Mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Islam Indonesia (UII) kembali meraih kesempatan tampil di ajang internasional. Tiga mahasiswa, yakni Satria Akbar Putra Asmara (2023), Muhammad Yahya Ayyash (2023), dan Ulil Albab Habibah (2019), mengikuti 23rd International Camp for Medical Students 2025 di Mombasa, Kenya, pada 2–6 Agustus 2025.

Ajang internasional tahunan ini dihelat oleh Federation of Islamic Medical Associations (FIMA) sebagai ruang kolaborasi dan silaturahmi dokter muslim dari seluruh dunia. Mengangkat tema Medicine through Time: An Islamic Perspective, kegiatan ini mencakup kuliah umum yang membawakan berbagai topik hingga bakti sosial ke Distrik Kisauni. Acara ini juga dihadiri oleh 110 delegasi dari berbagai negara meliputi Indonesia, Malaysia, Bangladesh, Arab Saudi, Suriah, Palestina, Turki, Kenya, Unganda, Kongo, dan Afrika Selatan.

Satria, salah satu delegasi FK UII, saat diwawancarai menceritakan kegiatan mereka di Distrik Kisauni. Bersama teman sejawatnya, ia terlibat dalam penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan, termasuk pengukuran antropometri, pengecekan gula darah, serta sosialisasi resusitasi jantung paru (RJP) untuk kondisi darurat.

“Selain itu, ada sesi bertukar budaya dengan menceritakan kebudayaan, keadaan, dan perkembangan organisasi kedokteran muslim di negara masing-masing. Tak lupa, ada medical conference yang menghadirkan salah satu narasumber yaitu dr. Syarif Gazali, seorang ahli bedah plastik dari Inggris. Ia membahas integrasi antara ajaran Islam dengan kedokteran modern serta menyoroti ilmuwan-ilmuwan muslim yang berperan dalam kedokteran modern,” ungkap Satria

Satria juga mengungkapkan pengalaman berkesan selama bakti sosial di Distrik Kisauni, sebuah wilayah kumuh di Mombasa. Pemandangan sumber air yang keruh dan kotor menjadi kenyataan pahit bagi warga disana yang ia dan teman sejawatnya saksikan langsung.

“Kita bener-bener ngelihat kondisi disana, seperti yang digambarkan oleh WHO. Terlepas dari hal itu, kemampuan berbahasa inggris warga disana itu  jago banget karena bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa dalam pendidikan sedangkan untuk bahasa sehari-hari baru menggunakan bahasa lokal, Swahili, tapi mereka juga tetap menggunakan bahasa Inggris dalam kesehariannya dalam beraktivitas,” ujar Satria.

Di tengah kegiatan, Satria dan teman-teman sejawatnya pun tak lepas dari tantangan mulai dari kondisi keamanan negara Kenya yang rawan pencurian hingga tindakan rasisme terutama untuk orang berkulit putih.

“Selain itu, tantangannya adalah bahasa inggris dimana kalo di Indonesia kita tidak terlalu terbiasa untuk menggunakan bahasa inggris untuk daily conversation. Tapi di benua Afrika itu menggunakan bahasa inggris khususnya untuk pendidikan. Sebenarnya ini menjadi insight yang unik juga bahwa negara-negara di Afrika itu tidak seburuk yang kita bayangkan. Mereka juga tetap menghormati dan mendengarkan kita saat berbicara agak lambat dalam bahasa Inggris,” jelas Satria.

Terlepas dari tantangan yang dihadapi, Satria dan teman sejawatnya mendapat pelajaran berharga, terutama tentang rasa syukur.

“Pelajaran penting bagi kami adalah banyak bersyukur saat melihat kondisi kawasan kumuh di sana. Di Indonesia kita sering mengeluh, tapi di Kenya, kebutuhan dasar seperti air bersih sangat terbatas dan lingkungannya kumuh. Bahkan hanya Nairobi yang terbilang rapi,” kata Satria.

Tak lupa, Satria juga berpesan kepada teman-teman sejawat mahasiswa kedokteran untuk sesekali terjun ke daerah kumuh karena pengalaman tersebut mampu menambah rasa bersyukur dan menumbuhkan kepedulian kepada sesama manusia. (AHR/RS)

Program Studi Akuntansi Program Sarjana Universitas Islam Indonesia (UII) berhasil meluluskan 130 mahasiswanya dalam sertifikasi Pencegahan dan Pendeteksian Fraud. Kelulusan secara resmi ditandai dengan penyerahan sertifikat auditor forensik yang digelar pada Kamis (18/9) di Gedung Prof. Dr. Ace Partadiredja, Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UII.

Selain prosesi penyerahan sertifikat, acara juga diisi dengan kuliah pakar yang menghadirkan Wakil Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Sleman, M. Yudhika Elrifi, M.Sc., Ak., CA., BPKP., CPA., CFrA., CFI, sebagai narasumber. Turut hadir dalam acara Dekan Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII, Prof. Johan Arifin, S.E., M.Si., Ph.D. dan Ketua Pusat Studi Auditor Forensik UII, Hendi Yogi Prabowo, S.E., M.For.Accy., Ph.D.

