Di kesempatan yang berbahagia ini, saya mengajak Saudara untuk memandang wisuda ini bukan sebagai akhir perjalanan, melainkan sebagai awal petualangan baru. Dunia di luar sana tengah bergerak cepat. Teknologi berkembang dalam hitungan bulan. Pekerjaan yang hari ini ada, mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama akan lenyap. Karena itu, keberhasilan sejati tidak lagi diukur dari seberapa ahli Saudara di satu bidang, tetapi dari seberapa luwes Saudara beradaptasi, seberapa berani Saudara menjelajah, dan seberapa terbuka Saudara untuk terus belajar hal-hal baru.
Dalam bukunya Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World, David Epstein (2021) mengingatkan kita bahwa dunia modern tidak hanya butuh para spesialis, tetapi juga para generalis — orang-orang yang berani menyeberangi batas pengetahuan, yang mampu melihat dunia dari banyak jendela, dan menghubungkan titik-titik yang tampak tak berhubungan menjadi solusi yang bermakna. Range merupakan salah satu buku yang direkomendasikan oleh McKinsey pada tahun ini, 2025[1].
 
Berani bereksperimen
Epstein menulis, “We learn who we are in practice, not in theory.” Kalimat sederhana itu mengandung pesan mendalam: kita tidak menemukan jati diri hanya dari teori atau rencana hidup yang rapi, melainkan dari keberanian mencoba, bereksperimen, dan kadang-kadang gagal. Karena justru dalam percobaan itulah kita belajar tentang diri kita sendiri.
Banyak dari kita dibesarkan dengan pandangan bahwa kesuksesan ditentukan oleh spesialisasi yang tajam — semakin cepat memilih jurusan, semakin cepat menentukan karier, maka semakin baik. Namun, Epstein justru menunjukkan hal sebaliknya. Bahwa mereka yang memberi ruang untuk menjelajah, yang berani “menyimpang sedikit” dari jalur, sering kali justru menemukan jalan yang lebih bermakna.
Lihatlah Roger Federer, pemegang 20 gelar Grand Slam tunggal dan menjadi petenis nomor satu dunia dalam waktu yang sangat lama, 310 pekan. Ia tidak tumbuh sebagai atlet tenis sejak bayi. Federer mencoba berbagai olahraga lebih dulu — sepak bola, bola basket, bahkan skateboard — sebelum akhirnya memilih tenis di usia remaja. Ia tidak terburu-buru “menetap”. Dan justru karena pengalaman yang beragam itulah ia tumbuh menjadi pemain yang lentur, kreatif, dan tahan banting.
Atau, pikirkan Steve Jobs. Ia bukan desainer, bukan insinyur, bukan pemrogram murni. Tapi ia adalah seseorang yang tahu bagaimana menghubungkan hal-hal yang kelihatannya tak terkait. Dari kelas kaligrafi yang ia ikuti secara iseng, lahirlah ide tentang tipografi indah di komputer Apple. Dari ketertarikannya pada desain, lahirlah filosofi sederhana: “Technology alone is not enough.”
Dalam sejarah peradaban Islam, banyak ilmuwan besar yang berpikir lintas batas disiplin—para generalis sejati yang melihat ilmu pengetahuan sebagai satu kesatuan.
Ibnu Sina, misalnya, tidak hanya dikenal sebagai peletak dasar ilmu kedokteran, tetapi juga seorang filsuf dan astronom. Ia menulis ratusan karya yang menjembatani ilmu kedokteran, metafisika, logika, dan bahkan musik, menunjukkan bahwa bagi dirinya, ilmu adalah jalan menuju pemahaman yang utuh tentang manusia dan alam semesta.
Al-Farabi pun serupa. Ia adalah filsuf yang juga menekuni politik, linguistik, dan musik, dan melalui karyanya Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah ia menggambarkan masyarakat ideal yang dibangun atas dasar harmoni akal dan moral.
Dari keduanya kita belajar bahwa keunggulan tidak lahir dari spesialisasi sempit, melainkan dari keluasan pandangan, keberanian menjelajah banyak bidang, dan kemampuan menghubungkan ilmu untuk kemaslahatan.
 
Kemampuan berimajinasi
Itulah kekuatan seorang generalis — kemampuan melihat yang tak dilihat orang lain. Gagasan ini serupa dengan yang diungkap oleh Malcolm Gladwell (2009) dalam What the Dog Saw. Epstein berbicara tentang pentingnya memiliki range — kemampuan untuk melihat pola di antara hal-hal yang tampaknya tidak berhubungan. Sementara Gladwell, mengajak kita untuk memandang dunia dari mata yang lain, dari sudut pandang yang sering diabaikan. Kedua gagasan ini sama-sama menegaskan: keunggulan masa depan tidak datang dari mereka yang hanya tahu banyak, tetapi dari mereka yang tahu cara melihat — melihat apa yang luput dari pandangan orang lain.
Kita hidup di dunia yang tidak lagi menghargai kepastian tunggal. Masalah-masalah hari ini tidak bisa diselesaikan hanya oleh satu disiplin ilmu. Krisis iklim, ketimpangan ekonomi, etika kecerdasan buatan — semuanya menuntut kolaborasi lintasbidang, lintasbahasa, lintas-cara berpikir. Karena itu, pendidikan sejati bukanlah soal mencetak ahli sempit, tetapi menumbuhkan manusia yang mampu berpikir luas, berjejaring lintas disiplin, dan menghargai keragaman pengetahuan.
Epstein juga mengingatkan bahwa dunia kerja modern menuntut knowledge transfer — kemampuan memindahkan pengetahuan dari satu konteks ke konteks lain. Mereka yang hanya bisa belajar dari pengalaman lama akan tertinggal. Tetapi mereka yang bisa belajar tanpa pengalaman langsung — yang bisa berimajinasi, mensintesis, dan menghubungkan — merekalah pemimpin masa depan.
