Direktorat Pengembangan Karier dan Alumni (DPKA) Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menggelar Career Seminar pada Sabtu (17/05) dengan mengangkat tema “Redefining Career for Impact: From Passion to Contribution” di Ruang Auditorium Lt. 5 Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) UII. Para peserta yang hadir dalam acara tersebut mendapatkan berbagai pengetahuan berharga dari dua narasumber, Khalifah Nur Ridayanti, S.T (CSR Sustainability PT Noovoleum Indonesia) dan Rafa Jafar (Founder dan CEO eWasteRJ). Kedua narasumber memiliki antusiasme dan profesionalitas dalam upaya menjaga keberlangsungan lingkungan.

Allan Fatchan Gani Wardana, S.H., M.H. selaku Direktur Direktorat Pengembangan Karier dan Alumni (DPKA) UII secara resmi membuka dan memuji penyelenggaraan acara Career Seminar yang kini mengangkat tema kehijauan yang unik dan menarik. Tema keberlangsungan lingkungan yang diangkat Career Seminar kali ini dihubungkan dengan materi peluang karir adalah perpaduan yang kreatif untuk menunjukkan bahwa bekerja tidak hanya soal mencari nafkah, namun juga makna bagi sekitarnya.

Penyampaian materi pertama diawali oleh Khalifah Nur Ridayanti S.T yang juga merupakan alumni Prodi Teknik Kimia UII pada Career Seminar tersebut dan dibersamai oleh Almazya Ayesha selaku moderator.

Khalifah menceritakan kilas baliknya saat masih berkuliah ketika ia beserta teman-temannya mencetuskan pendirian Society of Renewable Energy (SRE) di UII. Berdirinya SRE di UII berawal dari informasi-informasi yang Khalifah dapatkan ketika membangun relasi dengan orang-orang yang memiliki minat yang sesuai dalam berbagai kegiatan yang dilakukannya. Dari sana Khalifah memiliki tekad dan kemauan yang kuat untuk berkontribusi lebih terhadap lingkungan dengan mendirikan SRE. Khalifah menekankan bahwa relasi yang baik dan kemauan yang kuat akan memberikan kesuksesan.

Khalifah menerangkan bahwa masih banyak orang menganggap bahwa bekerja itu hanya untuk sekadar mencari uang. Menurutnya, bekerja tidak hanya soal mencari nafkah, namun juga bagaimana memberikan makna bagi sekitarnya.

Selain itu, Khalifah juga menegaskan berbagai kecerdasan sosial akan memberikan nilai lebih dalam karir, seperti kemampuan public speaking dan komunikasi. “Tidak hanya sekadar bisa berbicara di depan orang lain. Namun, bagaimana cara kita bertukar pikiran dengan orang lain, menjaga hubungan baik itu sangat penting dalam dunia kerja,” terangnya.

Ia juga menambahkan bahwa potensi profesi yang memberikan kontribusi bagi keberlangsungan lingkungan tidak hanya dimiliki lulusan teknik kimia maupun lingkungan. Seluruh bidang ilmu memiliki kontribusi masing-masing dalam penjagaan lingkungan baik itu hukum, ekonomi, komunikasi, dan lainnya.

Kolaborasi adalah hal yang sangat penting bagi lingkungan kerja saat ini, sehingga kemampuan membangun relasi sangat dibutuhkan. “Dimanapun kita berpijak, berkomunikasi kepada siapapun dengan baik sangat penting karena bisa saja seseorang tersebut bisa membantu kita dan menjadi rekan kerja kita kedepannya,” sebut Khalifah.

Penyampaian materi selanjutnya dijelaskan oleh Rafa Jafar. Aktivis lingkungan dan pengusaha muda yang juga merupakan mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) ini membagikan insight yang melatarbelakangi dirinya mendirikan eWasteRJ.

Awalnya, ia selalu memikirkan kemana setiap barang elektronik yang sudah tidak terpakai dibuang. Menurutnya, membuang sampah elektronik itu menyebabkan pencemaran lingkungan dan racun yang memiliki risiko penyakit jangka panjang bagi manusia yang terpapar. Rafa kemudian menemukan bahwa solusi dari permasalahan sampah elektronik adalah mass recycling dan penerapan ekonomi sirkular.