Hendi Yogi Prabowo mengemukakan, untuk membangun nilai – nilai anti-korupsi di Indonesia, Program Studi Akuntansi Program Sarjana UII berkomitmen menjadikan anti-korupsi sebagai salah satu komponen wajib dalam pembelajaran akuntansi di kalangan mahasiswa program sarjana. Salah satu inovasi yang dikembangkan adalah adanya program Certified Forensic Auditor (CFrA) Klaster 1 yang melekat pada pembelajaran Audit Forensik untuk mahasiwa program sarjana akuntansi.

Dijelaskan Hendi Yogi Prabowo, program sertifikasi yang diakui secara nasional ini bekerja sama dengan Lembaga Sertifikasi Profesi Auditor Forensik (LSP- AF) dan merupakan satu – satunya program CFrA Klaster 1 di Indonesia yang dapat diikuti oleh mahasiwa program sarjana akuntansi. Mahasiswa yang telah lulus program ini akan mendapatkan status sebagai Ahli Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan (fraud) yang diakui secara nasional.

Lebih lanjut Hendi Yogi  Prabowo menjelaskan, sebagai sebuah penyakit sosial yang serius, korupsi berdampak pada rusaknya kepercayaan publik, penurunan kualitas layanan masyarakat, dan melambatnya pertumbuhan ekonomi, sehingga perlu diberikan perhatian khusus dalam pemberantasannya. Upaya penindakan tegas yang telah dilakukan selama bertahun – tahun terbukti belum cukup dalam menuntaskan permasalahan korupsi di Indonesia. Pembangunan budaya integritas melalui pendidikan, terutama pendidikan anti-korupsi, adalah salah satu solusi terbaik untuk menutup keran korupsi dari hulu.

Menurut Hendi Yogi  Prabowo, pentingnya pendidikan anti-korupsi terkait dengan perannya dalam membangun cara pandang yang baik terhadap lingkungan serta pengetahuan dan ketrampilan yang sesuai dengan semangat anti-korupsi di Indonesia. Adanya cara pandang yang baik terhadap lingkungan akan menghasilkan generasi muda yang tidak hanya tahu bahwa korupsi adalah perbuatan yang salah namun juga memahami pentingnya untuk tidak menormalisasi korupsi meskipun berhadapan dengan tekanan sosial atau kepentingan – kepentingan tertentu.

Di sisi lain, lanjut Hendi Yogi Prabowo, tanpa pengetahuan mencukupi tentang mekanisme yang benar terkait dengan proses-proses organisasi yang ada di lingkungan kita, maka akan sulit bagi kita untuk mengenali pola-pola penyimpangan yang dapat mengarah kepada tindak pidana korupsi. Dengan pengetahuan dan kapasitas yang mencukupi untuk mencegah dan mendeteksi korupsi maka akan diharapakan untuk terjadinya perbaikan sistemik yang nyata.

“Pendidikan anti-korupsi yang menyatukan nilai, pengetahuan, dan praktik akan melahirkan generasi penerus bangsa yang bukan hanya menolak, melainkan juga mampu mencegah dan mengungkap korupsi secara proaktif dan efektif,” tandas Hendi Yogi Prabowo.

Hendi Yogi Prabowo menegaskan, dalam upaya pemberantasan korupsi, generasi muda menempati posisi yang sangat strategis. Generasi muda Indonesia saat ini tumbuh sebagai warga digital yang sangat akrab dengan data dan teknologi dan mampu mengolah informasi dengan cepat serta membangun jejaring yang luas. Potensi ini tidak boleh hanya dibiarkan menjadi potensi laten dan perlu diarahkan dengan kurikulum pendidikan yang kontekstual sesuai dengan kebutuhan Masyarakat. Lembaga pendidikan tinggi seperti universitas memiliki peran strategis dalam membentuk sumber daya manusia yang akan memimpin Indonesia di masa depan.

Pada titik inilah menurut Hendi Yogi Prabowo, pendidikan antikorupsi harus bergerak dari ruang seminar insidental ke jalur utama kurikulum. Pendidikan anti-korupsi semestinya bukan hanya sebagai pelengkap kurikulum, melainkan sebagai salah satu fondasi masa depan bangsa. Bila ruang – ruang kuliah dapat menjadi ladang penanaman nilai, pengetahuan, dan keterampilan yang relevan terkait anti-korupsi, maka di masa yang akan datang lingkungan organisasi dan profesi pun akan dipenuhi oleh SDM yang berintegritas dan berkompetensi tinggi.

“Dengan kurikulum pendidikan akuntansi yang memberikan ruang yang lebih luas pada pendidikan anti-korupsi, Prodi Sarjana Akuntansi UII berkomitmen untuk menghasilkan generasi akuntan profesional yang tidak hanya berintegritas tinggi namun juga mempunyai kompetensi anti-korupsi berstandar tinggi. Dengan komitmen ini UII akan selalu menjadi bagian dari gerakan perubahan menuju Indonesia yang maju dan bebas korupsi,” tutur Hendi Yogi Prabowo.

