Peran dan Salah Kaprah Melihat Data
Selamat atas jabatan profesor untuk Prof Sri Kusumadewi. Bu Cicie, panggilan keseharian beliau, adalah profesor ke-56 yang lahir dari rahim Universitas Islam Indonesia (UII) dan satu dari 50 profesor aktif di UII.
Alhamdulillah, saat ini proporsi dosen yang menjadi profesor adalah 6% (50 dari 833 dosen). Tampaknya sekarang, secara kelembagaan, adalah waktunya UII memanen buat investasi benih yang disemai pada dua sampai tiga dekade yang lalu.
Kini, UII masih mempunyai 295 doktor. Sebanyak 123 di antaranya sudah menduduki jabatan akademik Lektor Kepala. Mereka semua adalah para calon profesor. Semoga banyak di antaranya yang menduduki jabatan profesor dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Salah kaprah data
Izinkan saya di kesempatan yang membahagiakan ini mengajak hadirin untuk melakukan refleksi soal data dalam pengambilan keputusan. Topik ini relevan dengan bidang keilmuan Bu Cicie.
Saat ini, data dipercaya mempunyai banyak manfaat. Bahkan ada yang mengatakan, data adalah minyak bumi baru (data is the new oil), karena nilai yang dikandungnya yang dipersamakan dengan peran minyak bumi pada masa revolusi industri. Frasa ini dinyatakan pertama kali pada 2006 oleh matematikawan berkebangsaan Inggris bernama Clive Humby.
Tetapi, data tidak serta merta memberikan manfaat. Data perlu didapatkan dari sumber yang tepat (data provenance), disiapkan dengan baik (data preparation), dilindungi (data protection), dan disadari aspek privasinya (data privacy). Pemahaman seperti ini diperlukan supaya tidak terjadi “kebakaran data” yaitu beragam masalah yang muncul terkait dengan data (Talagala, 2022).
Selain itu, ada banyak salah kaprah soal dalam memosisikan data terkait pengambilan keputusan yang perlu kita pahami. Kita perlu menambah literasi data kita. Sebagai warga kampus, apalagi akademisi, pemahaman seperti ini penting, supaya kita tidak latah dan dapat terlibat dalam proses edukasi publik.
Mari, kita ambil beberapa contoh salah kaprah ini.
Pertama, sebagian dari kita percaya, jika data tersedia, maka pengambilan keputusan beres: data dianggap dapat berbicara sendiri. Mereka menganggap bahwa data secara otomatis akan menghasilkan kesimpulan yang benar, cukup dengan “melihat angkanya”.
Faktanya, supaya bermakna, data butuh konteks, interpretasi, dan kadang penjelasan kualitatif. Tanpa analisis yang tepat, data bisa menyesatkan atau diartikan keliru.
Keputusan terkait manusia, misalnya, tidak bisa hanya dengan melihat data angka, apalagi sekilas. Ada beragam cerita di belakang data yang sering kali harus masuk ke dalam radar pengambil keputusan.
Kedua, sebagian dari kita juga yakin bahwa semakin banyak data, semakin baik keputusan. Karenanya, diyakini keputusan terbaik adalah yang sepenuhnya berbasis data, dan mengabaikan faktor intuisi, pengalaman, nilai-nilai, atau etika.
Faktanya, data berlebih (information overload) justru bisa membuat proses analisis lambat atau membingungkan, apalagi kalau tidak relevan dengan masalah. Di sisi lain, kehadiran data memang membantu, tapi banyak keputusan juga butuh pertimbangan strategis dan nilai-nilai organisasi.
Belum lagi, dalam beberapa kasus, data tidak tersedia secara memadai, tetapi keputusan harus tetap diambil. Saya masih ingat hari-hari awal aktivitas bakda gempa bumi di Yogyakarta pada 2006, ketika beragam inisiatif dengan asumsi dan pengalaman, karena data yang sangat terbatas.
Ketiga, banyak dari kita yakin bahwa data selalu objektif dan bebas dari bias. Dan, kalau datanya berasal dari sumber resmi, dipastikan benar karena menganggap otoritas data menjamin kebenaran mutlak. Saya teringat seorang kawan yang sedang mengambil program doktor di Australia. Pembimbingnya menyatakan tidak setuju jika riset yang akan dilakukannya menggunakan data sekunder yang telah dikumpulkan oleh sebuah lembaga, karena dia tidak percaya dengan integritas data.
Faktanya, bias, atau kesalahan sistematis, dapat muncul di tahap pengumpulan, pemilihan variabel, metode penyampelan, maupun saat analisis. Data mentah selalu lahir dari asumsi tertentu. Selain itu, sumber resmi pun bisa punya keterbatasan metodologi, keterlambatan pembaruan, atau kesalahan input.