Solusi-solusi ini ditawarkan oleh EwasteRJ yang bergerak untuk memberikan solusi bagi para stakeholder dalam rantai daur ulang sampah elektronik untuk membuat sistem ekonomi sirkular. “Jadi, sekarang banyak bahan baku dasar sudah tidak perlu ambil dari alam lagi, tapi dari daur ulang sampah. Sebetulnya ada resources dari sampah-sampah ini yang dari kita masih banyak mengabaikannya. Padahal, semua barang elektronik yang dibuang bisa menjadi bahan ekonomi sirkular,” jelasnya.

Dalam acara Career Seminar, Rafa sendiri mengajak para peserta untuk berkontribusi dalam gerakan peduli lingkungan dengan mengumpulkan sampah elektronik lewat EwasteRJ. Di lokasi Career Seminar, EwasteRJ menyediakan tempat pengumpulan sampah elektronik yang menampung mulai dari kabel pengisi daya hingga handphone yang sudah tidak terpakai. (AAU/AHR/RS)

Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menunjukkan komitmennya dalam memperkuat kolaborasi internasional melalui penyelenggaraan program Global Study Overseas Study Trip (GSOST) bersama Temasek Polytechnic Singapore. Acara yang berlangsung pada Kamis, 15 Mei 2025 ini dihelat di  Gedung Kuliah Umum Prof. Sardjito, Kampus Terpadu UII dan dihadiri oleh 105 mahasiswa serta staf pendamping dari Temasek Polytechnic, bersama dosen, staf, dan mahasiswa UII.

Program ini menjadi bagian penting dari agenda internasionalisasi UII yang bertujuan untuk membangun pemahaman lintas budaya, mendorong pembelajaran kolaboratif, serta mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi tantangan global. Melalui sesi akademik, diskusi kelompok, hingga kegiatan sosial dan interaktif, acara ini dirancang sebagai ruang saling belajar yang inklusif dan memperkuat nilai-nilai kewarganegaraan global.

Wakil Rektor Bidang Kemitraan dan Kewirausahaan, Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D., menyampaikan apresiasi atas kunjungan ini dan menyambut hangat seluruh peserta dari Temasek Polytechnic. Ia menegaskan pentingnya kerja sama internasional sebagai jembatan menuju pengembangan akademik dan penguatan karakter mahasiswa.
“We believe that partnerships like this are not only about academic exchange but also about building a better understanding of the world we live in,” ujar Wiryono. “It is our hope that through this visit, all of you will experience the richness of Indonesian culture and the warmth of our community.”

Sambutan dari pihak Temasek Polytechnic disampaikan oleh perwakilan rombongan, Mr. Denesh Sreedharan, yang mengungkapkan rasa terima kasih atas penerimaan hangat dari keluarga besar UII. Ia menyatakan bahwa pengalaman belajar lintas negara ini menjadi peluang berharga bagi mahasiswa untuk memperluas wawasan dan menjalin relasi global.
“It is always an enlightening experience to step out of our own environments and learn from others. UII has given us not only academic insights but also heartfelt hospitality,” ucap Denesh. “We are grateful for this opportunity to share and grow together.”

Sesi materi pertama dibawakan oleh Rina Desitarahmi, S.Pd., M.Hum., dengan topik Understanding Culture and Identity. Dalam pemaparannya, Rina mengajak peserta untuk mengenal budaya Indonesia, khususnya Yogyakarta, melalui tradisi seperti sinoman dan salim, serta pentingnya menghargai keberagaman. Suasana cair dan interaktif semakin terasa saat sesi permainan budaya antara Indonesia dan Singapura digelar.

“The most important thing when it comes to cultural differences between places is to understand and respect them, as this helps strengthen the bonds of friendship and unity among us,” kata Rina, menutup materinya. “Embracing diversity allows us to learn from each other and build a more inclusive and harmonious community.”

Pembicara kedua, Mukhammad Andri Setiawan, Ph.D., membawakan topik Managing Digital Life for Well-Being. Ia mengungkapkan kekhawatiran atas waktu berlebihan yang dihabiskan remaja di depan layar, khususnya media sosial, dan dampaknya terhadap kesehatan mental dan fisik.

“Without clear boundaries, excessive use of smartphones—especially social media—can harm our physical and mental well-being, despite the fact that technology, when used wisely, offers valuable opportunities for growth and learning,”ungkap Andri. Ia mengakhiri dengan pernyataan yang menjadi refleksi bersama: “Technology should improve your life, not become your life.”