Universitas Islam Indonesia.(UII) berkolaborasi dengan The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) mengadakan kegiatan Diseminasi Hasil Riset dengan tajuk, “Menjaga Kebebasan Akademik, Merawat Demokrasi Bangsa” pada Kamis (18/09) di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII. Kegiatan ini menjadi bagian penting dari upaya dan komitmen akademik dalam menanggapi beragam isu tantangan kebebasan akademik dan menyuarakan kepentingan kaum marjinal agar dapat didengar dan diperhitungkan oleh elit politik.

Kegiatan diawali dengan sambutan oleh Rektor UII, Fathul Wahid. Dalam sambutannya beliau menyatakan bahwa akhir-akhir ini kebebasan akademik menghadapi beragam tantangan dalam beberapa dekade terakhir. Salah satunya adalah pergeseran relasi antara negara dengan perguruan tinggi dari kontrol langsung menjadi pengendalian jarak jauh oleh negara. “Ada beragam studi yang bisa kita kutip disini misalnya, bahwa saat ini sebetulnya perguruan tinggi sering dibingkai sebagai barang publik tetapi dalam praktiknya seringkali diberlakukan seperti komoditas,” ungkapnya.

Ia juga menyebutkan beberapa negara di dunia terjadi pergeseran budaya politik yang sering dibingkai dengan istilah pemerintahan yang populisme. Pergeseran budaya politik ini berpengaruh bagi kebebasan akademik. “Bentuknya bisa bermacam-macam, pembatasan topik-topik yang sifatnya kritis dan bahkan pelemahan institusi yang seharusnya menjaga kebebasan akademik. Pertanyaanya, bagaimana di Indonesia?” ujarnya sekaligus memantik sesi diskusi.

Direktur Eksekutif TII, Adinda Tenriangke Muchtar, Ph.D dalam penyampaian hasil risetnya menyatakan bahwa Indonesia masih memiliki banyak permasalahan mengenai kebebasan akademik. Menurutnya, indikator menurunnya integritas perguruan tinggi serta ekspresi akademik dan budaya adalah semakin sempitnya ruang aman untuk berpikir kritis dan menyuarakan pandangan alternatif di lingkungan perguruan tinggi.

TII dalam penelitiannya menganalisis kebebasan akademik di Indonesia menggunakan dua konsep. “Yang pertama untuk mengevaluasi kebijakan terkait perlindungan kebebasan akademik, terkait proses kebijakan tersebut, dan kami menggunakan konsep lain terkait sistem hukum.” Meski Adinda menyatakan secara normatif kebijakan kebebasan akademik sudah cukup lengkap, dalam praktiknya, Indonesia masih lemah dalam budaya hukum. “Jadi, literasi kita dalam budaya hukum mengenai kebebasan akademik juga masih rendah, atau ketika kita menyatakan kebebasan akademik itu penting tapi belum menjadi prioritas. Makanya, tidak heran kalau hari ini kita masih menyaksikan masih maraknya pelanggaran kebebasan akademik termasuk ketika ada teman-teman mahasiswa yang ditangkap, ada yang hilang, dan bentuk-bentuk represi dan pelanggaran lainnya,” ungkapnya. Dalam pemaparan materi TII mencatat 86 kasus pelanggaran kebebasan akademik dalam rentang tahun 2019 hingga Juli 2025 dengan mahasiswa sebagai kelompok paling terdampak dengan jumlah 44 kasus.

Sementara itu, Eko Riyadi, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas Hukum UII dan Direktur Pusat Studi HAM UII dan Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Budaya (FISB) dan Direktur Pusat Studi Agama & Demokrasi UII menambahkan sesi diskusi untuk membahas bagaimana menempatkan kebebasan akademik dalam kebebasan berekspresi dan dalam konteks akademik itu sendiri. “Kebebasan akademik dalam kerangka hak asasi manusia diletakkan menjadi bagian dari hak sipil yang sangat dekat dengan kebebasan berekspresi.” ujar Eko.

Ia juga menambahkan bahwa kritis dalam berpikir sangat penting bagi seorang pembelajar atau mahasiswa. Jika, ada stratifikasi antara mahasiswa dengan dosen terlebih lagi pemerintah maka akan semakin sulit membangun kritisisme dalam lingkungan perguruan tinggi dan juga negara. Prof. Masduki juga menegaskan bahwa tujuan akhir dari kebebasan akademik adalah pemenuhan hak atas pendidikan bagi semua orang.

TII dalam penyampaian materinya memberikan rekomendasi-rekomendasi kebijakan seperti pembentukan Peraturan Khusus Perlindungan Kebebasan Akademik yang melibatkan Kemendikbudristek dan Komnas HAM untuk merumuskan regulasi khusus atau amandemen Permendiktisaintek tentang Kebebasan Akademik dan Penyusunan SOP dan Protokol Perlindungan di Perguruan Tinggi.

