Di kesempatan yang berbahagia ini, saya mengajak Saudara untuk memandang wisuda ini bukan sebagai akhir perjalanan, melainkan sebagai awal petualangan baru. Dunia di luar sana tengah bergerak cepat. Teknologi berkembang dalam hitungan bulan. Pekerjaan yang hari ini ada, mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama akan lenyap. Karena itu, keberhasilan sejati tidak lagi diukur dari seberapa ahli Saudara di satu bidang, tetapi dari seberapa luwes Saudara beradaptasi, seberapa berani Saudara menjelajah, dan seberapa terbuka Saudara untuk terus belajar hal-hal baru.
Dalam bukunya Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World, David Epstein (2021) mengingatkan kita bahwa dunia modern tidak hanya butuh para spesialis, tetapi juga para generalis — orang-orang yang berani menyeberangi batas pengetahuan, yang mampu melihat dunia dari banyak jendela, dan menghubungkan titik-titik yang tampak tak berhubungan menjadi solusi yang bermakna. Range merupakan salah satu buku yang direkomendasikan oleh McKinsey pada tahun ini, 2025[1].
 
Berani bereksperimen
Epstein menulis, “We learn who we are in practice, not in theory.” Kalimat sederhana itu mengandung pesan mendalam: kita tidak menemukan jati diri hanya dari teori atau rencana hidup yang rapi, melainkan dari keberanian mencoba, bereksperimen, dan kadang-kadang gagal. Karena justru dalam percobaan itulah kita belajar tentang diri kita sendiri.
Banyak dari kita dibesarkan dengan pandangan bahwa kesuksesan ditentukan oleh spesialisasi yang tajam — semakin cepat memilih jurusan, semakin cepat menentukan karier, maka semakin baik. Namun, Epstein justru menunjukkan hal sebaliknya. Bahwa mereka yang memberi ruang untuk menjelajah, yang berani “menyimpang sedikit” dari jalur, sering kali justru menemukan jalan yang lebih bermakna.
Lihatlah Roger Federer, pemegang 20 gelar Grand Slam tunggal dan menjadi petenis nomor satu dunia dalam waktu yang sangat lama, 310 pekan. Ia tidak tumbuh sebagai atlet tenis sejak bayi. Federer mencoba berbagai olahraga lebih dulu — sepak bola, bola basket, bahkan skateboard — sebelum akhirnya memilih tenis di usia remaja. Ia tidak terburu-buru “menetap”. Dan justru karena pengalaman yang beragam itulah ia tumbuh menjadi pemain yang lentur, kreatif, dan tahan banting.
Atau, pikirkan Steve Jobs. Ia bukan desainer, bukan insinyur, bukan pemrogram murni. Tapi ia adalah seseorang yang tahu bagaimana menghubungkan hal-hal yang kelihatannya tak terkait. Dari kelas kaligrafi yang ia ikuti secara iseng, lahirlah ide tentang tipografi indah di komputer Apple. Dari ketertarikannya pada desain, lahirlah filosofi sederhana: “Technology alone is not enough.”
Dalam sejarah peradaban Islam, banyak ilmuwan besar yang berpikir lintas batas disiplin—para generalis sejati yang melihat ilmu pengetahuan sebagai satu kesatuan.
Ibnu Sina, misalnya, tidak hanya dikenal sebagai peletak dasar ilmu kedokteran, tetapi juga seorang filsuf dan astronom. Ia menulis ratusan karya yang menjembatani ilmu kedokteran, metafisika, logika, dan bahkan musik, menunjukkan bahwa bagi dirinya, ilmu adalah jalan menuju pemahaman yang utuh tentang manusia dan alam semesta.
Al-Farabi pun serupa. Ia adalah filsuf yang juga menekuni politik, linguistik, dan musik, dan melalui karyanya Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah ia menggambarkan masyarakat ideal yang dibangun atas dasar harmoni akal dan moral.
Dari keduanya kita belajar bahwa keunggulan tidak lahir dari spesialisasi sempit, melainkan dari keluasan pandangan, keberanian menjelajah banyak bidang, dan kemampuan menghubungkan ilmu untuk kemaslahatan.
 
Kemampuan berimajinasi
Itulah kekuatan seorang generalis — kemampuan melihat yang tak dilihat orang lain. Gagasan ini serupa dengan yang diungkap oleh Malcolm Gladwell (2009) dalam What the Dog Saw. Epstein berbicara tentang pentingnya memiliki range — kemampuan untuk melihat pola di antara hal-hal yang tampaknya tidak berhubungan. Sementara Gladwell, mengajak kita untuk memandang dunia dari mata yang lain, dari sudut pandang yang sering diabaikan. Kedua gagasan ini sama-sama menegaskan: keunggulan masa depan tidak datang dari mereka yang hanya tahu banyak, tetapi dari mereka yang tahu cara melihat — melihat apa yang luput dari pandangan orang lain.
Kita hidup di dunia yang tidak lagi menghargai kepastian tunggal. Masalah-masalah hari ini tidak bisa diselesaikan hanya oleh satu disiplin ilmu. Krisis iklim, ketimpangan ekonomi, etika kecerdasan buatan — semuanya menuntut kolaborasi lintasbidang, lintasbahasa, lintas-cara berpikir. Karena itu, pendidikan sejati bukanlah soal mencetak ahli sempit, tetapi menumbuhkan manusia yang mampu berpikir luas, berjejaring lintas disiplin, dan menghargai keragaman pengetahuan.
Epstein juga mengingatkan bahwa dunia kerja modern menuntut knowledge transfer — kemampuan memindahkan pengetahuan dari satu konteks ke konteks lain. Mereka yang hanya bisa belajar dari pengalaman lama akan tertinggal. Tetapi mereka yang bisa belajar tanpa pengalaman langsung — yang bisa berimajinasi, mensintesis, dan menghubungkan — merekalah pemimpin masa depan.
Karena itu jangan Saudara takut untuk belum menemukan “tujuan hidup” hari ini. Jangan khawatir bila arah karier Saudara nanti berubah. Kadang kita perlu berkenalan dulu dengan berbagai pengalaman sebelum tahu mana yang benar-benar cocok untuk kita. Ambillah waktu untuk menjelajah, karena menjelajah bukan membuang waktu — ia adalah cara terbaik untuk menemukan makna, jalur yang paling pas menurut kita.
Dan, yang tak kalah penting, jangan takut untuk gagal, bahkan untuk berhenti. Kadang berhenti justru langkah paling berani — karena ia memberi ruang untuk hal yang lebih sesuai. Dunia ini terlalu luas untuk dijalani dengan pikiran yang sempit.
 
Tetaplah menjadi amatir 
Hari ini Saudara semua resmi diwisuda. Tapi gelar yang Saudara dapatkan bukanlah titik akhir, melainkan undangan untuk terus belajar, untuk terus menjadi “pembelajar seumur hidup”. Di dunia yang berubah cepat, yang paling berharga bukan lagi “apa yang Saudara tahu”, tapi “seberapa cepat Saudara mau belajar ulang.”