Setelah pemaparan materi, peserta dibagi dalam sepuluh kelompok untuk membuat poster bertema penggunaan media sosial yang cerdas, bijak, dan berempati. Poster-poster tersebut dipresentasikan satu per satu, membuka ruang diskusi dan refleksi tentang dampak teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Dari hasil penilaian, tiga kelompok terbaik mendapatkan penghargaan sebagai bentuk apresiasi kreativitas dan kesadaran mereka akan pentingnya menjaga ruang digital yang sehat.

Kegiatan ini tidak hanya menjadi ajang kompetisi, tetapi juga sarana edukasi yang menguatkan kesadaran kolektif tentang pengelolaan digital yang sehat di era teknologi. Melalui pendekatan kreatif dan kolaboratif, program GSOST berhasil mempererat hubungan lintas budaya antara mahasiswa UII dan Temasek Polytechnic.

Harapannya, pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh selama program ini dapat mendorong mahasiswa untuk terus membuka wawasan, menghargai keberagaman, dan memanfaatkan teknologi secara bijak. Dengan demikian, UII semakin konsisten membentuk generasi yang kompeten, berwawasan global, dan siap menghadapi tantangan masa depan. (IMK/AHR/RS)

Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menambah cacah profesor. Kali ini jabatan akademik tertinggi diraih oleh Dosen Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyah) Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) yaitu Dr. Drs. Yusdani, M.Ag pada Bidang Ilmu Hukum Perdata Islam. Sehingga, sampai saat ini UII telah memiliki 55 guru besar yang 49 diantaranya masih aktif di segala macam bidang keilmuan.

Prosesi serah terima Surat Keputusan (SK) Kenaikan Jabatan Akademik Profesor secara resmi diserahkan pada Kamis (15/05) di Gedung Kuliah Umum, Prof. Sardjito, Kampus Terpadu UII oleh Koordinator Kopertais Wilayah III Daerah Istimewa Yogyakarta, Prof. Noorhaidi Hasan, S.Ag., M.A., M.Phil., Ph.D kepada kepada Rektor UII, Fathul Wahid dan kemudian diserahkan kepada Dr. Drs. Yusdani, M.Ag selaku guru besar baru UII.

Rektor UII, Fathul Wahid dalam sambutannya menyampaikan rasa syukurnya atas bertambahnya guru besar di UII. Fathul berharap capaian guru besar ini bisa  membuka banyak pintu kebaikan di masa mendatang, tidak hanya bagi yang bersangkutan, tetapi juga untuk UII, dan lebih penting lagi untuk masyarakat.

Selain itu, Fathul Wahid berpesan khususnya kepada ilmuwan studi Islam dengan bermacam cabang keilmuan perlu untuk melengkapi perspektifnya dengan teori-teori sosial yang dilandasi dengan beberapa gagasan penting seperti memahami konteks sosial dan budaya secara mendalam.

“Ilmu sosial membantu ilmuwan studi Islam untuk memahami praktik keagamaan, tradisi, dan pandangan umat muslim dalam konteks sosial dan budaya tertentu. Kedua, ilmu sosial mampu menjelaskan dinamika perubahan dalam masyarakat muslim. Ketiga, mampu memperkuat analisis tentang identitas dan konflik sosial. Kemudian, mampu memperkuat analisis tentang identitas dan konflik sosial,”

Kemudian,  ditambahkan lagi oleh Fathul Wahid, studi Islam yang mampu melengkapi perspektifnya dengan teori-teori sosial bisa menghindari reduksionisme dan orientasi teks semata sehingga menjadi lebih multidimensional, mengurangi risiko reduksionisme, dan memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang kenyataan umat muslim. Selain itu, mampu meningkatkan relevansi dan hubungannya dengan isu-isu kontemporer.

Di sisi lain, Yusdani dalam sesi wawancara mengatakan UII banyak memberikan dukungan dalam pengembangan akademik dan riset khususnya terkait pengembangan karier dosen. Ditekankan lagi oleh Profesor Bidang Ilmu Hukum Perdata Islam ini bahwa tantangan dalam mewujudkan cita-cita UII untuk menjadi Research University harus diwujudkan yang Ia contohkan dalam bidang keilmuannya.