Forum diseminasi ditutup secara simbolis dengan penandatangan Pernyataan Komitmen Bersama “Menjaga & Memperjuangkan Kebebasan Akademik” oleh Rektor UII , Fathul Wahid dan Direktur Eksekutif TII, Adinda Tenriangke Muchtar, Ph.D. Terakhir Adinda menegaskan bahwa kebebasan akademik adalah tanggung jawab bersama. “Kebebasan itu bukan sesuaitu yang cuma-cuma, kebebasan itu harus diperjjuangkan bersama karena itu bagian dari hak asasi kita, dan kita sebagai akademisi yang berpikiran maju, bermanfaat, dan relevan untuk sekitar kita maka itu perlu diperjuangkan bersama-sama,” pungkasnya. (AAO/AHR/RS)

Ratusan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta memadati Ruang Teatrikal Gedung Kuliah Umum, Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), pada Rabu (17/9). Mereka menghadiri Kajian Mahasiswa Muslim Jilid IV yang digelar Takmir Masjid Al Barkah LLDIKTI Wilayah V bekerja sama dengan UII dengan tema Islam, Etika, dan Keadilan: Solusi Islam untuk Negeri yang Terluka.

Acara ini diikuti oleh lebih dari 180 mahasiswa delegasi dari 92 perguruan tinggi yang berada di bawah koordinasi LLDIKTI Wilayah V. Dalam sambutannya, Prof. Setyabudi menegaskan pentingnya peran mahasiswa sebagai agen perubahan yang tidak hanya unggul dalam bidang akademik, tetapi juga kuat dalam hal akhlak dan moral. Ia menyoroti kondisi sosial mahasiswa di Yogyakarta yang belakangan ini memunculkan keprihatinan. Menurutnya, berbagai persoalan perilaku menyimpang membuat sebagian orang tua merasa khawatir menyekolahkan anak-anaknya di kota pelajar ini.

“Kondisi ini tentu memprihatinkan. Bahkan ada orang tua yang sampai takut menyekolahkan anaknya di Yogyakarta. Harapan kami, melalui kajian ini akan lahir secercah cahaya terang yang bisa menjadi inspirasi bagi mahasiswa untuk kembali meneguhkan nilai-nilai Islam, etika, dan keadilan,” ujar Prof. Setyabudi.

Puncak kegiatan diisi dengan kajian utama yang disampaikan oleh Ustadz Ahmad Sadzali, Lc., M.H. Dalam paparannya, Ia menekankan bahwa Islam menawarkan solusi menyeluruh bagi berbagai permasalahan bangsa. Menurutnya, keadilan dan etika adalah fondasi penting yang harus ditegakkan agar masyarakat dapat keluar dari krisis moral dan sosial.

Ustadz Sadzali juga menyoroti fenomena “matinya kepakaran” di era digital. Ia mengungkapkan keprihatinannya karena masyarakat saat ini cenderung lebih mempercayai pendapat influencer di media sosial dibandingkan para pakar yang memiliki kredibilitas keilmuan. “Ini fenomena yang miris. Popularitas seringkali lebih didengar daripada kompetensi. Jika hal ini terus dibiarkan, maka kebenaran bisa terkaburkan oleh opini yang dangkal dan menyesatkan,” tegasnya.

Menurutnya, mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk tidak ikut terjebak dalam arus informasi yang menyesatkan. Ia mengajak generasi muda kampus untuk menghidupkan kembali budaya menghormati ilmu pengetahuan dan menjadikan para ahli sebagai rujukan utama dalam mencari kebenaran.

Antusiasme peserta terlihat sepanjang acara, banyak mahasiswa menilai topik yang diangkat sangat relevan dengan kondisi bangsa saat ini, terutama di tengah maraknya krisis keadilan sosial, degradasi moral, serta derasnya arus informasi yang tidak terverifikasi.

Melalui kegiatan ini, mahasiswa diharapkan tidak hanya memandang Islam sebatas ajaran spiritual, tetapi juga sebagai panduan etika yang mampu memberikan solusi nyata bagi berbagai problematika bangsa. Dengan demikian, generasi muda dapat berperan aktif mewujudkan negeri yang lebih adil, beradab, dan bermartabat. (ELKN/AHR/RS)

Tantangan kebebasan akademik

Dalam beberapa dekade terakhir, kebebasan akademik di perguruan tinggi menghadapi tantangan baru dari tiga arah (Rostan, 2010).

Pertama, relasi antara negara dan perguruan tinggi bergeser dari kontrol langsung menuju penyetiran jarak jauh (distant steering): kita diberi otonomi yang lebih luas, namun disertai tuntutan akuntabilitas dan pengukuran kinerja yang ketat, bahkan pendanaan kini dikaitkan dengan performa.

Studi yang dilakukan oleh Pap (2020) menegaskan bahwa pendidikan tinggi dan sains seseringnya dianggap sebagai barang publik, tapi dalam praktiknya bisa diperlakukan seperti komoditas di bawah tekanan neoliberal. Di Hungaria, pergeseran budaya politik yang lembut mempunyai pengaruh terhadap kebebasan akademik: sensor sendiri (self-censorship), pembatasan topik kritis, atau pelemahan institusi yang seharusnya menjaga kebebasan akademik (Pap, 2020).