Jadilah pribadi yang deliberate amateur — orang yang tidak berhenti ingin tahu, yang berani keluar dari zona nyaman, yang membaca di luar bidangnya, dan yang belajar dari pertemuan antaride. Di sanalah tumbuh inovasi dan kebijaksanaan yang sesungguhnya.
 
Referensi
Epstein, D. (2021). Range: Why generalists triumph in a specialized world. Penguin.
Gladwell, M. (2009). What the dog saw: And other adventures. Little, Brown and Company.
 
Sambutan pada acara wisuda Universitas Islam Indonesia, 25 dan 26 Oktober 2025
Fathul Wahid
Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026
[1] https://www.mckinsey.com/featured-insights/annual-book-recommendations
UII Tingkatkan Publikasi Mahasiswa Internasional melalui Pemanfaatan Perpustakaan
Universitas Islam Indonesia (UII) melalui Direktorat Perpustakaan menyelenggarakan International Library User Training bertema “Optimizing Library Utilization to Support International Student Scientific Publications” yang dibersamai oleh Akmal Faradise, staf dan penulis di Perpustakaan UII. Kegiatan yang berlangsung di Ruang Audio Visual Gedung Moh. Hatta Perpustakaan UII pada Sabtu (01/11) lantai dua ini diikuti oleh mahasiswa internasional dari berbagai program studi di lingkungan UII.
Workshop ini dirancang untuk membantu mahasiswa internasional memahami dan memanfaatkan layanan perpustakaan secara lebih efektif. Selama ini, sejumlah mahasiswa menghadapi kendala seperti perbedaan sistem akademik, keterbatasan literasi informasi, hingga kurangnya pengalaman dalam mengakses sumber ilmiah bereputasi. Akibatnya, potensi besar dari layanan perpustakaan belum dimanfaatkan secara optimal.
Perpustakaan UII kini telah bertransformasi menjadi pusat sumber daya digital dengan akses ke berbagai basis data akademik internasional, di antaranya Scopus, ScienceDirect, ProQuest, EBSCOhost, dan Westlaw. Namun, sebagian mahasiswa masih mengenal perpustakaan sebatas tempat mengunduh jurnal. Melalui kegiatan ini, peserta diperkenalkan pada berbagai fitur pendukung, termasuk konsultasi pustakawan, bantuan manajemen referensi, serta penggunaan alat systematic review untuk menunjang riset dan publikasi.
Direktur Perpustakaan UII, Muhammad Jamil, SIP, dalam sambutannya menyinggung tentang hal tersebut “Perpustakaan bukan hanya sebagai titik awal yang baru, perpustakaan saat ini telah menjadi partner kita dalam riset dan publikasi.” Ia juga menyelipkan pesan kepada peserta yang hadir untuk berlatih dan berjejaring bersama partisipan lainnya.
Kegiatan berlangsung secara interaktif dengan kombinasi sesi presentasi, diskusi, praktik langsung, serta tanya jawab bersama pemateri Pada sesi pertama, peserta belajar teknik pencarian sumber informasi melalui OPAC, e-journal, e-book, dan repository UII. Sementara pada sesi kedua, peserta berlatih menggunakan database jurnal langganan untuk menemukan referensi yang relevan bagi penelitian mereka.
Melalui workshop ini, peserta diharapkan mampu meningkatkan kemampuan literasi informasi sekaligus memahami strategi pemanfaatan sumber akademik secara etis dan efektif. Direktorat Perpustakaan UII juga berharap kegiatan ini menjadi langkah awal untuk memperkuat komunikasi antara pustakawan dan komunitas mahasiswa internasional, guna mendukung produktivitas riset serta kualitas publikasi ilmiah di tingkat global. (NKA/AHR/RS)
Optimalisasi Pelayanan Kolaboratif Pendampingan pada Anak Berkebutuhan Khusus
Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan Seminar Kesehatan Kolaboratif bertema “Optimalisasi Pelayanan Kolaboratif Pendampingan pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)”, pada Jumat (1/11), di Auditorium Lantai 4 FK UII. Kegiatan ini menghadirkan lima dokter sebagai narasumber yang mengolaborasikan keilmuan mereka dalam rangka mendukung pendampingan optimal bagi anak berkebutuhan khusus.
Seminar tersebut tidak hanya ditujukan bagi tenaga medis dan mahasiswa kesehatan, tetapi juga terbuka untuk masyarakat umum, termasuk para orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus. Peserta mengikuti kegiatan ini secara luring di auditorium dan daring melalui kanal zoom meeting.
Dalam sambutannya, Dekan FK UII, Dr. dr. Isnatin Miladiyah, M.Kes menekankan pentingnya topik pada seminar tersebut. Ia menyebutkan bahwa topik ini istimewa karena membahas tentang anak-anak istimewa serta menggabungkan berbagai bidang ilmu untuk saling berbagi dan berkolaborasi.
“Anak berkebutuhan khusus bukan berarti memiliki kekurangan, melainkan kemampuan yang berbeda (different ability). Melalui seminar ini, FK UII berkomitmen penuh untuk memberikan pelayanan dan pendampingan yang optimal bagi ABK,” ujarnya.
Acara dilanjutkan dengan sesi diskusi panel pertama yang menghadirkan tiga narasumber. Dr. dr. Bambang Udji Djoko R., Sp.THTBKL (K).,M.Kes sebagai pemateri pertama membahas mengenai skrining pendengaran pada ABK. Ia menjelaskan bahwa pendengaran merupakan indra utama yang berperan penting dalam perkembangan berbicara dan tumbuh kembang anak.
“Sampai saat ini disepakati bahwa pendengaran memiliki peran yang sangat penting. Bahkan ketika ayat pertama Al-Qur’an turun, Nabi Muhammad saw belum bisa membaca, tetapi mampu mendengar suara Jibril,” jelasnya.
Selanjutnya, dr. Ade Febrina, M.Sc, Sp.A(K) memaparkan materi tentang Update Gangguan Perkembangan Anak: Skrining hingga Intervensi Berbasis Bukti. Ia menekankan pentingnya deteksi dini karena masa pertumbuhan anak terjadi pada usia-usia awal. Ia juga menyinggung konsep neuroplastisitas, yakni kemampuan otak untuk beradaptasi dan membentuk koneksi baru.
“Neuroplastisitas terjadi pada masa usia 0–2 tahun dan masa remaja. Pada periode ini, anak memberikan respons terhadap pengalaman, stimulasi, cedera, maupun pembelajaran,” terangnya.
Pemateri ketiga, dr. Budi Kristianto, M.Sc, Sp.KL.,Subsp.AR(K) membahas tentang deteksi speech delay pada anak berkebutuhan khusus. Ia menegaskan bahwa anak sebaiknya tidak diberikan gawai terlalu dini dan perlu dibatasi waktu screen time-nya.
