70 Kali Lipat Jumlah Musuh Perang Ghazwah Mut’ah

Melanjutkan kajian pekan sebelumnya mengenai persiapan perang Ghazwah Mut’ah, Ustadz Sulaiman Rasyid, S.T., bersama Takmir Masjid Ulil Albab Universitas Islam Indonesia (UII) pada Kamis (20/8) mengadakan kajian mengenai perjalanan perang.

Ustadz Sulaiman mengingatkan kembali bahwa pemicu adanya perang Ghazwah Mut’ah adalah terbunuhnya utusan Rasulullah untuk mengirim surat. Di perang ini Rasulullah tidak bergabung begitu pula beberapa sahabat. Meski demikian, kata Ustadz Sulaiman, Allah menjadikan peperangan antar musuh kaum Muslim tidak bersatu.

“Musuh-musuh Islam tidak bersatu sebab Allah menjadikan hati mereka saling berselisih. Musuh itu ada Quraish, Yahudi, Romawi, Persia,” sebut Ustadz Sulaiman.

Saat pasukan ingin berangkat, Ustadz Sulaiman berkisah, Rasulullah menyampaikan wasiat kepada pasukan agar sesampainya di sana, mereka menyerang dengan meminta pertolongan kepada Allah. Selain itu, berjalan di atas ajaran rasulullah, dilarang membunuh orang-orang sepuh yang sudah renta, anak kecil, bayi, dan kaum wanita, pasukan juga dilarang untuk mencincang-cincang mayit, melampui batas.

“Lihatlah ini mau perang tapi banyak larangan, padahal perang itu ya menghancur. Ini menunjukan tujuan Islam berjihad bukan untuk membunuh melainkan mengajak ke ajaran yang benar. Diajak kalau sudah tidak mau yaudah. Jadi perang adalah cara terakhir dalam mengajak orang di jalan yang benar. Sedang maksud melampaui batas adalah mengambil duluan hasil rambasan sebab ini menunjukan penghianatan,” kata Ustadz Sulaiman.

Ustadz Sulaiman menyatakan karena musuh memiliki mata-mata untuk mengintai pergerakan pasukan Islam, mereka kemudian mempersiapkan pasukan yang jauh lebih besar guna menghadapi kekuatan kaum Muslimin. “Pasukan menyiapkan 200.000 pasukan denga peralatan lengkap, sedang kaum muslimin hanya 3.000 pasukan, ini sama saja satu banding 70” kata Ustadz Sulaiman.

Jumlah pasukan yang tidak rasional, lanjut Ustadz Sulaiman, para kaum Muslimin berhenti selama dua malam di daerah Mu’an guna merundingkan apa yang seharusnya dilakukan. Beberapa orang berpendapat, “Sebaiknya menulis surat kepada Rasulullah untuk melaporkan kekuatan musuh. Mungkin beliau akan menambah kekuatan kita dengan pasukan yang lebih besar lagi atau memerintahan sesuatu yang harus kita lakukan.”

Berbeda dari mereka, Abdullah bin Rawahah tidak menyetujui pendapat tersebut. Ia lalu mengobarkan semangat pasukan dengan berdiri memberikan orasi: “Wahai saudara-saudara. Demi Allah, sesungguhnya apa yang kalian takutkan sungguh inilah yang kalian cari yakni mati syahid. Kita tidak memerangi manusia karena banyaknya bilangan dan kekuatan persenjataan, tapi kita memerangi karena agama Islam ini yang Allah muliakan. Bangkitlah kalian memerangi musuh karena sesungguhnya tidak lain bagi kita melainkan salah satu dari dua kebaikan, yaitu menang atau mati syahid.”

Selain itu, kata Ustadz Sulaiman, pasukan sampai ke tempat perang membutuhkan waktu dua minggu. Jika harus mengirim surat maka dibutuhkan menunggu satu bulan sampai balasan surat Rasulullah sampai ke tangan pasukan. “Jika mundur maka akan dikejar pasukan dan meninggal dalam keadaan hina, jika maju maka meninggal dalam keadaan syahid. Jadi pasukan memutuskan untuk lanjut peperangan,” ungkap Ustadz Sulaiman.

Lebih jauh, Ustadz Sulaiman menyatakan perbedaan pendapat di antara para pasukan disebut dengan khilaf. Namun, perbedaan pendapat zaman Nabi dengan zaman sekarang kata Ustadz Sulaiman berbeda, jika zaman dulu perbedaan tidak menjadikan permusuhan sedangkan zaman sekarang sebaliknya.

“Jangan sampai demi secuil bagian dunia kita menjual kampung akhirat kita. Tidak seimbang dunia dan akhirat. Tong kosong kalau orang bilang dunia akhirat setara. Kejar akhirat maka dunia akan mengikuti. Jihad ada dua macam, ilmu dan fisik. Tapi zaman sekarang lebih mulia jihad dengan ilmu,” tutup Ustadz Sulaiman. (SF/RS)