FIAI UII Gelar Kuliah Pakar Bahas Ketahanan Keluarga di Era Global

Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII), melalui Program Studi Magister Ilmu Agama Islam dan Program Doktor Hukum Islam, menggelar Kuliah Pakar bertajuk “Tantangan Ketahanan Keluarga Sebagai Miniatur Ketahanan Bangsa di Era Global.” Kegiatan ini berlangsung pada Selasa (20/5), bertempat di Ruang Kuliah 3.16, Gedung KH. Wahid Hasyim FIAI UII.

Kuliah pakar ini menghadirkan dua narasumber utama, yaitu Prof. Dr. Drs. K.H. Muhammad Amin Suma, B.A., S.H., M.A., M.M., selaku Ketua Umum Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI), serta Khoiriyah Roihan, S.Ag., M.H., yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama Yogyakarta. Acara ini ditujukan khusus bagi mahasiswa Program Magister Ilmu Agama Islam dan Program Doktor Hukum Islam.

Selain kuliah pakar, kegiatan ini juga dirangkai dengan prosesi pelantikan pengurus HISSI Daerah Istimewa Yogyakarta periode 2025–2029 oleh Prof. Muhammad Amin Suma. Sebanyak 25 orang pengurus dilantik secara resmi dalam sesi tersebut.

Dalam sambutannya, Dekan FIAI UII, Dr. Drs. Asmuni, M.A., menegaskan pentingnya ketahanan keluarga sebagai isu aktual umat. Ia menyoroti bahwa cinta, sakinah, mawaddah, dan rahmah menjadi fondasi utama dalam menjaga keutuhan rumah tangga.

“Saya heran kenapa ketahanan rumah tangga selalu dikaitkan dengan faktor material. Padahal, perceraian seringkali terjadi karena tidak adanya ketahanan cinta. Ini menjadi tugas kita bersama untuk membimbing umat agar kehancuran rumah tangga tidak menjadi bagian dari kehidupan mereka,” ujarnya

Memasuki sesi kuliah pakar, moderator Dr. Mukhsin Ahmad, S.Ag., M.Ag. memandu jalannya diskusi. Narasumber pertama, Prof. Amin Suma, menyampaikan bahwa angka perceraian di Indonesia menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Beberapa provinsi seperti Maluku, NTT, dan Aceh mencatat rasio perceraian yang lebih rendah dibanding daerah lain.

“Penyebab perceraian tidak hanya faktor ekonomi, tetapi juga muncul karena persoalan sosial seperti komunikasi yang buruk, penundaan pernikahan, hingga ketakutan perempuan terhadap kehamilan dan persalinan,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa dalam banyak kasus, konflik rumah tangga muncul karena pasangan suami istri lebih sering menuntut hak daripada menjalankan kewajiban. Hal ini mengarah pada hubungan yang rapuh dan mudah berakhir di meja perceraian.

Narasumber kedua, Khoiriyah Roihan, menyoroti tantangan yang dihadapi lembaga peradilan agama. Ia mengungkapkan bahwa masyarakat kerap salah kaprah dalam memandang peran pengadilan agama sebagai pihak yang menyebabkan perceraian.

“Padahal, kami ini berada di hilir. Kami hanya menerima masalah yang sudah kompleks dari hulu. Banyak pasangan muda datang ke pengadilan setelah melewati pergaulan bebas, hamil di luar nikah, dan tekanan sosial lainnya,” ungkapnya.

Ia menegaskan bahwa pengadilan agama sejatinya tidak memiliki kewenangan penuh untuk mencegah perceraian. Meski begitu, upaya mediasi terus dilakukan sebagai langkah untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga.

Dalam proses pernikahan dini, pengadilan juga telah menerapkan proses penyaringan (screening) meliputi aspek kesehatan reproduksi, kesiapan mental, dan pemahaman keagamaan. “Faktor ekonomi memang bukan satu-satunya penyebab perceraian, namun hampir semua,” ungkapnya. (GRR/AHR/RS)