Karena itu jangan Saudara takut untuk belum menemukan “tujuan hidup” hari ini. Jangan khawatir bila arah karier Saudara nanti berubah. Kadang kita perlu berkenalan dulu dengan berbagai pengalaman sebelum tahu mana yang benar-benar cocok untuk kita. Ambillah waktu untuk menjelajah, karena menjelajah bukan membuang waktu — ia adalah cara terbaik untuk menemukan makna, jalur yang paling pas menurut kita.
Dan, yang tak kalah penting, jangan takut untuk gagal, bahkan untuk berhenti. Kadang berhenti justru langkah paling berani — karena ia memberi ruang untuk hal yang lebih sesuai. Dunia ini terlalu luas untuk dijalani dengan pikiran yang sempit.
 
Tetaplah menjadi amatir 
Hari ini Saudara semua resmi diwisuda. Tapi gelar yang Saudara dapatkan bukanlah titik akhir, melainkan undangan untuk terus belajar, untuk terus menjadi “pembelajar seumur hidup”. Di dunia yang berubah cepat, yang paling berharga bukan lagi “apa yang Saudara tahu”, tapi “seberapa cepat Saudara mau belajar ulang.”
Jadilah pribadi yang deliberate amateur — orang yang tidak berhenti ingin tahu, yang berani keluar dari zona nyaman, yang membaca di luar bidangnya, dan yang belajar dari pertemuan antaride. Di sanalah tumbuh inovasi dan kebijaksanaan yang sesungguhnya.
 
Referensi
Epstein, D. (2021). Range: Why generalists triumph in a specialized world. Penguin.
Gladwell, M. (2009). What the dog saw: And other adventures. Little, Brown and Company.
 
Sambutan pada acara wisuda Universitas Islam Indonesia, 25 dan 26 Oktober 2025
Fathul Wahid
Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026
[1] https://www.mckinsey.com/featured-insights/annual-book-recommendations
Generalis: Penjelajah dengan Pandangan Luas
Di kesempatan yang berbahagia ini, saya mengajak Saudara untuk memandang wisuda ini bukan sebagai akhir perjalanan, melainkan sebagai awal petualangan baru. Dunia di luar sana tengah bergerak cepat. Teknologi berkembang dalam hitungan bulan. Pekerjaan yang hari ini ada, mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama akan lenyap. Karena itu, keberhasilan sejati tidak lagi diukur dari seberapa ahli Saudara di satu bidang, tetapi dari seberapa luwes Saudara beradaptasi, seberapa berani Saudara menjelajah, dan seberapa terbuka Saudara untuk terus belajar hal-hal baru.
Dalam bukunya Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World, David Epstein (2021) mengingatkan kita bahwa dunia modern tidak hanya butuh para spesialis, tetapi juga para generalis — orang-orang yang berani menyeberangi batas pengetahuan, yang mampu melihat dunia dari banyak jendela, dan menghubungkan titik-titik yang tampak tak berhubungan menjadi solusi yang bermakna. Range merupakan salah satu buku yang direkomendasikan oleh McKinsey pada tahun ini, 2025[1].
Berani bereksperimen
Epstein menulis, “We learn who we are in practice, not in theory.” Kalimat sederhana itu mengandung pesan mendalam: kita tidak menemukan jati diri hanya dari teori atau rencana hidup yang rapi, melainkan dari keberanian mencoba, bereksperimen, dan kadang-kadang gagal. Karena justru dalam percobaan itulah kita belajar tentang diri kita sendiri.
Banyak dari kita dibesarkan dengan pandangan bahwa kesuksesan ditentukan oleh spesialisasi yang tajam — semakin cepat memilih jurusan, semakin cepat menentukan karier, maka semakin baik. Namun, Epstein justru menunjukkan hal sebaliknya. Bahwa mereka yang memberi ruang untuk menjelajah, yang berani “menyimpang sedikit” dari jalur, sering kali justru menemukan jalan yang lebih bermakna.
Lihatlah Roger Federer, pemegang 20 gelar Grand Slam tunggal dan menjadi petenis nomor satu dunia dalam waktu yang sangat lama, 310 pekan. Ia tidak tumbuh sebagai atlet tenis sejak bayi. Federer mencoba berbagai olahraga lebih dulu — sepak bola, bola basket, bahkan skateboard — sebelum akhirnya memilih tenis di usia remaja. Ia tidak terburu-buru “menetap”. Dan justru karena pengalaman yang beragam itulah ia tumbuh menjadi pemain yang lentur, kreatif, dan tahan banting.
Atau, pikirkan Steve Jobs. Ia bukan desainer, bukan insinyur, bukan pemrogram murni. Tapi ia adalah seseorang yang tahu bagaimana menghubungkan hal-hal yang kelihatannya tak terkait. Dari kelas kaligrafi yang ia ikuti secara iseng, lahirlah ide tentang tipografi indah di komputer Apple. Dari ketertarikannya pada desain, lahirlah filosofi sederhana: “Technology alone is not enough.”
Dalam sejarah peradaban Islam, banyak ilmuwan besar yang berpikir lintas batas disiplin—para generalis sejati yang melihat ilmu pengetahuan sebagai satu kesatuan.
Ibnu Sina, misalnya, tidak hanya dikenal sebagai peletak dasar ilmu kedokteran, tetapi juga seorang filsuf dan astronom. Ia menulis ratusan karya yang menjembatani ilmu kedokteran, metafisika, logika, dan bahkan musik, menunjukkan bahwa bagi dirinya, ilmu adalah jalan menuju pemahaman yang utuh tentang manusia dan alam semesta.
Al-Farabi pun serupa. Ia adalah filsuf yang juga menekuni politik, linguistik, dan musik, dan melalui karyanya Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah ia menggambarkan masyarakat ideal yang dibangun atas dasar harmoni akal dan moral.
Dari keduanya kita belajar bahwa keunggulan tidak lahir dari spesialisasi sempit, melainkan dari keluasan pandangan, keberanian menjelajah banyak bidang, dan kemampuan menghubungkan ilmu untuk kemaslahatan.