Terkait dengan isu ini, pada 1954, lebih dari 70 tahun lalu, Darrell Huff menulis buku berjudul How to lie with statistics yang memberikan gambaran bagaimana beragam manipulasi statistikal bisa dilakukan, mulai dari pengambilan data sampaikan dengan presentasinya.
Masih banyak buku lain yang menyoal isu serupa, seperti yang ditulis oleh Joel Best (2004) yang berjudul More damned lies and statistics: How numbers confuse public issues yang diterbitkan oleh Universitas California.
Kasus yang mencuat beberapa hari terakhir di negara kita, dapat juga menjadi ilustrasi. Center of Economic and Law Studies (Celios) meminta Badan Statistik PBB (United Nations Statistics Division (UNSD) dan United Nations Statistical Commission untuk melalukan investigasi terhadap Badan Pusat Statistik (BPS). Apa pasal? Celios membandingkan data pertumbuhan ekonomi yang dilaporkan BPS dengan kondisi riil di lapangan.
Jika dugaan Celios benar, maka di sini ada nilai-nilai intergritas yang dilanggar oleh penyelenggara negara.
Contoh lain. Pemeringkatan perguruan tinggi di Indonesia, juga tidak kalis dari potensi praktik manipulasi data. Misalnya, ada kampus yang “mengurangi” cacah mahasiswa sampai lebih dari 50%, dan ada juga yang “menambah” cacah dosennya menjadi 200%, dari yang dilaporkan ke pangkalan data pendidikan tinggi. Soal publikasi yang ditengarai berisiko melanggar integritas akademik sudah dibuka oleh The Research Integrity Risk Index (RI²). Patut diduga, praktik ini sengaja dipilih untuk meningkatkan nilai dalam pemeringkatan.
Tentu masih banyak salah kaprah lain, termasuk di dalamnya: visualisasi data yang tidak selalu membantu, ketika didesain dengan serampangan atau dibarengi dengan niat untuk mengelabuhi atau menyesatkan. Visualisasi ini seperti ini dapat membimbing ke arah interpretasi atau bahkan kesimpulan yang salah.
Peran data
Dalam mengambil keputusan, data dapat memainkan peran yang berbeda-beda—tergantung bagaimana kita menempatkannya. Paling tidak, terdapat tiga pendekatan utama yang sering digunakan: data-driven, data-informed, dan data-inspired.
Yang pertama, data-driven. Di sini, semua keputusan digerakkan sepenuhnya oleh angka dan statistik. Bayangkan seperti autopilot di pesawat—sistem membaca semua parameter, lalu menentukan arah tanpa campur tangan emosi.
Lalu, ada data-informed. Pendekatan ini seperti mengemudi mobil dengan bantuan GPS. Kita tahu arah dan kondisi jalan dari data, tapi tetap punya ruang untuk menyesuaikan jika ada hal-hal tak terduga.
Yang terakhir, data-inspired. Ini seperti melihat peta cuaca sebelum memutuskan aktivitas luar ruang, termasuk main layang-layang. Data memberi ide awal, tapi kita bebas mengeksplorasi pilihan. Data menjadi sumber wawasan, bukan penentu hasil akhir.
Karenanya, jangan sampai kita suka berhalusinasi, bahwa dunia akan semakin indah, jika semua pengambilan keputusan ditentukan sepenuhnya oleh data dan algoritma tanpa campur tangan kita. Bisa jadi, dunia justru menjadi mengerikan, karena manusia direnggut kemerdekaannya, dan diperlakukan tak beda dengan onderdil mesin, yang mengikuti algoritma desainernya.
Data tak selalu bicara dalam nada yang sama. Kadang jadi pengemudi, kadang penunjuk jalan, kadang hanya pemantik imajinasi. Di sini, peran manusia yang kapabel dan berintegritas sangat menentukan.
Referensi
Best, J. (2004). More damned lies and statistics: How numbers confuse public issues. University of California Press.
Huff, D. (2023). How to lie with statistics. Penguin UK.
Talagala, N. (2022). Data as the new oil is not enough: four principles for avoiding data fires. Forbes. Tersedia daring: https://www.forbes.com/sites/nishatalagala/2022/03/02/data-as-the-new-oil-is-not-enough-four-principles-for-avoiding-data-fires/
Sambutan pada acara serah terima Surat Keputusan Jabatan Akademik Profesor Dr. Sri Kusumadewi di Universitas Islam Indonesia pada 12 Agustus 2025
Fathul Wahid
Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026