“Ajak anak berbicara secara aktif dan lakukan interaksi langsung agar kemampuan bicaranya dapat berkembang dengan baik,” ujarnya.
Pada sesi kedua, dr. Lulus Hardiyanti, Sp.KFR(K) memaparkan materi mengenai pendampingan terhadap anak berkebutuhan khusus. Sementara itu, dr. Dian K. Nurputra, Sp.A(K), Ph.D menutup rangkaian diskusi dengan pembahasan tentang gangguan perkembangan akibat infeksi intrakranial.
Melalui kegiatan ini, FK UII menunjukkan komitmennya untuk terus berperan aktif dalam peningkatan kualitas pelayanan dan pendampingan terhadap anak berkebutuhan khusus melalui pendekatan kolaboratif lintas disiplin ilmu. (GRR/AHR/RS)
Perkuat Persaudaraan Mahasiswa Asing Melalui International Students Gathering
Direktorat Kemitraan/Kantor Urusan Internasional (DK/KUI) Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar kegiatan International Students Gathering pada Jum’at (31/10) di Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Sardjito, Kampus Terpadu UII. Acara ini diikuti oleh mahasiswa internasional dari berbagai negara yang sedang menempuh studi di UII.
Kegiatan ini bertujuan memperkuat semangat persaudaraan antar mahasiswa asing sekaligus memberikan pemahaman mengenai aturan imigrasi yang berlaku di Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, hadir dua narasumber dari Kantor Imigrasi Yogyakarta yang memberikan pemaparan terkait perizinan tinggal dan kepatuhan keimigrasian bagi mahasiswa internasional.
Wakil Rektor Bidang Kemitraan dan Kewirausahaan UII, Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D., membuka acara dengan sambutan yang menekankan pentingnya kegiatan ini bagi mahasiswa asing di lingkungan UII.
“Acara sore ini akan memberikan banyak pengetahuan bagi kita semua tentang isu keimigrasian dan permasalahan visa. Memahami hal ini menjadi penting karena berkaitan langsung dengan keberlangsungan studi para mahasiswa internasional di UII,” ujarnya.
Setelah sambutan, kegiatan dilanjutkan dengan pemaparan mengenai Satuan Kredit Partisipasi (SKP) oleh Dr.rer.nat. Dian Sari Utami, S.Psi., M.A. Ia menjelaskan ketentuan SKP yang wajib dipenuhi mahasiswa sebagai syarat mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) serta kegiatan yang dapat menambah nilai SKP sebagai bagian dari syarat kelulusan.
Memasuki sesi utama, yakni talk show bertema “Understanding Immigration Compliance for International Students”yang dimoderatori oleh Nihlah Ilhami, S.Pd.. Sebagai Narasumber pertama, Chintia Dwi Putri, A.Md.Im., S.H., seorang Senior Analis Keimigrasian Kantor Imigrasi Yogyakarta, menyampaikan materi mengenai student visa dan izin tinggal di Indonesia.
“Apabila terjadi perubahan data selama berada di Indonesia, seperti tanggal lahir, status pernikahan, penggantian paspor, atau perubahan alamat tempat tinggal, wajib dilaporkan ke Kantor Imigrasi,” jelasnya.
Sesi kedua diisi oleh M. Iqbal Romzah, Immigration Officer pada Seksi Intelijen dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Yogyakarta. Ia memaparkan materi tentang Preventing Immigration Violations in Indonesia yang membahas hak dan kewajiban mahasiswa asing selama menempuh studi di Indonesia.
“Mahasiswa asing diperbolehkan untuk belajar dan melakukan kegiatan akademik di institusi terdaftar, tinggal di alamat yang telah dilaporkan, serta memperpanjang izin tinggal sebelum masa berlaku habis. Namun, tidak diperkenankan bekerja, menerima gaji, berpindah institusi tanpa izin, atau tidak melaporkan perubahan alamat,” terangnya.
Iqbal menambahkan bahwa kepatuhan terhadap aturan imigrasi bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk tanggung jawab dan penghormatan terhadap negara tempat menimba ilmu.
“Understanding immigration compliance is not just about following the rules, it’s about respect, responsibility, and ensuring a safe and meaningful academic journey in Indonesia,” tegasnya
Acara ditutup dengan sesi tanya jawab interaktif yang dipandu oleh Ade Meirizal, S.IP., M.A., membahas pengalaman akademik, kehidupan sehari-hari, akomodasi, hingga aspek sosial dan budaya mahasiswa internasional selama berada di Indonesia.
Melalui kegiatan ini, KUI UII berharap dapat mempererat hubungan antar mahasiswa internasional sekaligus memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai ketentuan hukum dan kehidupan akademik di Indonesia. (GRR/AHR/RS)
UII Tekankan Kolaborasi dan Spiritualitas dalam Menjaga Kesehatan Mental Masyarakat
Fakultas Psikologi (FP) Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menegaskan komitmennya dalam mendorong kesadaran publik terhadap pentingnya kesehatan mental melalui kegiatan Open House dan Psychology Expo UII 2025 bertajuk “Sehat Mental untuk Semua” yang diselenggarakan di Gedung Moh. Hatta Perpustakaan, Kampus Terpadu UII pada Jum’at (31/10). Dalam kesempatan tersebut, Dr. Andik Matulessy, M.Si, Psikolog menegaskan bahwa isu kesehatan mental kini menjadi tantangan serius di tingkat nasional maupun global.
“Kesehatan mental masyarakat saat ini menghadapi tantangan yang semakin kompleks, mulai dari dampak penggunaan media sosial hingga perubahan sosial akibat revolusi industri 4.0,” ujar Dr. Andik dalam paparannya.
Beliau memaparkan bahwa penggunaan gawai dan media sosial berdampak besar terhadap anak-anak dan remaja. “Mereka kehilangan kesempatan bermain di masa kecilnya, dan kini kita melihat meningkatnya angka depresi, kecemasan, hingga perilaku menyakiti diri dan bunuh diri,” tambahnya. Dampak tersebut, lanjutnya, lebih besar dialami oleh perempuan dibandingkan laki-laki.
Selain faktor sosial, perubahan teknologi juga menjadi tantangan baru. “Diperkirakan 23 juta pekerjaan akan tergantikan oleh otomatisasi hingga 2030, namun di sisi lain, akan muncul 27 hingga 46 juta jenis pekerjaan baru. Tantangannya adalah menyiapkan skill dan kompetensi baru yang adaptif dan berdaya saing global,” jelas Dr. Andik.
Ia juga menyoroti data kekerasan terhadap perempuan dan anak yang masih tinggi di Indonesia. Berdasarkan survei nasional, empat dari sepuluh anak perempuan dan tiga dari sepuluh anak laki-laki usia 13–17 tahun pernah mengalami kekerasan. “Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan ini. Kesehatan mental masyarakat akan sulit tercapai bila kekerasan masih terus terjadi,” katanya.