Kemampuan berimajinasi
Itulah kekuatan seorang generalis — kemampuan melihat yang tak dilihat orang lain. Gagasan ini serupa dengan yang diungkap oleh Malcolm Gladwell (2009) dalam What the Dog Saw. Epstein berbicara tentang pentingnya memiliki range — kemampuan untuk melihat pola di antara hal-hal yang tampaknya tidak berhubungan. Sementara Gladwell, mengajak kita untuk memandang dunia dari mata yang lain, dari sudut pandang yang sering diabaikan. Kedua gagasan ini sama-sama menegaskan: keunggulan masa depan tidak datang dari mereka yang hanya tahu banyak, tetapi dari mereka yang tahu cara melihat — melihat apa yang luput dari pandangan orang lain.
Kita hidup di dunia yang tidak lagi menghargai kepastian tunggal. Masalah-masalah hari ini tidak bisa diselesaikan hanya oleh satu disiplin ilmu. Krisis iklim, ketimpangan ekonomi, etika kecerdasan buatan — semuanya menuntut kolaborasi lintasbidang, lintasbahasa, lintas-cara berpikir. Karena itu, pendidikan sejati bukanlah soal mencetak ahli sempit, tetapi menumbuhkan manusia yang mampu berpikir luas, berjejaring lintas disiplin, dan menghargai keragaman pengetahuan.
Epstein juga mengingatkan bahwa dunia kerja modern menuntut knowledge transfer — kemampuan memindahkan pengetahuan dari satu konteks ke konteks lain. Mereka yang hanya bisa belajar dari pengalaman lama akan tertinggal. Tetapi mereka yang bisa belajar tanpa pengalaman langsung — yang bisa berimajinasi, mensintesis, dan menghubungkan — merekalah pemimpin masa depan.
Karena itu jangan Saudara takut untuk belum menemukan “tujuan hidup” hari ini. Jangan khawatir bila arah karier Saudara nanti berubah. Kadang kita perlu berkenalan dulu dengan berbagai pengalaman sebelum tahu mana yang benar-benar cocok untuk kita. Ambillah waktu untuk menjelajah, karena menjelajah bukan membuang waktu — ia adalah cara terbaik untuk menemukan makna, jalur yang paling pas menurut kita.
Dan, yang tak kalah penting, jangan takut untuk gagal, bahkan untuk berhenti. Kadang berhenti justru langkah paling berani — karena ia memberi ruang untuk hal yang lebih sesuai. Dunia ini terlalu luas untuk dijalani dengan pikiran yang sempit.
Tetaplah menjadi amatir
Hari ini Saudara semua resmi diwisuda. Tapi gelar yang Saudara dapatkan bukanlah titik akhir, melainkan undangan untuk terus belajar, untuk terus menjadi “pembelajar seumur hidup”. Di dunia yang berubah cepat, yang paling berharga bukan lagi “apa yang Saudara tahu”, tapi “seberapa cepat Saudara mau belajar ulang.”
Jadilah pribadi yang deliberate amateur — orang yang tidak berhenti ingin tahu, yang berani keluar dari zona nyaman, yang membaca di luar bidangnya, dan yang belajar dari pertemuan antaride. Di sanalah tumbuh inovasi dan kebijaksanaan yang sesungguhnya.
Referensi
Epstein, D. (2021). Range: Why generalists triumph in a specialized world. Penguin.
Gladwell, M. (2009). What the dog saw: And other adventures. Little, Brown and Company.
Sambutan pada acara wisuda Universitas Islam Indonesia, 25 dan 26 Oktober 2025
Fathul Wahid
Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026
[1] https://www.mckinsey.com/featured-insights/annual-book-recommendations
Ecoprint Ramah Lingkungan Sebagai Wujud Cinta Bumi
Ikatan Ibu-Ibu (IKI) Universitas Islam Indonesia (UII) melalui Fakultas Teknologi Industri (FTI) menggelar Workshop Seni Ecoprint di tas jinjing (totebag) dan Workshop Literasi Produk Halal pada Jumat, (24/10) . Kegiatan ini berlangsung di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII dan diikuti oleh keluarga besar Ibu-Ibu di lingkungan UII.
Acara dibuka dengan sambutan dari perwakilan FTI UII, Ulin Agus Mansur yang menyampaikan rasa syukur atas terselenggaranya kegiatan tersebut. Sambutan berikutnya disampaikan oleh perwakilan IKI UII, Ibu Zaenal, yang mengapresiasi antusiasme peserta dalam mengikuti kegiatan bertema keberlanjutan dan pelestarian lingkungan ini. Ia juga berharap acara ini dapat memberikan manfaat bagi peserta yang hadir.
Rangkaian acara dilanjutkan dengan sesi workshop bertema literasi produk halal yang disampaikan oleh Dr. Harwati, S.T.,M.T, dosen jurusan Teknik Industri FTI UII dan dibersamai oleh Sayyidah Maulidatul S.T.,M.T. sebagai moderator. Dalam pemaparannya, Harwati menekankan pentingnya memastikan kehalalan produk yang digunakan sehari-hari dan memahami bagaimana cara mengetahui kehalalan suatu produk.
“Kita harus memperhatikan logo halal dari Kementerian Agama. Jangan sampai bahan yang kita konsumsi mengandung unsur haram, seperti darah atau babi, yang telah dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an,” ujarnya.
Memasuki sesi kedua, workshop Ecoprint dipandu oleh Diyah Dwi Nugraheni S.T., M.T. dosen program studi Rekayasa Tekstil FTI UII. Ia menyebutkan bahwa ecoprint bukan hanya sekedar seni tetapi juga wujud cinta terhadap bumi.
“Filosofi ecoprint sendiri yaitu ia bukan hanya sekedar seni kain melainkan cara hidup yang menghormati bumi dan waktu. Ecoprint memandang alam bukan hanya sekedar sumber bahan tetapi rekan berkarya setiap daun dan bunga berkontribusi secara alami”. jelasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa proses pembuatan ecoprint terdiri dari tiga tahap, yakni mordanting (pencelupan kain dengan bahan pengikat warna), transfer warna yang dapat dilakukan dengan cara dikukus atau dipukul, serta fiksasi warna menggunakan air tawas agar hasilnya tahan lama.
