UII dan TII Komitmen Perjuangkan Kebebasan Akademik
Universitas Islam Indonesia.(UII) berkolaborasi dengan The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) mengadakan kegiatan Diseminasi Hasil Riset dengan tajuk, “Menjaga Kebebasan Akademik, Merawat Demokrasi Bangsa” pada Kamis (18/09) di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII. Kegiatan ini menjadi bagian penting dari upaya dan komitmen akademik dalam menanggapi beragam isu tantangan kebebasan akademik dan menyuarakan kepentingan kaum marjinal agar dapat didengar dan diperhitungkan oleh elit politik.
Kegiatan diawali dengan sambutan oleh Rektor UII, Fathul Wahid. Dalam sambutannya beliau menyatakan bahwa akhir-akhir ini kebebasan akademik menghadapi beragam tantangan dalam beberapa dekade terakhir. Salah satunya adalah pergeseran relasi antara negara dengan perguruan tinggi dari kontrol langsung menjadi pengendalian jarak jauh oleh negara. “Ada beragam studi yang bisa kita kutip disini misalnya, bahwa saat ini sebetulnya perguruan tinggi sering dibingkai sebagai barang publik tetapi dalam praktiknya seringkali diberlakukan seperti komoditas,” ungkapnya.
Ia juga menyebutkan beberapa negara di dunia terjadi pergeseran budaya politik yang sering dibingkai dengan istilah pemerintahan yang populisme. Pergeseran budaya politik ini berpengaruh bagi kebebasan akademik. “Bentuknya bisa bermacam-macam, pembatasan topik-topik yang sifatnya kritis dan bahkan pelemahan institusi yang seharusnya menjaga kebebasan akademik. Pertanyaanya, bagaimana di Indonesia?” ujarnya sekaligus memantik sesi diskusi.
Direktur Eksekutif TII, Adinda Tenriangke Muchtar, Ph.D dalam penyampaian hasil risetnya menyatakan bahwa Indonesia masih memiliki banyak permasalahan mengenai kebebasan akademik. Menurutnya, indikator menurunnya integritas perguruan tinggi serta ekspresi akademik dan budaya adalah semakin sempitnya ruang aman untuk berpikir kritis dan menyuarakan pandangan alternatif di lingkungan perguruan tinggi.
TII dalam penelitiannya menganalisis kebebasan akademik di Indonesia menggunakan dua konsep. “Yang pertama untuk mengevaluasi kebijakan terkait perlindungan kebebasan akademik, terkait proses kebijakan tersebut, dan kami menggunakan konsep lain terkait sistem hukum.” Meski Adinda menyatakan secara normatif kebijakan kebebasan akademik sudah cukup lengkap, dalam praktiknya, Indonesia masih lemah dalam budaya hukum. “Jadi, literasi kita dalam budaya hukum mengenai kebebasan akademik juga masih rendah, atau ketika kita menyatakan kebebasan akademik itu penting tapi belum menjadi prioritas. Makanya, tidak heran kalau hari ini kita masih menyaksikan masih maraknya pelanggaran kebebasan akademik termasuk ketika ada teman-teman mahasiswa yang ditangkap, ada yang hilang, dan bentuk-bentuk represi dan pelanggaran lainnya,” ungkapnya. Dalam pemaparan materi TII mencatat 86 kasus pelanggaran kebebasan akademik dalam rentang tahun 2019 hingga Juli 2025 dengan mahasiswa sebagai kelompok paling terdampak dengan jumlah 44 kasus.
Sementara itu, Eko Riyadi, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas Hukum UII dan Direktur Pusat Studi HAM UII dan Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Budaya (FISB) dan Direktur Pusat Studi Agama & Demokrasi UII menambahkan sesi diskusi untuk membahas bagaimana menempatkan kebebasan akademik dalam kebebasan berekspresi dan dalam konteks akademik itu sendiri. “Kebebasan akademik dalam kerangka hak asasi manusia diletakkan menjadi bagian dari hak sipil yang sangat dekat dengan kebebasan berekspresi.” ujar Eko.
Ia juga menambahkan bahwa kritis dalam berpikir sangat penting bagi seorang pembelajar atau mahasiswa. Jika, ada stratifikasi antara mahasiswa dengan dosen terlebih lagi pemerintah maka akan semakin sulit membangun kritisisme dalam lingkungan perguruan tinggi dan juga negara. Prof. Masduki juga menegaskan bahwa tujuan akhir dari kebebasan akademik adalah pemenuhan hak atas pendidikan bagi semua orang.
TII dalam penyampaian materinya memberikan rekomendasi-rekomendasi kebijakan seperti pembentukan Peraturan Khusus Perlindungan Kebebasan Akademik yang melibatkan Kemendikbudristek dan Komnas HAM untuk merumuskan regulasi khusus atau amandemen Permendiktisaintek tentang Kebebasan Akademik dan Penyusunan SOP dan Protokol Perlindungan di Perguruan Tinggi.
Forum diseminasi ditutup secara simbolis dengan penandatangan Pernyataan Komitmen Bersama “Menjaga & Memperjuangkan Kebebasan Akademik” oleh Rektor UII , Fathul Wahid dan Direktur Eksekutif TII, Adinda Tenriangke Muchtar, Ph.D. Terakhir Adinda menegaskan bahwa kebebasan akademik adalah tanggung jawab bersama. “Kebebasan itu bukan sesuaitu yang cuma-cuma, kebebasan itu harus diperjjuangkan bersama karena itu bagian dari hak asasi kita, dan kita sebagai akademisi yang berpikiran maju, bermanfaat, dan relevan untuk sekitar kita maka itu perlu diperjuangkan bersama-sama,” pungkasnya. (AAO/AHR/RS)