Dalam konteks global, Dr. Andik menekankan pentingnya kolaborasi lintas profesi. “Psikolog harus bekerja bersama tenaga medis, ahli forensik, pekerja sosial, pemerintah, akademisi, hingga lembaga hukum. Kolaborasi nasional dan global adalah kunci menjaga kesehatan mental masyarakat,” tegasnya.
Selain itu, beliau juga menyinggung pentingnya pengaturan layanan psikologi sesuai UU Nomor 23 Tahun 2022 yang mengatur pendidikan profesi, sertifikasi, serta kewenangan psikolog dalam memberikan layanan secara profesional dan beretika. “Kolaborasi antara perguruan tinggi, AP2TPI, dan HIMPSI menjadi bagian penting dalam menjamin mutu pendidikan dan layanan psikologi di Indonesia,” jelasnya.
Sementara itu, Dr. Ratna Syifa’a Rachmahana, S.Psi., M.Si. Psikolog, dalam sesinya yang berjudul Implementasi Kesehatan Mental pada Masyarakat Indonesia, menekankan bahwa kesehatan mental tidak hanya soal aspek psikologis, tetapi juga mencakup dimensi spiritual.
“Kesehatan mental adalah kondisi ketika seseorang dapat mengembangkan potensi diri, berfungsi efektif dalam kehidupan, membangun hubungan yang sehat, dan mampu mengatasi tekanan hidup,” ujarnya.
Ratna menjelaskan, Islam memiliki pendekatan yang komprehensif terhadap kesehatan mental melalui prinsip keseimbangan antara fisik, mental, dan spiritual. “Konsep tauhid, keseimbangan, ibadah, sabar, syukur, dan tawakal menjadi dasar dalam menjaga kestabilan jiwa. Dengan mendekatkan diri kepada Allah Swt, seseorang akan lebih tenang dan terhindar dari gangguan mental,” jelasnya.
Ia juga menyoroti nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan oleh Wali Songo, khususnya melalui ajaran Tombo Ati karya Sunan Bonang. “Tembang ini mengajarkan lima hal untuk menenangkan hati, yakni membaca Al-Qur’an, shalat malam, berkumpul dengan orang saleh, berpuasa, dan berdzikir di malam hari. Nilai-nilai ini sangat relevan untuk menjaga keseimbangan mental masyarakat modern,” tambahnya.
Dalam penutupnya, Ratna menyampaikan bahwa upaya menjaga kesehatan mental harus dilakukan secara berkelanjutan. “Langkah preventif, promotif, dan kuratif harus berjalan bersamaan, dan bagi masyarakat Indonesia yang religius, spiritualitas menjadi kekuatan utama dalam membangun ketahanan mental,” ujarnya.
Dalam acara ini juga hadir berbagai stand menarik yang menampilkan beragam sub-sub pembelajaran dari Fakultas Psikologi UII, sebagai upaya memperkenalkan kegiatan akademik dan inovasi pembelajaran kepada peserta.(AHR/RS)
UII dan UGM Menjadi Co-Host Lokakarya APAIE 2025
Universitas Islam Indonesia (UII) bersama Universitas Gadjah Mada (UGM) berkesempatan menjadi co-hostpenyelenggaraan Lokakarya Asia Pacific Association of International Education (APAIE) yang dilaksanakan pada Selasa-Rabu (28–29/10) di Royal Ambarrukmo Hotel, Yogyakarta. Kegiatan ini mengusung tema “Reshaping Education through International Collaborations: Transnational Education, Digital Transformation, and Local Relevance” dan diawali dengan pertemuan advisory board yang dihadiri oleh 11 perwakilan berbagai perguruan tinggi dari 6 negara di kawasan Asia Pasifik.
Lokakarya dibuka oleh Prof. Venky Shankararaman, Presiden APAIE sekaligus Vice Provost Singapore Management University. Dalam sambutannya, Prof. Venky menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya APAIE Workshop untuk ketiga kalinya, serta menekankan pentingnya kegiatan ini dalam memperkuat jejaring internasional antarperguruan tinggi di kawasan Asia Pasifik. Menurutnya, kerja sama lintas negara menjadi kunci dalam peningkatan kualitas serta kapasitas pengelolaan pendidikan tinggi secara global.
Rektor UII, Fathul Wahid, dalam sambutannya menyampaikan rasa terima kasih kepada APAIE atas kepercayaannya bekerja sama dengan UII dan UGM dalam penyelenggaraan lokakarya ini. Fathul menegaskan bahwa kegiatan tersebut menjadi sarana penguatan kapasitas perguruan tinggi agar semakin adaptif terhadap perkembangan global, namun tetap berfokus pada peningkatan mutu pendidikan.
Sementara itu, Prof. Wening Udasmoro, S.S., M.Hum., DEA., Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran UGM, menekankan bahwa perguruan tinggi tidak hanya berperan sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai agen perubahan sosial. Ia mengingatkan pentingnya kolaborasi internasional yang mengintegrasikan teknologi dalam proses pembelajaran dengan tetap memperhatikan nilai-nilai dan kearifan lokal, sehingga hasilnya dapat memberikan manfaat luas bagi masyarakat.
Kegiatan ini diikuti oleh 32 peserta dari 17 belas perguruan tinggi Indonesia dan 3 perguruan tinggi luar negeri dengan menghadirkan narasumber dari berbagai universitas ternama, antara lain University of Melbourne, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, Griffith University, dan Deakin University.
Pada hari pertama, peserta memperoleh wawasan mengenai peran perguruan tinggi dalam pemberdayaan masyarakat lokal. Dr. Ir. Dwita Hadi Rahmi, Ketua UNESCO Heritage Cities Conservation and Management UGM, memaparkan upaya pengembangan konservasi Candi Borobudur sebagai warisan budaya dunia. Selanjutnya, Assoc. Prof. Nopraenue Sajjarax Dhirathiti dari Mahidol University menjelaskan bahwa universitas memiliki peran strategis dalam memperkuat kearifan lokal melalui kemitraan global. Sesi ini berlangsung interaktif dan dipandu oleh Lucinda Malgas, Global Engagement Manager APAIE.
Pada hari kedua, peserta diajak mendalami penerapan kecerdasan buatan (AI) dalam pendidikan tinggi melalui sesi interaktif bersama Prof. Venky Shankararaman, Prof. Shanton Cheng (APAIE Executive), dan Stuart Martin (pendiri George Angus Consulting). Diskusi berfokus pada strategi pemanfaatan teknologi AI dalam proses pengajaran dosen dan pembelajaran mahasiswa.
Rachmat Fadli, dosen Universitas Negeri Yogyakarta sekaligus kandidat doktor di University of Melbourne, turut berbagi pengalaman terkait proses adaptasi digital mahasiswa internasional di Indonesia. Di sisi lain, Guy Perring, Regional Director Asia Etio, memaparkan upaya peningkatan peran Indonesia sebagai destinasi studi bagi mahasiswa internasional. Sesi dilanjutkan oleh Marnie Watson, APAIE Executive sekaligus Vice President Griffith University, yang mengajak peserta untuk merancang kolaborasi internasional yang berdampak resiprokal dan berkelanjutan.