Sebanyak sepuluh peserta berkesempatan mempraktikkan teknik transfer warna daun dan bunga pada totebag yang telah disiapkan panitia. Proses dilakukan dengan menempelkan daun atau bunga di atas kain, lalu memukulnya dengan alat khusus hingga motif alami berpindah.
Sebagai penutup, panitia memberikan doorprize kepada lima peserta dengan hasil motif terbaik. Melalui kegiatan ini, diharapkan para peserta dapat memahami pentingnya produk halal serta semakin mencintai bumi dengan memanfaatkan bahan-bahan alami secara kreatif dan berkelanjutan. (GRR/AHR/RS)
FIAI UII Tegaskan Peran Islam dalam Menyikapi Perkembangan Teknologi Global
Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan Ulil Albab International Conference on Islam, Environment, and Technologies pada Rabu–Kamis (22-23/10) bertempat di Auditorium Gedung K.H. Wahid Hasyim, Kampus Terpadu UII. Konferensi yang berlangsung selama dua hari ini diawali dengan pembukaan dan diskusi panel pada hari pertama, serta dilanjutkan dengan presentasi makalah dari para peserta pada hari kedua.
Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Rektor UII, Fathul Wahid, dan turut dihadiri oleh Dekan FIAI, Dr. Drs. Asmuni, M.Ag, School of Humanities, Universiti Sains Malaysia (USM), Dr. Mohd. Nor Adli bin Osman, serta sivitas akademika UII yang terdaftar sebagai peserta konferensi.
Dalam sambutannya, Fathul Wahid menyampaikan rasa syukur atas terselenggaranya konferensi internasional ini yang mengangkat isu penting mengenai pandangan Islam terhadap perkembangan teknologi modern.
“Harapannya, kegiatan ini dapat menginspirasi kita semua serta melahirkan prinsip dan komitmen baru dalam menjadikan teknologi, termasuk kecerdasan buatan, sebagai sarana menjaga keseimbangan ekologis dan keadilan sosial,” ujarnya.
Sesi diskusi panel pertama dimoderatori oleh Dosen PAI UII, Drs. Supriyanto Abdi. Narasumber pertama, Prof. Ibrahim Ozdemir, Wakil Presiden Bidang Akademik di American Islamic College, menyampaikan materi secara daring melalui Zoom Meeting.
Dalam penyampaiannya, ia menjelaskan bahwa manusia membutuhkan teknologi dan alat bantu dalam kehidupan. Menurutnya, sebagaimana termaktub dalam Surah Al-Isra ayat 44, tidak ada satu makhluk pun yang tidak bertasbih memuji Allah. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh ciptaan, tidak hanya manusia, turut berpartisipasi dalam ibadah dan memiliki makna spiritual.
“Dunia ini tidaklah bisu, melainkan senantiasa mengingat Tuhan, Al-Qur’an berbicara kepada umat manusia, dan realitas dunia modern menuntut kita membaca kembali kerangka klasik Islam dengan semangat baru bukan untuk meninggalkannya, melainkan untuk menghidupkannya dalam konteks alam semesta yang terus berkembang” jelasnya
Narasumber kedua Dr. Mohd. Nor Adli bin Osman dari Universiti Sains Malaysia menyampaikan bahwa teknologi kini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Hampir setiap keluarga memiliki smartphone, namun tanpa disadari, kehadiran teknologi tersebut kerap membuat hubungan antaranggota keluarga menjadi renggang.
“Islam tidak pernah melarang perkembangan teknologi, tetapi menekankan pada tujuan penggunaannya, apakah untuk kebaikan atau justru sebaliknya. Isu inilah yang kemudian dikaitkan dengan konsep maqāṣid al-syarī‘ah dalam ilmu fiqh” terangnya
Pada panel sesi kedua, materi disampaikan oleh Joseph Lumbard, Professor Madya Bidang Studi Al-Qur’an, Hamad Bin Khalifa University (HBKU), Qatar, melalui Zoom Meeting, dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Dekan FIAI UII, Dr. Drs. Asmuni, M.Ag.
Sebanyak 40-an peserta konferensi mempresentasikan makalah mereka pada hari kedua yang dibagi ke dalam beberapa ruangan yang berbeda. Setelah seluruh sesi presentasi selesai, acara dilanjutkan dengan klinik publikasi dengan para editor jurnal di Auditorium gedung Wahid Hasyim. Rangkaian acara kemudian ditutup dengan pengumuman peserta dengan presentasi dan makalah terbaik selama konferensi berlangsung. (GRR/AHR/RS)
Mahasiswa UII Dorong Ekonomi Desa Lewat Pelatihan CPPOB dan Bolu Susu
Tim PPK Ormawa Sinera Universitas Islam Indonesia (UII) terus menunjukkan komitmennya dalam memberdayakan masyarakat melalui inovasi di sektor olahan susu. Melalui program bertajuk “Purwobinangun Dairypreneur Village: Sentra Olahan Susu Terstandar Berbasis Factory Sharing untuk Penguatan Desa Wirausaha”, tim mahasiswa ini menyelenggarakan kegiatan Pelatihan Pembuatan Bolu Susu, CPPOB, dan SOP Produksi di Desa Purwobinangun pada Minggu (12/10).
Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian program PPK Ormawa 2025 yang berhasil mendapatkan pendanaan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Melalui pelatihan tersebut, masyarakat mendapatkan pendampingan dalam meningkatkan keterampilan pembuatan produk olahan susu yang higienis, berkualitas, dan memiliki nilai jual tinggi.
Ketua pelaksana kegiatan, Muiz dari Program Studi Farmasi 2022, menjelaskan bahwa pelatihan CPPOB (Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik) bertujuan untuk memastikan setiap tahapan produksi pangan dilakukan sesuai standar keamanan. “CPPOB ini penting untuk menjaga kualitas dan ketahanan produk. Mulai dari pekerja yang wajib memakai masker dan sarung tangan, hingga pengelolaan ruang produksi yang bersih. Kalau higienitasnya terjaga, masa simpan produk jadi lebih lama dan layak dipasarkan lebih luas,” jelas Muiz.
