Menggali Irisan Islam dan Hukum Humaniter Internasional

Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menjadi pusat refleksi keilmuan dan spiritualitas melalui penyelenggaraan Halaqah Fiqh Syi’ar 2025 pada Selasa (10/6). Kegiatan ini merupakan kolaborasi antara Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam (DPPAI) UII, INSANIA, dan International Committee of Red Cross (ICRC). Pada kesempatan ini, halaqah membahas karya monumental Ustadz Ahmad Sarwat bertajuk Islam dan Hukum Humaniter Internasional, bagian dari serial Kitab Fiqih Kehidupan.

Mengusung tema besar tentang irisan antara hukum Islam dan prinsip-prinsip kemanusiaan universal, acara ini mengajak sivitas akademika dan publik untuk mengkaji bagaimana ajaran Islam secara historis dan normatif telah memuat nilai-nilai hukum humaniter, bahkan jauh sebelum istilah tersebut muncul secara formal dalam hukum internasional modern.

Direktur DPPAI UII, Nanang Nuryanta, dalam sambutannya menekankan pentingnya halaqah ini sebagai wadah dialektika yang tidak hanya membahas dimensi keagamaan, tetapi juga relevansinya terhadap isu-isu kemanusiaan global. “Kami berharap acara ini berlangsung lancar dan berkelanjutan, serta menjadi ruang sinergi yang produktif antara nilai keislaman dan tantangan zaman,” ujarnya.

Sementara itu, perwakilan dari ICRC, Johan Guillaume, menyampaikan bahwa acara seperti ini memiliki makna strategis dalam membangun kesadaran masyarakat terhadap kondisi global, khususnya terkait krisis kemanusiaan di wilayah konflik. Ia menyoroti peran aktif Indonesia dalam kancah pendidikan global dan kontribusinya dalam mendukung perdamaian.

“Indonesia has an important role abroad. It has the capacity to take a lot of students from conflict areas, and this is proven by the many different ethnicities and races living together peacefully in it. Thank you for having us to hold this event, as a tangible step to raise public awareness on the importance of understanding today’s global humanitarian realities,” ungkap Johan Guillaume

Perwakilan dari INSANIA, Gemilang Mahardika, dalam sambutannya menekankan bahwa lembaganya sejak lama konsisten mendalami Hukum Islam dan Hukum Humaniter Internasional (HHI), dan meyakini bahwa keduanya memiliki ruang temu yang luas.

“Kami percaya bahwa hukumislam bersifat timeless, maka hingga saat ini ia dapat dielaborasikan dengan keilmuan kontemporer seperti hukum humaniter jelasnya. Ia juga menyampaikan apresiasi atas keterlibatan semua pihak dalam menyukseskan agenda ini.

Pada sesi inti, Ustadz Ahmad Sarwat, pendiri Rumah Fiqih Indonesia, mengangkat tema yang cukup kompleks: keterkaitan Islam dengan hukum humaniter. Ia mengakui bahwa tidak bisa dipungkiri bahwa ajaran Islam kerap diasosiasikan dengan kekerasan, karena banyak ayat Al-Qur’an membahas soal peperangan, dan kehidupan Nabi Muhammad saw pun tidak lepas dari situasi konflik. Namun, menurutnya, narasi tersebut perlu dipahami dalam konteks yang utuh dan proporsional.

Ia memaparkan bahwa dalam sejarah Islam, terdapat banyak contoh di mana Nabi menampilkan etika kemanusiaan yang sangat tinggi, bahkan dalam kondisi perang. Contohnya adalah Perang Badar, di mana musuh yang tertangkap tidak dibunuh, tetapi ditawan dengan penuh adab; kemudian Fathul Makkah, yang meskipun dimenangkan, tidak diikuti dengan pembantaian; serta peristiwa Thaif, saat Nabi menolak balasan dari malaikat yang siap menghukum kaum yang menyakitinya.

“Susah untuk menampik bahwa Islam punya irisan dengan hukum humaniter internasional. Tapi sesungguhnya, kemenangan dalam Islam bukan berarti memerangi dan membunuh. Yang dimaksud menang adalah ketika kebenaran ditampakkan di atas kebatilan, bukan saat darah ditumpahkan,” tambahnya menegaskan esensi ajaran Islam yang lebih menekankan pada keadilan dan kemanusiaan, bukan dominasi kekerasan.

Ustadz Ahmad Sarwat juga mengajak peserta untuk lebih dalam menggali fiqih jihad dan hukum perang dalam Islam, bukan dari narasi konflik semata, melainkan dari sudut pandang maqashid (tujuan) syariah. “Islam hadir bukan untuk menciptakan perang, tapi untuk mengatur batasan saat perang tidak bisa dihindari,” pungkasnya.

Halaqah Fiqh Syi’ar 2025 bukan hanya menjadi ruang diskusi akademik, tetapi juga menjadi jembatan pemahaman lintas tradisi hukum, sekaligus cermin bahwa Islam memiliki sumbangan penting dalam membangun peradaban global yang lebih manusiawi. Di tengah situasi dunia yang penuh gejolak, acara ini menghadirkan secercah cahaya: bahwa agama, bila dipahami dengan bijak, dapat menjadi pelita bagi kemanusiaan. (IMK/AHR/RS)