Kedua, di dalam perguruan tinggi, peran manajemen administratif semakin dominan. Ini adalah salah satu dampak pola pikir korporatisasi yang merupakan anak kandung neoliberalisme dana pendidikan tinggi. Efeknya, neoliberalisme memicu komersialisasi pendidikan tinggi: universitas dianggap sebagai institusi seperti bisnis, peneliti lebih bergantung pada pendanaan eksternal, dan kinerja serta produktivitas sering kali diukur berdasarkan variabel yang bersifat kuantitatif dan “terlihat” (Pap, 2020).

Profesionalisasi manajemen, atau korporatisasi, memang membantu mengelola mahasiswa dan riset yang kompleks, tetapi juga memperkuat kontrol internal yang dapat mempersempit ruang kekebasan akademik.

Korporatisasi dipercaya telah mendorong dunia akademik memasuki fase transisi yang penuh ketidakpastian ketika identitas dan tujuan perguruan tinggi tengah dipertaruhkan. Pergeseran menuju etos yang berorientasi konsumen mengancam untuk mengubah pendidikan dari sebuah proses pembentukan intelektual menjadi sekadar transaksi layanan (Alibašić et al., 2024).

Ketiga, tekanan dari ekonomi dan masyarakat semakin kuat. Perguruan tinggi diminta mendukung pembangunan, inovasi, dan menyiapkan lulusan siap kerja, sementara akademisi harus membuktikan relevansi riset dan pengajarannya bagi banyak pemangku kepentingan. Semua ini membawa manfaat, tetapi sekaligus menantang kemampuan kita menjaga kebebasan akademik sebagai fondasi kehidupan ilmiah.

 

Kebebasan akademik dan ekosistem politik

Di saat yang sama, dalam konteks yang lebih luas, temuan riset global selama hampir enam dekade menunjukkan bahwa kebebasan akademik sangat dipengaruhi oleh ekosistem politik. Demokrasi elektoral, parlemen bikameral, sistem pemilu proporsional, dan peradilan yang akuntabel terbukti memperkuat ruang kebebasan ini. Sebaliknya, sistem komunis menjadi hambatan terbesar bagi berkembangnya kebebasan akademik (Berggren & Bjørnskov, 2022).

Temuan ini mengingatkan kita bahwa kebebasan akademik bukan hanya persoalan internal kampus. Ia adalah cermin kesehatan politik suatu bangsa, dan hanya dapat tumbuh subur ketika lingkungan politiknya inklusif, adil, dan memberi ruang bagi kebebasan berpikir.

Perspektif ini sejalan dengan gagasan tanggung jawab intelektual, seperti yang digaungkan oleh Chomsky (Allot et al., 2019). Menurutnya, tanggung jawab utama seorang intelektual adalah mencari dan mengungkap kebenaran—terutama kebenaran yang disembunyikan atau diputarbalikkan oleh pemerintah, korporasi, atau media arus utama. Dalam esainya yang terkenal “The Responsibility of Intellectuals”, Chomsky menegaskan bahwa kewajiban intelektual adalah “to speak the truth and to expose lies.”

Lebih dari itu, intelektual dituntut untuk selalu bersikap kritis terhadap kekuasaan, khususnya kekuasaan negara, karena sering kali negara bertindak untuk melindungi kepentingan elite politik dan ekonomi, bukan kepentingan publik.

Tugas moral intelektual juga mencakup keberanian untuk menyuarakan kepentingan mereka yang tak bersuara, kelompok yang termarjinalkan, dan korban ketidakadilan. Sebab, diam di hadapan ketidakadilan sama artinya dengan menjadi bagian dari sistem yang menindas.

Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya, di antara bentuk jihad yang paling agung adalah menyampaikan perkataan yang adil di hadapan penguasa yang zalim.” (Jami’ At-Tirmidzi 2174)

 

Referensi

Alibašić, H., L. Atkinson, C., & Pelcher, J. (2024). The liminal state of academic freedom: Navigating corporatization in higher education. Discover education3(1), 7.

Berggren, N., & Bjørnskov, C. (2022). Political institutions and academic freedom: evidence from across the world. Public choice190(1), 205-228.

Pap, A. L. (2020). Academic freedom: A test and a tool for illiberalism, neoliberalism, and liberal democracy. The Brown Journal of World Affairs27(11), 1-22.

Rostan, M. (2010). Challenges to academic freedom: Some empirical evidence. European Review18(S1), S71-S88.

Allott, N., Knight, C., Smith, N., & Chomsky, N. (2019). The responsibility of intellectuals: reflections by Noam Chomsky and others after 50 years. UCL Press.

 

Sambutan pada Diskusi Kebebasan Akademik yang merupakan kerja sama antara Universitas Islam Indonesia dan The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research, pada 18 September 2025

Fathul Wahid

Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026

Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (YBW UII) menyelenggarakan Peresmian Rumah Peradaban Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir dan Peluncuran  Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir Center pada Selasa (16/09) di Kelurahan Purbayan, Kotagede, Kota Yogyakarta. Momentum bersejarah ini bertepatan dengan Milad YBW UII, sehingga menjadi penanda penting perjalanan yayasan dalam mengabdi bagi umat, bangsa, dan peradaban.