Sebagai penutup rangkaian kegiatan, para peserta mengikuti tur kampus ke UGM dan UII yang diakhiri dengan jamuan makan malam bersama. Penyelenggaraan lokakarya ini didukung oleh Etio, Bank BPD DIY, dan Interest Education sebagai mitra APAIE, UGM, dan UII. (DS/AHR/RS)
PPAr UII Dorong Pembelajaran Berbasis Pengalaman Lewat Kolokium Masterclass Menoreh
Program Studi Profesi Arsitek (PPAr) Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) Universitas Islam Indonesia (UII), menyelenggarakan kegiatan Kolokium Masterclass Menoreh di Ruang IRC, Gedung Moh. Natsir, Kampus Terpadu UII, pada Rabu (29/10). Kegiatan ini menjadi ajang refleksi dan presentasi hasil pembelajaran lapangan mahasiswa PPAr UII yang tergabung dalam program Masterclass Menoreh, yakni kegiatan akademik berbasis praktik lapangan di kawasan Nglinggo Barat, Pagerharjo, Samigaluh, Kulon Progo.
Program Masterclass Menoreh merupakan rangkaian pembelajaran lapangan yang melibatkan dosen, praktisi, dan ahli arsitektur dalam mendampingi mahasiswa PPAr. Melalui kegiatan tersebut, mahasiswa berkesempatan meneliti, berdialog, dan merancang bersama masyarakat untuk memahami hubungan antara ruang, lingkungan, dan kehidupan sehari-hari di kawasan Menoreh.
Dalam sambutannya, Dr. Yulianto Purwono Prihatmaji, S.T., M.T., selaku Kepala Program Studi PPAr UII, menyampaikan bahwa kegiatan ini dilaksanakan sebagai wadah berlatih yang tidak hanya berfokus pada desain estetis, tetapi juga memperhatikan konteks sosial dan ekologis terutama berkontribusi dan berdampak di masyarakat.
“Masterclass ini pertama kali dilakukan PPAr dan mungkin juga pertama kali di Jurusan Arsitektur. Ini sebagai salah satu wahana untuk kita bisa intervensi langsung kepada ruang yang ada di masyarakat, di lingkungan nyata. Dan juga sebagai promosi dari sisi profesi arsitek itu sendiri dan dari pendidikan arsitektur. Harapannya, selain bisa tadabbur alam dan membagikan ilmu kepada mereka, program ini membantu meningkatkan mutu indikator kinerja utama baik di PPAr, jurusan, fakultas, maupun universitas,” ungkapnya.
Hal ini selaras dengan pernyataan yang dikemukakan Dekan FTSP, Prof. Ar. Dr.-Ing. Ir. Ilya Fadjar Maharika, M.A., IAI., dimana pendekatan pembelajaran berbasis pengalaman tersebut mencerminkan arah baru pendidikan profesi khususnya di UII. Model belajar yang melibatkan interaksi lintas disiplin dan kolaborasi dengan masyarakat dinilai mampu menciptakan sistem pendidikan yang lebih adaptif, relevan dengan kebutuhan zaman, sekaligus memperkuat posisi UII sebagai pelopor pendidikan tinggi yang berorientasi pada nilai dan kebermanfaatan.
“Pendidikan profesi di UII ini, barangkali bisa dijadikan standar mutu untuk pendidikan profesi di Indonesia. Melihat kegiatan masterclass ini sebagai buah evolusi dari metode belajar yang konvensional. Artinya, kita sudah harus sangat mengkritisi model belajar konvensional dan berusaha membangun trial and error, yakni belajar dari pengalaman sukses perguruan tinggi atau pelaku lain untuk merefomulasi bentuk belajar yang efektif. Saya melihat bahwa model belajar semacam ini, hasilnya bukan hanya untuk mahasiswa, tapi berpotensi membangun ekosistem belajar baru dengan adanya keterlibatan dari masyarakat, maupun stakeholder. Harapan kami dari fakultas, sinergi dari model pendidikan ala global dengan sensitivitas dan kearifan lokal ini bisa diikuti oleh prodi-prodi lain terutama magister sampai doktor. Bahkan, ke level pusat,” tutupnya.
Dalam kolokium kali ini, mahasiswa mempresentasikan hasil rancangan serta refleksi mereka selama proses masterclassberlangsung. Setiap kelompok menampilkan pendekatan desain yang berfokus pada keberlanjutan, adaptasi budaya, serta potensi lokal yang menjadi kekuatan kawasan Menoreh. Selain menampilkan presentasi maupun poster, kolokium juga diisi dengan diskusi antara mahasiswa, dosen, praktisi, masyarakat lokal, pemangku kepentingan, dan tamu undangan. Forum ini menjadi wadah pertukaran gagasan dan refleksi kritis mengenai praktik arsitektur yang berkelanjutan dan memahami kearifan lokal.
Melalui kegiatan Kolokium Masterclass Menoreh, PPAr UII berupaya memperkuat pendidikan profesi arsitektur yang berorientasi pada masyarakat, berakar pada kearifan lokal, dan berpihak pada keberlanjutan lingkungan turut menegaskan peran Universitas Islam Indonesia sebagai perguruan tinggi yang konsisten dalam mengintegrasikan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat melalui pendekatan yang kolaboratif dan transformatif. (DA/AHR/RS)
Bangun Deso: Melihat Perubahan Wajah Desa untuk Sumber Penghidupan yang Berkelanjutan
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menyelenggarakan Coffee Morning Lecture (CML) #8 pada Rabu (29/10) di Selasar Hall Gedung Moh. Natsir FTSP, Kampus Terpadu UII. Kegiatan CML kali ini mengangkat tema “Bangun Deso: Melihat Perubahan Wajah Desa untuk Sumber Penghidupan yang Berkelanjutan” dengan menghadirkan para pemangku kepentingan dari pemerintah hingga komunitas untuk merefleksikan arah pembangunan pedesaan di Indonesia yang kini mengalami transformasi besar akibat modernisasi, pembangunan infrastruktur, dan pengaruh budaya urban.
Dekan FTSP, Prof. Dr.-Ing. Ar. Ilya Fadjar Maharika, MA., IAI, dalam sambutannya, beliau menegaskan pentingnya desa sebagai ruang hidup yang tidak hanya menjadi objek pembangunan, tetapi juga subjek pengetahuan dan inovasi.
“Kita sering memandang desa dari kacamata urban, seolah desa harus meniru kota untuk maju. Padahal, masa depan keberlanjutan Indonesia justru bergantung pada kemampuannya menjaga nilai, kemandirian, dan ekologi pedesaan,” ujar Prof. Ilya.