Selain pelatihan CPPOB, tim juga memperkenalkan pelatihan pembuatan bolu susu sebagai bentuk inovasi produk baru. Ide ini muncul dari diskusi bersama masyarakat yang antusias untuk mengembangkan variasi olahan susu. “Sebelumnya masyarakat sudah membuat stik susu dan susu pasteurisasi. Nah, karena mereka semangat menambah produk, kami adakan pelatihan bolu susu biar ada inovasi baru yang bisa dikembangkan bersama,” tambah Muiz.
Salah satu peserta pelatihan, Ibu Yani, mengaku sangat senang dengan kehadiran mahasiswa UII melalui program ini. Ia merasa mendapatkan banyak keterampilan baru sekaligus pendampingan yang bermanfaat bagi pengembangan usaha. “Saya baru tahu kalau susu bisa dijadikan bolu. Banyak keterampilan baru yang kami pelajari, seperti membuat puding susu, permen susu, stik susu, dan yoghurt. Kami juga diajarkan cara mengelola keuangan dan pemasaran produk. Harapannya kegiatan seperti ini bisa terus berlanjut supaya kami makin maju dan semangat,” ungkapnya.
Masyarakat peserta kegiatan merupakan bagian dari kelompok Juragan Perempuan Tani, dengan merek lokal Mirimilk, yang selama ini aktif mengembangkan usaha pengolahan susu. Melalui pendampingan tim mahasiswa, kelompok ini kini mulai menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) agar produk mereka lebih terjamin mutunya. Pelatihan ini juga mendapat sambutan positif dari masyarakat. Antusiasme peserta menjadi bukti keberhasilan kolaborasi antara mahasiswa dan warga desa dalam mengembangkan potensi ekonomi berbasis kearifan lokal.
Program PPK Ormawa Sinera UII tidak hanya berfokus pada peningkatan kapasitas teknis, tetapi juga pada pembangunan semangat kewirausahaan masyarakat desa. Melalui pendekatan berbasis kolaborasi dan inovasi, mahasiswa berperan sebagai agen perubahan yang membantu masyarakat mewujudkan kemandirian ekonomi. “Kami berharap pelatihan ini bisa menjadi langkah awal untuk memperkuat daya saing produk lokal dan mewujudkan Purwobinangun sebagai desa wirausaha berbasis olahan susu,” tutup Muiz.
Dengan pelaksanaan kegiatan ini, Universitas Islam Indonesia kembali menegaskan perannya sebagai perguruan tinggi yang tidak hanya unggul dalam bidang akademik, tetapi juga berkontribusi nyata bagi kemajuan masyarakat melalui karya dan pengabdian mahasiswa. (DA/AHR/RS)
UII Sambut Kembali Mahasiswa Penerima Beasiswa KNB dan TIAS
Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan orientasi bagi mahasiswa penerima Beasiswa Kemitraan Negara Berkembang (KNB) dan The Indonesian Aids Scholarship (TIAS) yang dikoordinasi oleh Kementrian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek), Republik Indonesia pada Rabu (22/10) di Gedung GBPH. Prabuningrat Rektorat Kampus Terpadu UII. KNB merupakan beasiswa Pemerintah Indonesia bagi mahasiswa dari negara-negara berkembang mitra strategis Indonesia, sedangkan TIAS merupakan program prestisius Pemerintah Republik Indonesia di bawah Grant Provision Program yang dikelola oleh Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional (LDKPI) Kementerian Keuangan, Republik Indonesia.
Dua mahasiswa yang mengikuti orientasi hari ini terdiri dari satu mahasiswa KNB asal Nigeria dan satu mahasiswa TIAS asal Kepulauan Solomon yang diterima pada tahun 2025. Secara keseluruhan, pada tahun ini UII menerima total 7 mahasiswa KNB, di mana 5 mahasiswa telah mengikuti orientasi sebelumnya pada bulan September, sementara dua mahasiswa lainnya menyusul kedatangannya dan mengikuti orientasi hari ini.
Kegiatan orientasi bertujuan membantu mahasiswa internasional dalam proses adaptasi awal sebelum memasuki kegiatan akademik dan non-akademik di UII. Agenda meliputi pengenalan budaya Indonesia, pemaparan fasilitas dan sistem akademik kampus, sesi bersama Ketua Program Studi, serta pertemuan dengan mahasiswa senior internasional.
Dalam sambutannya, Nihlah Ilhami, Kepala Divisi Mobilitas Internasional UII, menyampaikan bahwa mahasiswa internasional akan segera mengikuti serangkaian agenda kegiatan di UII seperti International Student Gathering: Monitoring & Evaluation bersama Kantor Imigrasi, serta program penguatan literasi akademik. Ia menekankan pentingnya pemanfaatan fasilitas kampus secara proaktif, termasuk peluang mobilitas internasional yang disediakan UII untuk memperluas pengalaman akademik dan jejaring global.
Sementara itu, Dian Sari Utami, selaku Direktur Kemitraan/Kantor Urusan Internasional UII, menyampaikan bahwa keikutsertaan UII sebagai perguruan tinggi penerima beasiswa KNB dan TIAS merupakan bagian dari kontribusi UII terhadap diplomasi pendidikan Indonesia. “UII berkomitmen menyediakan ekosistem pembelajaran yang inklusif dan berdaya saing global. Kehadiran penerima KNB dan TIAS di UII bukan hanya memperkaya atmosfer akademik, tetapi juga memperkuat jejaring internasional yang dibangun melalui pendidikan,” ujarnya.
Melalui kegiatan ini, UII menegaskan komitmennya dalam mendukung keberhasilan studi mahasiswa internasional serta memperkuat kontribusi UII dalam diplomasi pendidikan dan pengembangan kerja sama global. (NI/AHR/RS)
Integritas Akademik dan Kepemimpinan di Era Digital
Universitas Islam Indonesia (UII) melalui Direktorat Layanan Akademik (DLA) menyelenggarakan Kuliah Umum Pascasarjana Ke-21 dengan tema “Integritas Akademik dan Kepemimpinan di Era Digital”. Kuliah umum untuk Mahasiswa Baru Program Profesi, Magister dan Doktor UII ini disampaikan langsung oleh Rektor UII, Fathul Wahid pada (18/10) di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito Kampus Terpadu UII.