Acara ini akan dihadiri oleh sejumlah tokoh nasional dan daerah, di antaranya Ketua Umum Pengurus Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia, Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si dan Prof. Dr. Mahfud MD selaku narasumber yang juga Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum (FH) UII, serta Rektor Universitas Islam Indonesia, Fathul Wahid, bersama para tamu undangan lainnya.

Peresmian Rumah Peradaban Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir merupakan ikhtiar merawat memorabilia pahlawan nasional sekaligus pendiri UII tersebut. Meski sederhana, rumah tinggal beliau menjadi saksi lahirnya berbagai gagasan kebaikan yang diwariskan hingga kini. Rumah ini telah direnovasi dengan tetap mempertahankan keasliannya melalui kurasi tim yang terdiri atas arsitek hingga ahli cagar budaya. Upaya ini menjadi bagian dari komitmen berkesinambungan untuk menjaga warisan bagi generasi mendatang.

“Kayu-kayu yang ada ini sebagian original, sebagian dicari ke berbagai tempat di Jawa Tengah agar menyerupai aslinya, sebagian dipertahankan. Sebagian tembok kalau Bapak Ibu lihat ini masih dijaga keasliannya, tidak diapa-apakan bahkan tidak dicat masih ada lumutnya agar memori menjadi lengkap. Karena kami ingat betul betapa sulitnya membangun kembali satu tempat dimana lahir dan pernah besar seorang pejuang,” ungkap Ketua Umum YBW UII ini.

Rumah Peradaban Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir hadir sebagai ruang sejarah, seni, kebudayaan, sekaligus pemasyarakatan nilai-nilai luhur yang beliau wariskan. Kehadirannya diharapkan bukan hanya menjadi pengingat sejarah, tetapi juga wadah lahirnya gagasan baru serta media untuk mengenalkan figur Prof. Kahar kepada masyarakat luas.

“Semoga rumah peradaban menjadi momentum untuk merawat dan meneladan nilai-nilai luhur yang dijalankan dan diajarkan oleh Mbah Kahar, seorang intelektual, pejuang, tokoh yang visinya melampaui zamannya!,” harap Rektor UII, Fathul Wahid yang dituliskan dalam kanvas harapan.

Pada saat yang sama,  YBW UII juga meluncurkan Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir Center. Lembaga ini lahir untuk mewarisi peran beliau sebagai ulama, intelektual, dan negarawan yang menanamkan fondasi Islam berpadu dengan keilmuan, kepedulian sosial, keterbukaan pemikiran, serta jejaring lintas bangsa. Semangat tersebut menjadi inspirasi lahirnya pusat ini, yang berkomitmen menjawab tantangan global mulai dari ketimpangan sosial, krisis kemanusiaan, hingga pembangunan berkelanjutan.

Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir Center dirancang sebagai ruang yang menghubungkan kepedulian terhadap persoalan lokal dengan peluang global, sekaligus menghidupkan kembali semangat Prof. Kahar dalam membangun UII sebagai rumah terbuka bagi semua. Lembaga ini akan menjadi pusat unggulan Yayasan Badan Wakaf (YBW) UII dalam mengkoordinasikan pengabdian masyarakat berbasis filantropi Islam yang inovatif dan berkelanjutan sekaligus merelevansikan pemikiran Prof. KH Abdul Kahar Mudzakkir dalam menghadapi berbagai tantangan kontemporer.

Dengan Peresmian Rumah Peradaban Prof. KH Abdul Kahar Mudzakkir dan Peluncuran Prof. KH Abdul Kahar Mudzakkir Center, YBW UII berharap agar hal ini dapat menjadi upaya aktif untuk menyebarluaskan teladan dari para pendahulu dapat lestari hingga generasi mendatang. (SY/AHR/RS)

Program Penguatan Kapasitas Organisasi Kemahasiswaan(PPK Ormawa) Jafana Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar workshop pengendalian hama dan penyakit tanaman cabai untuk petani komunitas Sribinangun dilaksanakan pada Selasa (16/09) di Aula Kalurahan Pakembinangun. Workshop ini diselenggarakan sebagai respons terhadap kebutuhan petani dalam mengatasi permasalahan hama dan penyakit tanaman cabai di wilayah Sleman, dimana dengan karakteristik tanah lokal yang bertekstur berpasir dan tantangan penggunaan pupuk kimia yang tidak tepat, diperlukan pendekatan holistik dalam pengelolaan lahan dan tanaman yang berkelanjutan.

Tujuan workshop adalah meningkatkan pemahaman petani tentang karakteristik tanah lokal dan pengelolaannya, memberikan pengetahuan teknik pemupukan yang tepat dan ramah lingkungan, memperkenalkan teknologi Indigenous Microorganism (IMO) untuk pengelolaan mikroorganisme tanah, serta memberikan solusi praktis terhadap masalah daun keriting akibat pupuk kimia berlebihan. Kegiatan dihadiri oleh petani Komunitas Sribinangun dengan narasumber ahli dari BPTP (Balai Penelitian Teknologi Pertanian).