Prof. Ilya menambahkan CML ini merupakan bentuk nyata keterlibatan universitas dalam menghidupkan kembali semangat triple helix sebagai sinergi antara akademisi, pemerintah, dan masyarakat untuk membangun desa yang tangguh dan berdaya
Sebagai narasumber utama, hadir Dr. Muhammad Roudo, S.T., MPP., Ph.D. sebagai Direktur Perdesaan, Daerah Afirmasi, dan Transmigrasi – Kementerian PPN/Bappenas. Dalam paparannya, Dr. Roudo menekankan pentingnya arah kebijakan pembangunan desa yang inklusif dan berkelanjutan.
“Desa bukan hanya ruang administratif, melainkan ruang ekologi dan sosial yang menentukan wajah pembangunan nasional. Tantangan kita sekarang adalah bagaimana mengubah logika pembangunan desa dari sekadar pembangunan infrastruktur menjadi pembangunan kapasitas manusia dan lingkungan hidup desa itu sendiri,” jelas Dr. Roudo.
Ia juga menambahkan bahwa Bappenas terus memperkuat kebijakan berbasis data dan kolaborasi lintas sektor agar desa dapat menjadi episentrum ekonomi hijau di masa depan. Sementara itu, Vira Maya Permatasari, Ketua Paguyuban Eco Sae Migunani, berbagi pengalaman dari lapangan tentang praktik pembangunan desa berbasis komunitas dan ekologi.
“Kami belajar dari petani, perempuan, dan anak muda desa bahwa perubahan tidak harus datang dari luar. Ketika warga diberi ruang untuk menentukan arah penghidupan mereka, maka muncul inovasi lokal yang luar biasa,” ungkap Vira.
Ia menekankan pentingnya pendekatan eco-social entrepreneurship yang menumbuhkan keseimbangan antara keberlanjutan ekonomi dan kelestarian lingkungan di desa.
Diskusi semakin kaya dengan kehadiran tiga penanggap dari pusat studi di lingkungan FTSP UII. Ir. Fajriyanto, MT, dari Pusat Studi Desa dan Kota yang menyoroti bahwa pembangunan desa memerlukan pendekatan spasial yang peka terhadap dinamika sosial dan budaya. “Desa memiliki lanskap sosial yang unik. Pembangunan fisik tidak bisa dilepaskan dari konteks sosialnya. Jika tidak, desa bisa kehilangan identitas, bahkan makna kebersamaannya,” ujarnya.
Pradipta Nandi Wardhana, S.T., M.Eng., dari Pusat Studi Banjir dan Kekeringan, menambahkan bahwa aspek tata air dan risiko iklim sering kali terabaikan dalam perencanaan desa. “Desa-desa di dataran tinggi dan hilir menghadapi risiko bencana hidrometeorologi yang berbeda. Konsep pembangunan desa berkelanjutan harus berbasis pada pengelolaan sumber daya air yang adaptif dan terintegrasi,” kata Pradipta.
Sementara itu, Ir. Luqman Hakim, S.T., M.Si., dari Center for Environmental Technology Study, menekankan pentingnya teknologi tepat guna dan kolaborasi lintas disiplin untuk memperkuat ekonomi hijau pedesaan. “Teknologi tidak selalu berarti mesin besar dan canggih. Inovasi kecil yang relevan dengan konteks desa justru bisa menjadi solusi paling berkelanjutan,” tutur Luqman.
Ketua Pelaksana CML #8, Ikrom Mustofa, S.Si., M.Sc., menyampaikan bahwa forum ini dirancang bukan hanya sebagai kegiatan rutin, tetapi sebagai ruang pembelajaran sosial dan kolaboratif. “CML ini kami niatkan sebagai wadah berbagi gagasan lintas generasi dan disiplin. Kami ingin FTSP UII menjadi kampus yang hidup bersama masyarakatnya—tempat bertemunya ide-ide teknis, sosial, dan budaya untuk kemajuan desa,” ungkap Ikrom.
Ia menambahkan bahwa ke depan, hasil diskusi akan dirangkum menjadi rekomendasi kebijakan dan rencana kolaborasi lanjutan antara FTSP UII, pemerintah, dan komunitas desa.
Melalui CML #8 ini, FTSP UII berharap dapat memperkuat peran perguruan tinggi sebagai penghubung antara ilmu pengetahuan dan kehidupan nyata masyarakat. Forum seperti ini menjadi bukti bahwa universitas tidak hanya mencetak sarjana, tetapi juga memelihara dialog sosial tentang masa depan bangsa. Dengan semangat itu, Coffee Morning Lecture FTSP UII akan terus hadir sebagai forum ilmiah terbuka—menyatukan para pemangku kepentingan dalam satu meja kopi, untuk bersama-sama membangun masa depan yang lebih berkelanjutan. (IM/AHR/RS)
UII Wisuda 1.419 Lulusan, Rektor Tekankan Pentingnya Kolaborasi Lintas Disiplin
Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar wisuda jenjang Doktor, Sarjana, dan Diploma Periode I Tahun Akademik 2025/2026 pada Sabtu-Minggu (25-26/10) di Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir. Pada periode kali ini, UII mewisuda 1.419 lulusan terdiri dari 12 doktor, 119 magister, 1.221 sarjana, dan 58 sarjana terapan, serta 9 ahli madia. Sehingga, sampai saat ini tercatat lebih dari 134.981 alumni yang berkiprah dalam berbagai peran baik dalam negeri maupun mancanegara.
Dalam sambutannya, Rektor UII, Fathul Wahid, mengutip buku dari Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World, bahwa dunia modern tidak hanya butuh para spesialis, tetapi juga para generalis yaitu orang-orang yang berani menyeberangi batas pengetahuan, yang mampu melihat dunia dari banyak jendela, dan menghubungkan titik-titik yang tampak tak berhubungan menjadi solusi yang bermakna.
“We learn who we are in practice, not in theory. Kalimat sederhana itu mengandung pesan mendalam: kita tidak menemukan jati diri hanya dari teori atau rencana hidup yang rapi, melainkan dari keberanian mencoba, bereksperimen, dan kadang-kadang gagal. Karena justru dalam percobaan itulah kita belajar tentang diri kita sendiri,” ungkapnya
Tak lupa, Ia menyoroti pentingnya kemampuan adaptasi dan kolaborasi lintasdisiplin di tengah perubahan teknologi dan sosial yang begitu cepat. “Kita hidup di dunia yang tidak lagi menghargai kepastian tunggal. Masalah hari ini tidak bisa diselesaikan hanya oleh satu disiplin ilmu. Karena itu, pendidikan sejati bukanlah soal mencetak ahli sempit, tetapi menumbuhkan manusia yang mampu berpikir luas dan berjejaring lintas disiplin,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Fathul mendorong para lulusan untuk tidak takut menjelajah dan gagal. Menurutnya, keberanian untuk bereksperimen dan belajar dari berbagai pengalaman akan menumbuhkan pribadi yang lentur dan berdaya saing tinggi. “Jangan takut bila arah karier nanti berubah. Kadang kita perlu berkenalan dulu dengan berbagai pengalaman sebelum tahu mana yang benar-benar cocok untuk kita,” pesannya.