Dalam kuliah umum yang diselenggarakan secara hibrida tersebut, Prof. Dr. Jaka Nugraha, S.Si., M.Si. selaku Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik & Riset UII dan Guru Besar Bidang Ilmu Statistika dalam sambutannya berpesan kepada peserta kuliah umum yang diikuti oleh mahasiswa UII baik dari profesi, magister, dan doktor agar tidak hanya mementingkan kompetensi akademik tapi juga harus memiliki karakter Islami dan menjunjung tinggi moralitas.
Ia juga menegaskan lulusan UII harus mampu memberikan kontribusi bagi lingkungan dan masyarakatnya. “Kuliah umum maupun kuliah pakar yang diselenggarakan di tingkat universitas itu sudah didesain menjadi terintegrasi antara apa yang dilakukan di program studi, fakultas, dan universitas dalam rangka menghasilkan lulusan yang mampu memberikan kemanfaatan kepada masyarakat ini benar-benar bisa terealisasi,” ujarnya.
Selanjutnya, Fathul Wahid membawakan materi pemantik diskusi yang berjudul Integritas Akademik dan Kepemimpinan di Era Akal Imitasi (AI). Dalam materi pemantik tersebut, Ia menyayangkan kasus-kasus pelanggaran etika akademik di Indonesia. Contohnya, adalah isu pencabutan 17 guru besar di suatu perguruan tinggi di Banjarmasin seperti yang dilansir dari Radar Banjarmasin dan juga kasus 28 SK Guru Besar yang dibatalkan. “Apa alasannya? Pelanggaran integritas akademik. Tentu saja untuk dunia akademik ini adalah sesuatu yang memalukan. Dosen dan profesor yang seharusnya menjadi penjuru terkait dengan penjagaan pemuliaan integritas akademik justru melacurkan diri dengan melanggarnya,” ungkapnya.
Dalam kuliah umum ini, Fathul Wahid mengajak peserta untuk terlebih dahulu melihat persepsi diri masing-masing dalam melihat kehadiran teknologi digital khususnya akal imitasi yang disingkat “AI”. Ia mengemukakan bahwa pemanfaatan AI dan teknologi digital lainnya akan bermanfaat positif jika sesuai dengan kunci tujuan asal. Sebaliknya, jika teknologi digunakan untuk kecurangan dan hal yang buruk lainnya maka memberikan dampak negatif. “Ketika teknologi itu digunakan untuk mencapai tujuan asal, bisa mempercepat bahkan maka teknologi bisa digunakan. Tetapi ketika teknologi itu justru digunakan untuk membajak tujuannya, maka itu menjadi masalah,” sebutnya.
Oleh karenanya, Fathul mendorong para mahasiswa untuk tidak terlena dengan kemudahan teknologi yang pada akhirnya akan menjerumuskan diri pada kemalasan dan kurangnya kemampuan artikulasi serta kemampuan berpikir kritis. Teknologi tidak hanya cerdas tetapi juga bermanfaat bagi manusia. Teknologi disebut bermanfaat sejauh tindakan-tindakan mereka dapat diharapkan untuk mencapai tujuan kita.
Fathul juga menjelaskan apa yang menjadi landasan bagi tujuan-tujuan kita sebagai manusia yang beriman dan berakal agar sesuai dengan konsep maqashid. Jawabannya, adalah tujuan harus sesuai dengan nilai adagium dan basis dunia akademik seperti nilai-nilai kemanusaan, kejujuran, keadilan dan pemeliharaan nilai-nilai kemanusiaan menjadi “maqasid” atau tujuan dari aktivitas akademik. “Nilai-nilai di dunia itu nilai-nilai kemanusiaan, disitu ada kejujuran, keadilan, kesetaraan, kebermanfaatan. Kita tanyakan ke siapapun termasuk orang jahat pun pasti sama. Karena apa? Pada dasarnya manusia itu ada kesadaran fitrah,” jelasnya.
Ia juga menambahkan meski manusia sedang dalam kesulitan dan hal yang sangat mendesak kejujuran tetap harus dijaga. “Hanya saja kadang ada tekanan dan lainnya maka ia menggadaikan kesadaran fitrah itu. Nah, sehingga disini ketika kita bicara nilai akademik seperti kejujuran maka disini sebetulnya menjaga nilai-nilai kemanusiaan (maqashid) dalam aktivitas akademik. Dan ini menjadi penting dan ditekankan bahwa akademisi boleh salah, tetapi tidak boleh bohong,” tambahnya.
Kuliah umum ini diharapkan dapat memberi semangat bagi mahasiswa program magister dan doktor UII dalam menyelesaikan studi ke depan dengan tetap mengedepankan etika akademik sehingga mampu menghasilkan karya ilmiah akademik yang otentik, dapat dipertanggungjawabkan, dan bermanfaat bagi masyarakat. (AAO/AHR/RS)
PPAr UII Lahirkan 23 Arsitek Baru
Program Studi Profesi Arsitek (PPAr) Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menyelenggarakan Wisuda Pendidikan Profesi Arsitek Angkatan ke-16. Sebanyak 23 arsitek baru berhasil menuntaskan proses pembelajaran selama 1 tahun dengan 17 arsitek berpredikat Cumlaude, 4 arsitek berpredikat sangat memuaskan dan 1 arsitek berpredikat memuaskan secara resmi diambil sumpah pada Sabtu (18/10) di Auditorium Gedung KH. Mohammad Natsir FTSP UII.
Dalam laporan kelulusan, Ketua PPAr UII, Dr. Ar. Yulianto Purwono Prihatmanji, ST., MT., IPM., IAI menyampaikan mahasiswa PPAr UII belajar dengan beragam disiplin ilmu bersama para tenaga ahli dari bidang perancangan dengan kasus nyata hingga pengabdian masyarakat.