“Isu-isu politik Islam, baik di tingkat nasional maupun global, saat ini memerlukan riset yang bersifat strategis, sebagai contoh SDGs itu sangat luar biasa, tetapi cara berpikir keilmuan politik Islam saya kira tidak bisa hanya dengan normatif. Disini barangkali titik temunya seperti yang digagas bahwa studi keislaman sekarang itu memang harus menyentuh persoalan yang betul-betul dihadapi manusia masa kini. Setiap isu dalam SDGs tentunya harus dicari jawabannya dari perspektif politik Islam,” ungkapnya.

Lebih dari itu, Yusdani juga menekankan pentingnya budaya riset dan optimalisasi peran pusat-pusat studi di lingkungan UII. Menurutnya, riset yang dilakukan tidak boleh hanya berorientasi pada proyek semata, tetapi harus berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan.

“Saya kira, riset harus dihidupkan bersama dengan pusat-pusat studi. Selain itu, para profesor juga jangan melupakan pentingnya menulis. Tantangan kita saat ini adalah kecenderungan terjebak dalam riset proyek, bukan riset keilmuan,” ujarnya.

Ia juga mendorong agar profesor aktif menjalin kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi, lembaga riset, dan memperkuat publikasi ilmiah. (AHR/RS)

Pertama-tama, saya mengucapkan selamat atas capaian akademik tertinggi, yaitu jabatan profesor, yang baru saja diraih oleh Dr. Drs. Yusdani, M.Ag, dalam bidang Hukum Perdata Islam. Saya yakin, pencapaian ini merupakan hasil dari ketekunan panjang dalam dunia akademik—sebuah proses yang memerlukan kesabaran, konsistensi, dan kerja keras yang luar biasa.

Semoga capaian ini tidak hanya membawa berkah dan kebaikan bagi Prof. Yusdani pribadi, tetapi juga bagi Universitas Islam Indonesia, dan yang lebih penting, bagi masyarakat luas yang menjadi tujuan dari semua ikhtiar keilmuan kita.

Saya termasuk orang yang sangat bergembira saat mendengar kabar keluarnya surat keputusan profesor untuk Pak Yusdani. Salah satu alasannya sederhana, tapi sangat penting: keberlanjutan Program Studi Doktor Hukum Islam yang memang mensyaratkan kehadiran dua profesor. Dengan Prof. Amir Muallim yang telah purnatugas, kehadiran Prof. Yusdani melengkapi kembali komposisi tersebut. Kini, Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII) memiliki dua profesor aktif: Prof. Tamyiz Mukharram dan Prof. Yusdani.

Jika kita melihat secara lebih luas, sampai hari ini UII telah melahirkan 55 profesor, 49 di antaranya masih aktif. Dari 834 dosen UII, 286 telah menyelesaikan pendidikan doktoral, dan 118 telah menyandang jabatan Lektor Kepala. Ini artinya, kita memiliki barisan calon profesor masa depan yang cukup menjanjikan, bahkan 76 di antaranya sudah memenuhi syarat untuk diajukan ke jabatan tertinggi.

 

Pendekatan multidisiplin

Sekitar 19 tahun yang lalu, pada tahun 2006, saya mengikuti Rapat Kerja UII di Grand Wahid Hotel, Salatiga. Saat itu, Allahuyarham Prof. Zaini Dahlan—mantan Rektor UII dan UIN Sunan Kalijaga—menyampaikan gagasan yang hingga kini masih lekat dalam ingatan saya.

Pak Zaini mengajak para dosen Fakultas Ilmu Agama Islam untuk melengkapi perspektif keilmuannya dengan pendekatan dari disiplin lain, seperti sosiologi dan ilmu politik. Gagasan ini disampaikan dengan sangat singkat, tapi sarat makna. Ia terasa maju pada zamannya, apalagi ketika rezim akademik saat itu sangat menekankan linieritas disiplin.

Yang menarik, saya tidak ingat ada diskusi atau tanggapan terhadap gagasan tersebut di forum itu. Mungkin karena dianggap terlalu jauh dari kebiasaan saat itu, atau mungkin karena kita belum siap membuka ruang lintas disiplin dalam studi Islam.

Kini, hampir dua dekade kemudian, saya merasa inilah momen yang tepat untuk menghadirkan kembali gagasan Pak Zaini. Tidak hanya sebagai bentuk penghormatan atas pemikiran beliau, tetapi juga sebagai ikhtiar untuk terus menyegarkan arah pengembangan studi Islam.