Sementara itu, wakil alumni UII, Rendy Ardiansyah, S.E., M.B.A., yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama PT WIKA Tirta Jaya Jatiluhur, mengingatkan bahwa keberhasilan sejati tidak diukur dari kepintaran semata, tetapi dari keteguhan, integritas, dan konsistensi.
“Dunia kerja itu seperti Wi-Fi, kadang sinyalnya kuat, kadang hilang. Tapi jangan menyerah, karena koneksi terbaik sering datang setelah kita sabar mencoba,” ujarnya disambut tepuk tangan hadirin.
Rendy juga menekankan pentingnya membawa nilai-nilai keislaman dan integritas UII dalam kehidupan profesional. Ia berpesan agar para lulusan berani memberi makna melalui karya dan kontribusi nyata bagi masyarakat.
“Yang dibutuhkan dunia bukan hanya orang pintar, tapi orang yang bisa dipercaya. Apa pun profesinya nanti, pastikan Anda hidup untuk memberi arti dan meninggalkan legacy,” tambahnya.
Momentum wisuda kali ini menjadi penegasan komitmen UII untuk terus melahirkan lulusan yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga berkarakter dan berkontribusi bagi kemaslahatan umat serta kemajuan bangsa. (AHR/RS)
UII Dorong Penguatan Pemahaman Syariat bagi Mualaf melalui Daurah Fiqhiyyah
Dalam proses transisi spiritualnya, mualaf seringkali dihadapkan pada tantangan besar yang spesifik dalam mempelajari syariat. Mereka umumnya tidak memiliki basis pengetahuan agama yang memadai, sehingga sering merasa kesulitan dan terbebani saat berhadapan dengan terminologi fiqih yang kompleks. Menyadari hal tersebut, Dakwah Hijrah Mahasiswa, Lembaga Dakwah Kampus yang bernaung dibawah Direktorat Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam (DPPAI) UII selenggarakan Daurah Fiqhiyyah yang bertajuk “Kajian dan Praktek Fikih Ibadah: Menghidupkan Syariat dalam Kehidupan”. Kegiatan ini berlangsung pada Sabtu (25/10) di Masjid Al Furqon, Dusun Tanen, Pakem.
Acara ini menghadirkan Ustadz Fathurrahman Alkatitanji, S.H.I sebagai pemateri yang juga sekaligus staf dari DPPAI UII. Materi berfokus pada praktek fiqih dasar seperti berwudhu, tayammum, dan shalat wajib yang ternyata membutuhkan waktu lebih lama daripada perkiraan panitia. Rasa semangat dan keingintahuan masyarakat yang hadir tentang ilmu keagamaan membuat acara berlangsung dengan sangat interaktif dan hangat. Banyak peserta yang aktif bertanya dan meminta penjelasan langsung mengenai tata cara ibadah yang benar sesuai tuntunan syariat. Antusiasme tersebut menunjukkan bahwa kegiatan semacam ini dibutuhkan masyarakat sebagai sarana memperdalam pemahaman agama sekaligus memperbaiki praktik ibadah sehari-hari.
Prilya Isna Putra, Perwakilan Takmir Masjid Al Furqan, dalam sambutannya mengucapkan terimakasih kepada mahasiswa UII yang menyelenggarakan acara Daurah Fiqhiyyah ini. Ia juga berharap materi yang diberikan dapat menambah ilmu dan wawasan baru bagi jamaah yang hadir.
Fathurrahman memulai sesi kajian dengan berkata “Sejelek-jeleknya perkara dalam urusan agama ini adalah perkara yang diada-adakan, yang dikreasikan, yang diinovasikan tanpa ada bimbingan Al-Qur’an dan sunnah nabi,” Ia mengatakan bahwa siapapun orang yang melakukan hal tersebut dan menyebarkan ajaran yang sesat maka tempat yang layak baginya adalah neraka. Banyak ilmu-ilmu atau praktek fiqih tentang berwudhu dan sholat yang tidak mempunyai dalil serta dasar yang jelas dan hal ini akan berakibat fatal bagi orang-orang yang tingkatan ilmu agamanya masih rendah. Sebab ketika mereka mengajarkan sesuatu yang sesat kepada orang lain maka dosa baginya.
Allah menciptakan makhluk di muka bumi ini untuk beribadah kepada-Nya. Hal ini sesuai dengan dalil Q.S Az-Zariyat ayat 56 yang mengatakan bahwa ibadah adalah tujuan utama penciptaan manusia di bumi ini. Bukan harta benda yang kita cari selama di dunia ini yang akan menjadi bekal kita di akhirat. Salah satunya adalah mempelajari syariat agama dan tata cara beribadah.
Selama sesi kajian berlangsung, Fathurrahman mendemonstrasikan praktik berwudhu, tayamum, mandi wajib dan sholat dengan jelas dan runtut. Ia tidak hanya menjelaskan gerakan demi gerakan saja, namun juga memberikan wawasan dari berbagai perbedaan pendapat ulama madzhab. Seperti contohnya dalam mandi wajib ada dua riwayat yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Riwayat oleh Aisyah dan Maimunah. Kedua riwayat itu dipaparkan dengan sangat jelas sehingga jamaah dapat memahami riwayat mana yang biasanya mereka pakai sehari-hari.
Menjelang akhir acara, para jamaah menyampaikan permintaan agar kegiatan Daurah Fiqhiyyah dapat diadakan kembali dengan pembahasan latihan tentang shalat jenazah dan tata cara memandikan jenazah. Hal ini menunjukkan tingginya minat masyarakat untuk terus memperdalam ilmu fiqih, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah dan praktik keagamaan di kehidupan sehari-hari.
Sebagai penutup, Fathurrahman mewakili DHM UII memberikan santunan kepada mualaf yang hadir berupa sembako dan kebutuhan rumah tangga. Ia juga memberikan bingkisan kepada penanya yang telah aktif terlibat dalam kegiatan tersebut. (NKA/AHR/RS)
Generalis: Penjelajah dengan Pandangan Luas
Di kesempatan yang berbahagia ini, saya mengajak Saudara untuk memandang wisuda ini bukan sebagai akhir perjalanan, melainkan sebagai awal petualangan baru. Dunia di luar sana tengah bergerak cepat. Teknologi berkembang dalam hitungan bulan. Pekerjaan yang hari ini ada, mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama akan lenyap. Karena itu, keberhasilan sejati tidak lagi diukur dari seberapa ahli Saudara di satu bidang, tetapi dari seberapa luwes Saudara beradaptasi, seberapa berani Saudara menjelajah, dan seberapa terbuka Saudara untuk terus belajar hal-hal baru.
