80 magister, dan 5 doktor. Upacara wisuda yang berlangsung di Auditorium K.H. Abdul Kahar Muzakkir UII ini terbagi dalam dua sesi, Sabtu dan Minggu (27-28/1), dan disiarkan di kanal YouTube Universitas Islam Indonesia.
Read more