Pelaksanaan workshop dilakukan melalui pemaparan materi oleh narasumber tentang karakteristik tanah, pemupukan, dan teknologi IMO, diskusi interaktif berupa sesi tanya jawab dan sharing pengalaman antar petani tentang kendala di lapangan, demonstrasi praktis pembuatan pupuk organik cair (POC) dan pengenalan alat pengukur pH tanah, serta pendampingan teknis berupa bimbingan langsung teknik pecah cabang dan aplikasi kalium-kalsium.

Workshop berhasil mengidentifikasi bahwa penggunaan pupuk kimia berlebihan menyebabkan daun keriting dan pertumbuhan tanaman cabai terhenti, dan memperkenalkan pengetahuan baru tentang pentingnya pH meter untuk mengukur keasaman tanah, penggunaan H₂O₂ untuk sterilisasi, teknologi IMO untuk ekstraksi mineral alami, pembuatan POC dari kombinasi urin sapi, unggas, dan air kelapa, pupuk organik melalui fermentasi kotoran ternak selama 30 hari, serta teknik pecah cabang untuk optimalisasi pertumbuhan. Melalui pendekatan organik dan berkelanjutan ini, petani memperoleh pemahaman komprehensif tentang pengelolaan tanah, pembuatan pupuk organik alternatif, dan pentingnya menjaga keseimbangan mikroorganisme tanah. (SAA/AHR/RS)

Universitas tidak hanya berfokus pada ilmu pengetahuan dan penelitian, tetapi juga berkomitmen membentuk wirausahawan muda. Upaya ini menjadi langkah strategis untuk menghadirkan generasi yang berwawasan luas sekaligus berdaya cipta tinggi.

Dalam upaya mewujudkan komitmen tersebut, Universitas Islam Indonesia (UII) bersama UPZ  Baznas PT. Bank Permata Tbk dan Dompet Dhuafa menggelar Grand Launching Program Kantin Kontainer pada Senin (15/09) di Kawasan Embung Kladuan, Kampus Terpadu UII.

Tidak hanya membuka kantin kontainer, kegiatan ini juga bersamaan dengan kerja sama beasiswa UPZ yang secara resmi ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman oleh Rektor UII, Fathul Wahid dan Division Head of Shariah Advisory & Governance PT. Bank Permata Tbk, Habibullah Lc.,SE.,M.Si.

Dalam sambutannya, Rektor UII Fathul Wahid menyambut baik program ini. Ia berharap hadirnya kantin kontainer dapat memperkuat ekosistem kewirausahaan di kalangan mahasiswa UII yang telah dibangun sejak awal 2000-an melalui mata kuliah wajib universitas, pembinaan bisnis mahasiswa, hingga pendampingan UMKM baik secara mandiri maupun bekerja sama dengan dinas terkait di Kabupaten Sleman dan Provinsi DIY.

“Harapannya adalah akan mendorong pembangunan entrepreneurial mindset yang tidak harus dalam bentuk membangun usaha sendiri, tapi juga terkait dengan pola pikir risk taking, inovasi, dan lain-lain. Bisa juga diterapkan dalam pola pikir intrapreneurship yang bisa diwujudkan dalam organisasi atau perusahaan seperti bagaimana sensitivisme melihat peluang, mitigasi risiko, dan lain sebagainya,” ungkap Rektor UII ini.

Sementara itu, Direktur Program Pemberdayaan Dompet Dhuafa, Anna Rahmawati mengatakan program kantin kontainer di UII ini merupakan kantin yang ke-11 sejak dibuka tahun 2016. Saat ini, sudah menyebar ke beberapa provinsi hingga Sulawesi Utara tepatnya Manado.

“Alhamdulillah yang sudah dibuka itu (kantin kontainer -red) dapat memberikan pada manfaat bagi penerimanya . Sehingga kami (Dompet Dhuafa -red) mencoba buka lagi di titik-titik yang lain, kami punya harapan hingga tahun 2026 bisa mencapai 30 kantin,” harap Anna.

Berdasarkan data Dompet Dhuafa, penerima manfaat program kantin kontainer dapat memperoleh tambahan penghasilan lebih dari Rp1 juta, tergantung tingkat keramaian kantin. Anna juga mengapresiasi UII yang menyediakan lokasi strategis dengan pemandangan Embung Kladuan untuk mendukung keberlangsungan program ini.

Pada kesempatan ini, Unit Pengumpul Zakat Badan Amil Zakat (UPZ Baznas) PT. Bank Permata Tbk menyerahkan dana beasiswa sebesar 150 juta rupiah untuk mahasiswa UII yang diserahkan langsung oleh Pengawas Dewan Syariah PT. Permata Bank Tbk., Prof. Dr. H. Jaih Mubarok, S.E.,M.H., M.Ag kepada Rektor UII, Fathul Wahid. Selain itu, grand launching ini ditandai dengan penyerahan giant check dan pemakaian apron kepada lima mahasiswa pengelola kantin kontainer UII. (AHR/RS)

Sehubungan dengan maraknya tindak penipuan yang dilakukan melalui telepon seluler dan aplikasi WhatsApp messenger, diimbau kepada seluruh mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) untuk dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap berbagai modus penipuan yang mengatasnamakan institusi resmi atau dari pihak tertentu.