Izinkan saya menafsirkan ulang gagasan “beragam ilmu lain” itu sebagai ajakan untuk melibatkan teori-teori sosial dalam studi Islam. Gagasan ini bukan hal baru di beberapa kampus Islam lain, tapi saya merasa penting untuk terus digaungkan, termasuk di lingkungan UII.

 

Beragam alasan

Sebelum melanjutkan. Diskusi ini bisa jadi tidak atau kurang relevan di konteks perguruan tinggi lain, yang sudah lama menghadirkan teori sosial dalam studi Islam.

Baik. Kenapa teori sosial? Saya ingin mengajukan lima alasan pokok:

Pertama, teori sosial membantu kita memahami praktik keagamaan umat Islam dalam konteks sosial dan budaya tempat mereka hidup. Teks keagamaan tidak hidup di ruang hampa. Ia ditafsirkan, dihayati, dan diamalkan dalam kerangka nilai, sejarah, dan norma masyarakat. Tanpa pemahaman sosial, studi keagamaan bisa kehilangan kedalaman.

Kedua, teori sosial memberi alat untuk menjelaskan dinamika perubahan dalam masyarakat muslim. Globalisasi, urbanisasi, hingga digitalisasi telah mengubah banyak hal dalam cara umat Islam memaknai dan menjalankan agamanya. Studi seperti yang dilakukan Bowen (2012), misalnya, menunjukkan bahwa praktik keislaman sangat kontekstual dan beragam. Sayangnya, keragaman ini sering kali tidak disadari, sehingga Islam sering direduksi menjadi satu bentuk saja—yang pada gilirannya menimbulkan kesalahpahaman, bahkan stigma.

Ketiga, teori sosial penting untuk memahami identitas dan konflik sosial yang melibatkan komunitas muslim. Dari konflik internal hingga diskriminasi di berbagai negara, semuanya tidak bisa dilepaskan dari persoalan kekuasaan, simbol, dan konstruksi sosial. Pengalaman saya mengikuti program Islam and Interfaith Dialogue di Jerman pekan lalu menunjukkan betapa kompleksnya isu integrasi sosial imigran muslim, bahkan bagi mereka yang sudah generasi kedua dan ketiga. Tanpa kacamata sosiologis, kita akan kesulitan memetakan masalah maupun merumuskan solusi (Cesari, 2013).

Keempat, penggunaan teori sosial membantu kita menghindari reduksionisme—khususnya yang terlalu menekankan teks dan melupakan konteks. Studi Islam yang sehat semestinya tidak hanya berbicara tentang “apa yang tertulis”, tetapi juga “bagaimana ia dipahami dan dijalankan dalam kehidupan nyata.” Ambil contoh dalam ekonomi Islam: gagasan distribusi yang adil tidak hanya bisa dijelaskan lewat dalil, tetapi juga lewat analisis ekonomi makro (Stiglitz, 2015) dan psikologi perilaku (Agil, 2007).

Kelima, teori sosial membuat studi Islam lebih relevan terhadap isu-isu kontemporer: hak asasi manusia, keadilan sosial, demokrasi, gender, dan lain-lain. Dunia terus berubah, dan agama ditantang untuk tetap hadir sebagai solusi. R20, forum dialog antaragama dunia yang digelar di Indonesia pada 2022 lalu, menjadi pengingat penting bahwa agama, termasuk Islam, dituntut menjawab persoalan global hari ini.

 

Islam Indonesia di kancah global

Bagi saya pribadi, gagasan ini juga penting dari sudut pandang representasi keilmuan. Saat saya menelusuri portal buku digital seperti Perlego.com dengan kata kunci Islam Indonesia, saya menemukan sekitar 142 buku. Namun dari jumlah itu, sangat sedikit yang ditulis oleh akademisi Indonesia. Ini hanya sebuah anekdot, tapi cukup untuk menunjukkan tantangan kita: bagaimana menjadikan kajian Islam Indonesia lebih bergaung di kancah global.

Saya yakin, keterbukaan terhadap teori sosial akan membantu menjembatani celah itu. Ia menjadikan studi Islam lebih kontekstual, lebih komunikatif, dan lebih siap untuk berdialog dengan dunia luar.