“Sehingga manakala mereka telah lulus mampu menerapkan Kode Etik Profesi dan Kaidah Tata Laku Arsitek yang telah mereka dapatkan bersama IAI (Ikatan Arsitek Indonesia -red). Lulusan telah siap bekerja bersama para Arsitek Mentor di biro-biro arsitek yang terkoordinasi oleh IAI di provinsi-provinsi seluruh Indonesia,” ungkap Ketua APTARI periode 2024-2027 ini.
Rektor UII, Fathul Wahid dalam sambutannya berpesan kepada para arsitek baru UII agar senantiasa berkontribusi bagi kemajuan bangsa melalui karya yang bernilai. “Mudah-mudahan PPAr selalu dimudahkan dalam menghasilkan arsitek-arsitek andal untuk Indonesia dan masa depan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Fathul menyampaikan bahwa setidaknya terdapat tiga peran penting arsitek dalam Building Information Modeling (BIM). Pertama, sebagai integrator gagasan, yakni mampu memadukan ide sejak tahap awal hingga hasil akhir agar tidak terjadi monopoli kebebasan desain. Kedua, sebagai penjaga nilai dan narasi ruang, di mana arsitek diharapkan mampu menghadirkan nilai keberlanjutan, keramahan terhadap lansia, hingga harmoni sosial melalui desain yang mengandung nilai kesetaraan dan dapat melintasi perbedaan, termasuk perbedaan agama. Ketiga, arsitek berperan sebagai aktor kolaborasi, karena berada di posisi depan sebagai pendesain yang mengoordinasikan berbagai pihak sehingga semua dapat menikmati hasil kolaborasi melalui BIM.
“Dalam sosiologi organisasi, apa yang kita lakukan di satu titik pasti akan berpengaruh pada titik lain. Karena itu, fungsi-fungsi tersebut perlu dirawat,” tambahnya.
Lebih lanjut, Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Ar. Georgius Budi Yulianto, IAI., AA dalam sambutannya berpesan kepada arsitek baru UII untuk terus berkarya tanpa menunda waktu. Ia mengingatkan, hadirnya kecerdasan buatan (AI) menjadikan arsitek tidak hanya sekadar pengguna, tetapi juga sebagai kurator dan kolaborator dalam setiap proyek yang dikerjakan. “AI, mau tidak mau menjadi bagian dari praktek profesi kita karena itu tidak bisa kita lawan dan sebagai bagian dari perubahan di masa depan,” ungkap Georgius.
Sementara itu, Dewi Larasati, S.T., M.T., Ph.D selaku Sekretaris Jenderal Asosiasi Pendidikan Arsitektur Indonesia (APTARI) berpesan menjadi arsitek profesional saat ini bukan hanya keterampilan menggambar atau kemampuan teknis kontruksi. Ditengah tantangan krisis iklim global, ketimpangan sosial, dan tantangan urbanisme yang kompleks, arsitek dituntut menjadi agen perubahan yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat, merespons konteks lokal, dan tetap berpijak pada etika profesi.
“Menjadi arsitek bukan hanya sebagai karier, melainkan amanah peradaban. Arsitek tidak hanya merancang bangunan tetapi juga mewujudkan nilai menghadirkan ruang hidup yang adil, dan merawat bumi sebagai rumah bersama. Lulusan profesi arsitektur tidak cukup dibekali dengan keterampilan individual, tetapi juga tumbuh dalam ekosistem pembelajaran lintas disiplin, berpijak pada kolaborasi, dan peka terhadap dinamika sosial budaya,” ungkapnya.
Wisuda profesi pendidikan arsitek ini diharapkan tidak hanya meluluskan arsitek-arsitek yang andal dalam keterampilan desain dan konstruksi. Tetapi mampu berperan aktif dalam mewujudkan pembangunan Indonesia yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. (AHR/RS)
UII Sambut Lawatan Wakil Dubes Australia
Universitas Islam Indonesia menerima lawatan dari Wakil Duta besar Australia, Gita Kamath pada Jum’at (17/10) di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII. Dalam kesempatan ini, UII juga menyelenggarakan Kuliah Umum bertajuk “The Relationship between Indonesia and Australia” untuk memperluas wawasan sivitas akademika khususnya mahasiswa mengenai dinamika hubungan bilateral kedua negara.
Rektor UII, Fathul Wahid dalam sambutannya mengatakan hubungan UII dengan Australia telah lama terjalin yang berlandaskan nilai-nilai kepercayaan, kerja sama, dan keunggulan akademik. Seiring berjalannya waktu, UII telah mengembangkan kolaborasi akademik yang kuat dengan berbagai mitra di Australia mulai dari workshop hingga masuk pada kurikulum pembelajaran yang ada di UII.
“Kemitraan antara UII dan Australia mencerminkan keyakinan bersama bahwa pendidikan merupakan bentuk diplomasi yang paling langgeng. Kami sangat berterima kasih kepada Kedutaan Besar Australia di Jakarta atas kepercayaan dan kerja sama yang terus terjalin, dan kami menantikan pengembangan kemitraan ini melalui penelitian bersama, pertukaran, serta inisiatif lain yang memperkuat diplomasi akademik antara kedua negara. Semoga kemitraan ini terus menginspirasi, mencerahkan, dan memberdayakan masa depan Indo-Pasifik yang penuh harapan,” Harap Fathul.
Di hadapan mahasiswa, Gita Kamath menyampaikan rasa bangganya bisa berkunjung ke UII. Ia memandang UII memiliki posisi strategis dalam konteks hubungan Australia-Indonesia yang salah satunya diwujudkan dengan adanya mata kuliah Studi Australia pada Jurusan Hubungan Internasional. Hal ini sangat penting dalam mendorong pemahaman yang lebih baik antara masyarakat kedua negara.
“Kita adalah negara tetangga dan sahabat yang sangat baik. Hubungan antarwarga dan kolaborasi akademik merupakan fondasi penting dalam mempererat persahabatan kedua bangsa,”ucap Gita.