Dalam bukunya Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World, David Epstein (2021) mengingatkan kita bahwa dunia modern tidak hanya butuh para spesialis, tetapi juga para generalis — orang-orang yang berani menyeberangi batas pengetahuan, yang mampu melihat dunia dari banyak jendela, dan menghubungkan titik-titik yang tampak tak berhubungan menjadi solusi yang bermakna. Range merupakan salah satu buku yang direkomendasikan oleh McKinsey pada tahun ini, 2025[1].
Berani bereksperimen
Epstein menulis, “We learn who we are in practice, not in theory.” Kalimat sederhana itu mengandung pesan mendalam: kita tidak menemukan jati diri hanya dari teori atau rencana hidup yang rapi, melainkan dari keberanian mencoba, bereksperimen, dan kadang-kadang gagal. Karena justru dalam percobaan itulah kita belajar tentang diri kita sendiri.
Banyak dari kita dibesarkan dengan pandangan bahwa kesuksesan ditentukan oleh spesialisasi yang tajam — semakin cepat memilih jurusan, semakin cepat menentukan karier, maka semakin baik. Namun, Epstein justru menunjukkan hal sebaliknya. Bahwa mereka yang memberi ruang untuk menjelajah, yang berani “menyimpang sedikit” dari jalur, sering kali justru menemukan jalan yang lebih bermakna.
Lihatlah Roger Federer, pemegang 20 gelar Grand Slam tunggal dan menjadi petenis nomor satu dunia dalam waktu yang sangat lama, 310 pekan. Ia tidak tumbuh sebagai atlet tenis sejak bayi. Federer mencoba berbagai olahraga lebih dulu — sepak bola, bola basket, bahkan skateboard — sebelum akhirnya memilih tenis di usia remaja. Ia tidak terburu-buru “menetap”. Dan justru karena pengalaman yang beragam itulah ia tumbuh menjadi pemain yang lentur, kreatif, dan tahan banting.
Atau, pikirkan Steve Jobs. Ia bukan desainer, bukan insinyur, bukan pemrogram murni. Tapi ia adalah seseorang yang tahu bagaimana menghubungkan hal-hal yang kelihatannya tak terkait. Dari kelas kaligrafi yang ia ikuti secara iseng, lahirlah ide tentang tipografi indah di komputer Apple. Dari ketertarikannya pada desain, lahirlah filosofi sederhana: “Technology alone is not enough.”
Dalam sejarah peradaban Islam, banyak ilmuwan besar yang berpikir lintas batas disiplin—para generalis sejati yang melihat ilmu pengetahuan sebagai satu kesatuan.
Ibnu Sina, misalnya, tidak hanya dikenal sebagai peletak dasar ilmu kedokteran, tetapi juga seorang filsuf dan astronom. Ia menulis ratusan karya yang menjembatani ilmu kedokteran, metafisika, logika, dan bahkan musik, menunjukkan bahwa bagi dirinya, ilmu adalah jalan menuju pemahaman yang utuh tentang manusia dan alam semesta.
Al-Farabi pun serupa. Ia adalah filsuf yang juga menekuni politik, linguistik, dan musik, dan melalui karyanya Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah ia menggambarkan masyarakat ideal yang dibangun atas dasar harmoni akal dan moral.
Dari keduanya kita belajar bahwa keunggulan tidak lahir dari spesialisasi sempit, melainkan dari keluasan pandangan, keberanian menjelajah banyak bidang, dan kemampuan menghubungkan ilmu untuk kemaslahatan.
Kemampuan berimajinasi
Itulah kekuatan seorang generalis — kemampuan melihat yang tak dilihat orang lain. Gagasan ini serupa dengan yang diungkap oleh Malcolm Gladwell (2009) dalam What the Dog Saw. Epstein berbicara tentang pentingnya memiliki range — kemampuan untuk melihat pola di antara hal-hal yang tampaknya tidak berhubungan. Sementara Gladwell, mengajak kita untuk memandang dunia dari mata yang lain, dari sudut pandang yang sering diabaikan. Kedua gagasan ini sama-sama menegaskan: keunggulan masa depan tidak datang dari mereka yang hanya tahu banyak, tetapi dari mereka yang tahu cara melihat — melihat apa yang luput dari pandangan orang lain.
Kita hidup di dunia yang tidak lagi menghargai kepastian tunggal. Masalah-masalah hari ini tidak bisa diselesaikan hanya oleh satu disiplin ilmu. Krisis iklim, ketimpangan ekonomi, etika kecerdasan buatan — semuanya menuntut kolaborasi lintasbidang, lintasbahasa, lintas-cara berpikir. Karena itu, pendidikan sejati bukanlah soal mencetak ahli sempit, tetapi menumbuhkan manusia yang mampu berpikir luas, berjejaring lintas disiplin, dan menghargai keragaman pengetahuan.
Epstein juga mengingatkan bahwa dunia kerja modern menuntut knowledge transfer — kemampuan memindahkan pengetahuan dari satu konteks ke konteks lain. Mereka yang hanya bisa belajar dari pengalaman lama akan tertinggal. Tetapi mereka yang bisa belajar tanpa pengalaman langsung — yang bisa berimajinasi, mensintesis, dan menghubungkan — merekalah pemimpin masa depan.
Karena itu jangan Saudara takut untuk belum menemukan “tujuan hidup” hari ini. Jangan khawatir bila arah karier Saudara nanti berubah. Kadang kita perlu berkenalan dulu dengan berbagai pengalaman sebelum tahu mana yang benar-benar cocok untuk kita. Ambillah waktu untuk menjelajah, karena menjelajah bukan membuang waktu — ia adalah cara terbaik untuk menemukan makna, jalur yang paling pas menurut kita.
Dan, yang tak kalah penting, jangan takut untuk gagal, bahkan untuk berhenti. Kadang berhenti justru langkah paling berani — karena ia memberi ruang untuk hal yang lebih sesuai. Dunia ini terlalu luas untuk dijalani dengan pikiran yang sempit.
Tetaplah menjadi amatir
Hari ini Saudara semua resmi diwisuda. Tapi gelar yang Saudara dapatkan bukanlah titik akhir, melainkan undangan untuk terus belajar, untuk terus menjadi “pembelajar seumur hidup”. Di dunia yang berubah cepat, yang paling berharga bukan lagi “apa yang Saudara tahu”, tapi “seberapa cepat Saudara mau belajar ulang.”
Jadilah pribadi yang deliberate amateur — orang yang tidak berhenti ingin tahu, yang berani keluar dari zona nyaman, yang membaca di luar bidangnya, dan yang belajar dari pertemuan antaride. Di sanalah tumbuh inovasi dan kebijaksanaan yang sesungguhnya.
Referensi
Epstein, D. (2021). Range: Why generalists triumph in a specialized world. Penguin.
Gladwell, M. (2009). What the dog saw: And other adventures. Little, Brown and Company.
Sambutan pada acara wisuda Universitas Islam Indonesia, 25 dan 26 Oktober 2025
Fathul Wahid
Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026
[1] https://www.mckinsey.com/featured-insights/annual-book-recommendations