Salah satu modus yang dilaporkan adalah tuduhan bahwa data pribadi mahasiswa, seperti NIK, KTP, atau rekening bank, digunakan dalam tindak kriminal. Pelaku kemudian mengarahkan mahasiswa untuk mengikuti sesi interogasi melalui aplikasi Zoom.

Menyikapi hal tersebut, para mahasiswa diharapkan untuk dapat memverifikasi terlebih dahulu tentang kebenaran informasi yang didapat dan melaporkan kepada pemegang otoritas baik di tingkat universitas maupun fakultas.

Layanan aduan:
WhatsApp: 082132796699
Email: [email protected]

Upaya internasionalisasi Universitas Islam Indonesia (UII) kembali memperoleh momentum. Kali ini, UII mendapat kesempatan menghadiri undangan dari Deutscher Akademischer Austauschdienst (DAAD), sebuah organisasi gabungan dari institusi pendidikan tinggi di Jerman yang bekerja untuk memajukan hubungan akademik internasional.

Kegiatan yang berlangsung di Jerman pada 8-13 September 2025 ini bertujuan untuk menjajaki peluang kerja sama pertukaran mahasiswa dan tenaga pendidik dalam upaya memperkaya pengalaman global. Dalam kesempatan ini, Wiryono Raharjo – Wakil Rektor Bidang Kemitraan dan Kewirausahaan, adalah salah satu yang mendapat undangan untuk mewakili UII dalam program yang disponsori oleh DAAD tersebut.

Kegiatan tersebut tidak hanya membahas rencana kolaborasi akademik, tetapi juga menjadi ajang untuk memperkuat posisi UII dalam jaringan pendidikan tinggi internasional, khususnya kemitraan dengan Jerman. Selain UII, program tersebut juga diikuti oleh delegasi dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia, diantaranya adalah IPB University, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Kalimantan, Universitas Brawijaya, Universitas Syiah Kuala, Universitas Kristen Petra, Swiss German University, dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Dalam wawancara, Wiryono Raharjo menjelaskan bahwa agenda utama kegiatan ini berupa university and industry visit untuk membuka peluang kerja sama dengan beberapa universitas di Jerman. “Kerjasamanya sudah pasti dalam bentuk tri dharma pendidikan yaitu penelitian, pengajaran, dan pengabdian masyarakat, khususnya dengan university of applied sciences (Universitas Sains Terapan), yakni universitas yang mengedepankan aplikasi sains di lapangan,” ungkap Wiryono Rahajo yang juga pengajar di Jurusan Arsitektur UII ini.

Lebih lanjut Wiryono Raharjo mengemukakan bahwa kerja sama yang dibangun tidak hanya dalam lingkup universitas saja, tetapi juga melibatkan industri yang ada di Jerman. Hal ini sejalan dengan fokus kegiatan pada sinergi antara universitas dengan industri untuk menguatkan pendidikan tinggi yang bernuasa applied science (sains terapan). Diantara lembaga riset dan pendidikan di Jerman yang menerima kunjungan delegasi Indonesia adalah: DAAD, German Research Foundation, University of Bonn, TH Koln, Metabolon Institut, Heilbronn University of Applied Science, dan RheinMain University of Applied Science.

“Di Heilbronn dan RheinMain diselenggarakan forum match making yaitu diskusi dengan cara mendatangi meja masing-masing universitas Jerman, untuk membahas tentang prospek kerja sama. Saya juga ketemu alumni UII disana termasuk mahasiswa Indonesia untuk melihat situasi pendidikan yang ada disana, prospeknya seperti apa, bagaimana kendalanya, dan kapasitas akademik yang dibutuhkan,” terang Wiryono Raharjo.

Menanggapi kesertaan dalam kegiatan ini, Wiryono Raharjo selaku delegasi dari UII menyampaikan apresiasi positif. Menurutnya, UII telah memiliki banyak alumni, khususnya dosen, yang pernah menempuh studi di Jerman. Hal ini menjadi modal penting yang dapat mempermudah tindak lanjut dan pengembangan kerja sama ke depan. “Hal ini juga membuka jalan bagi dosen, mahasiswa, bahkan mungkin bisa tenaga kependidikan UII untuk bisa belajar jangka pendek atau jangka panjang ke Jerman,” terangnya.

Ke depan, lanjut Wiryono Raharjo, UII menargetkan sinergi melalui program gelar ganda (double degree), transfer kredit, dan program dosen tamu. “Sebenernya yang kita harapkan itu resiprokal, hanya saja untuk sekarang ini secara tradisional itu dengan skema outbound mobility. Outbound mobility ini kita jadikan strategi pembuka,” ungkapnya.

Lawatan university visit  ini menjadi tambahan peluang kerja sama yang telah dijajaki oleh UII. Diharapkan, langkah internasionalisasi ini mampu memperluas pengalaman global sivitas akademika UII, memperkuat jejaring internasional, serta membuka kesempatan belajar dan kolaborasi yang lebih luas bagi dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan ke depannya. (AHR/RS)