Lawatan Wakil Duta Besar Australia ini menjadi momentum bagi UII dalam memperkuat langkah internasionalisasi, khususnya melalui kerja sama akademik, riset kolaboratif, dan pertukaran mahasiswa dengan berbagai institusi pendidikan tinggi di Australia. (AHR/RS)
Cilacs UII dan British Council Gelar IELTS Info Session & Familiarisation Test
Cilacs Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menghadirkan kegiatan inspiratif bertajuk “IELTS Info Session & Familiarisation Test” dan “Info Session of Study Abroad with LPDP Scholarship Interviewer”. Kegiatan ini terselenggara berkat kerja sama dengan British Council, lembaga resmi penyelenggara tes IELTS internasional.
Acara yang digelar di kampus Cilacs UII, Jl. Demangan Baru No. 24 Yogyakarta pada Rabu (15/10) ini disambut antusias oleh peserta dari berbagai latar belakang, mulai dari siswa SMA, mahasiswa, dosen, akademisi, hingga profesional muda. Mereka hadir dengan satu tujuan yang sama: mempersiapkan diri untuk studi atau karier internasional serta meraih beasiswa LPDP.
Sebagai pembicara utama, Anggara Jatu, LPDP Awardee sekaligus dosen UII, berbagi pengalaman perjuangannya menembus seleksi beasiswa prestisius tersebut. Ia juga mengisahkan perjuangan pribadinya menghadapi tes IELTS hingga akhirnya berhasil meraih skor yang diimpikan dan bisa meraih beasiswa LPDP. Dalam sesi tersebut, Jatu memaparkan berbagai tips dan strategi efektif agar peserta dapat mempersiapkan diri secara maksimal menghadapi tes IELTS.
Selain sesi inspiratif, peserta juga mengikuti IELTS Familiarisation Test yang dipandu oleh Sudharmanto dari Departemen Layanan Tes Cilacs UII. Dalam kesempatan ini, peserta dikenalkan secara langsung dengan IELTS on Computer (IoC) — format tes berbasis komputer yang kini semakin diminati. Peserta juga diajak melakukan tur ke venue resmi IoC di Cilacs UII, yang merupakan satu-satunya tempat di Yogyakarta berlisensi resmi dari British Council untuk pelaksanaan tes tersebut.
Kegiatan ini tidak hanya menambah wawasan, tetapi juga memberikan pengalaman langsung yang bermanfaat bagi calon peserta tes IELTS. Selain gratis, acara ini juga semakin semarak dengan berbagai door prize menarik yang dibagikan kepada peserta.
Melalui kegiatan ini, Cilacs UII menegaskan komitmennya sebagai lembaga bahasa berkelas internasional yang terus mendukung generasi muda Indonesia untuk berani bermimpi besar dan menembus dunia global. (Ank)
Mewujudkan Ketahanan Sumber Daya di Tengah Krisis Global
Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menegaskan komitmennya dalam mendukung penelitian dan pengabdian masyarakat yang berorientasi pada keberlanjutan sumber daya melalui penyelenggaraan Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat bertajuk “Pangan, Air, dan Energi: Mewujudkan Ketahanan Sumber Daya di Tengah Krisis Global”. Kegiatan ini diselenggarakan pada Rabu (15/10), di Auditorium Fakultas Hukum UII.
Seminar ini diikuti oleh 14 peserta dari berbagai perguruan tinggi di delapan provinsi, mulai dari Daerah Istimewa Yogyakarta hingga Sumatera Utara. Para peserta mempresentasikan hasil penelitian dan kegiatan pengabdian masyarakat yang berfokus pada isu-isu strategis di bidang pangan, air, dan energi.
Seminar dibuka secara resmi oleh Prof. Dr. Jaka Nugraha, S.Si., M.Si., Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik dan Riset UII. Sebelumnya, kegiatan diawali dengan laporan panitia oleh Prof. Dr. Eko Siswoyo, S.T., M.Sc., Es., Ph.D., IPU., selaku Direktur Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM) UII.
Dalam sambutannya, Prof. Jaka Nugraha menegaskan bahwa pangan, air, dan energi merupakan kebutuhan dasar yang sangat vital, namun masih kerap menimbulkan berbagai persoalan.“Pangan, air, dan energi ini merupakan kebutuhan dasar, tapi masih sering muncul permasalahan-permasalahan mulai dari manajemen pengelolaan, ketersediaan, maupun juga keberlanjutannya, karena ini sesuatu yang sangat vital,” ujarnya.
Ia menambahkan, kolaborasi lintas sektor menjadi kunci untuk mewujudkan ketahanan sumber daya nasional. “Kunci sukses dari ketahanan sumber daya ini adalah sinergi, terpadu dan terintegrasi dari semua pemangku kepentingan yang ada, yaitu akademisi, peneliti, pengusaha, pemerintah, dan politisi. Semua harus serius menghadapi permasalahan ini. Semoga seminar ini memberi manfaat bagi kita semua, minimal meningkatkan kesadaran terkait hal ini,” tambahnya.
Dalam sesi pleno, Dr. Andes Hamuraby Rozak, Kepala Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), memaparkan materi bertema “Riset dan Inovasi Keanekaragaman Hayati untuk Indonesia Maju.” Ia menekankan pentingnya pengelolaan keanekaragaman hayati sebagai aset strategis bangsa untuk menopang ketahanan pangan, energi, dan lingkungan berkelanjutan.
Sementara itu, Prof. Dr. Ir. Ing. Ir. Widodo Brontowiyono, M.Sc., Profesor bidang Teknik Lingkungan, Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UII, membahas mengenai Krisis Global dalam Ketahanan Pangan, Air, dan Energi. Dalam paparannya, Ia menyoroti berbagai tantangan global yang berpotensi mengancam kemandirian sumber daya nasional serta menekankan perlunya pendekatan ilmiah dan kebijakan terintegrasi dalam menghadapi krisis tersebut.
Sesi pleno dan diskusi dimoderatori oleh Fajri Mulya Iresha, S.T., M.T., Ph.D., Dosen Program Studi Teknik Lingkungan FTSP UII. Melalui kegiatan ini, UII berupaya memperkuat sinergi antara akademisi, peneliti, dan praktisi dalam mencari solusi inovatif terhadap tantangan ketahanan sumber daya nasional di tengah krisis global, sekaligus mendorong implementasi hasil riset agar berdampak langsung bagi masyarakat. (ELKN/AHR/RS)