Tentu saja, pendekatan ini bukan satu-satunya jalan. Masih banyak pendekatan lain yang bisa ditempuh, termasuk usaha kontekstualisasi ulang terhadap khazanah turats untuk membaca realitas kontemporer. Tapi saya percaya, membuka ruang interaksi dengan ilmu sosial bukanlah bentuk kompromi, melainkan upaya memperkaya. Karena pada dasarnya, agama dan ilmu sosial sama-sama bicara tentang manusia dan masyarakat.

Semoga gagasan ini bisa menjadi bahan renungan dan diskusi yang bermanfaat.

 

Referensi

Bowen, J. R. (2012). A new anthropology of Islam. Cambridge University Press.

Cesari, J. (2013). Why the west fears Islam: An exploration of Muslims in liberal democracies. Palgrave Macmillan.

Stiglitz, J. E. (2015). The great divide: Unequal societies and what we can do about them. WW Norton & Company.

Syed Agil, S. O. (2007): Psychological behavior and economics: the need for new theories and redefinition of basic concepts in Islamic economics. Universiti Tun Abdul Razak E-Journal , 3(1), 76-90.

 

Sambutan Rektor Serah Terima Surat Keputusan Jabatan Akademik Profesor Dr. Drs. Yusdani, M.Ag, Universitas Islam Indonesia, 15 Mei 2025

 

Fathul Wahid

Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026

 

 

IT Centrum Universitas Islam Indonesia (ITC UII) menggelar Community Sharing bertajuk Cyber Security Essential pada Sabtu (10/5) , bertempat di ruang Learning Space 2, Gedung KH. Mas Mansyur Fakultas Teknologi Industri (FTI) Kampus UII. Kegiatan ini dihadiri oleh puluhan mahasiswa dari berbagai jurusan di FTI yang antusias mendalami isu keamanan siber di era digital.

Acara ini menghadirkan narasumber Erika Ramadhani, S.T., M.Eng., dosen Teknik Informatika UII yang memiliki keahlian di bidang keamanan siber. Dalam paparannya, Erika membahas sejumlah praktik penting dalam menjaga keamanan sistem, jaringan, dan data dari ancaman digital.

“Ada tiga poin utama yang kami bahas hari ini, yaitu network defense, ethical hacking, dan digital forensics,” ujar Erika.

Ia menjelaskan bahwa network defense merupakan strategi penting dalam mengamankan aplikasi atau situs web dari potensi serangan siber. “Ada daftar periksa (checklist) yang perlu disiapkan agar sistem aman. Salah satu metode yang digunakan adalah filtering atau penyaringan,” jelasnya.

Poin kedua, ethical hacking, menurutnya adalah proses legal untuk menguji kerentanan sistem sebelum dieksploitasi oleh pihak tidak bertanggung jawab. Sementara itu, poin ketiga, digital forensics berfokus pada identifikasi, pengumpulan, analisis, dan pelaporan bukti digital dari perangkat seperti komputer atau ponsel, yang berguna untuk mengungkap aktivitas digital tertentu.

Staf ITC UII, Dimas Panji Eka Jala Putra, M.Kom., menyampaikan bahwa tujuan diselenggarakannya kegiatan ini adalah untuk meningkatkan keterampilan mahasiswa dalam bidang teknologi informasi secara praktis.

“Kami ingin memberikan pelatihan tambahan di luar pembelajaran di kelas. Harapannya, keterampilan yang didapat bisa menjadi nilai tambah saat terjun ke dunia kerja. Apalagi, peserta juga akan mendapatkan sertifikat sebagai bukti keikutsertaan bagi yang mengikuti pelatihan jangka panjang yang berbayar,” ujarnya.

Salah satu peserta, Aulira Rahmi Anum, mengungkapkan kesan positifnya mengikuti acara ini. “Acara ini benar-benar konseptual dan praktikal. Ada sesi sharing experience juga, jadi nggak membosankan. Banyak wawasan baru yang saya dapat, termasuk kesempatan berdiskusi tentang kasus nyata di dunia siber,” tuturnya.

Ia berharap kegiatan serupa terus dilaksanakan oleh ITC UII. “Semoga ke depannya makin sering diadakan acara positif seperti ini, mungkin bisa ditambah juga dengan tantangan-tantangan menarik yang terbuka untuk umum,” harapnya. (GRR/AHR/RS)

Culture & Learning Center Universitas Islam Indonesia (CLC UII) sukses menggelar CLC Workshop “Business in a Day” pada Sabtu (10/05) dengan mengangkat tema “Bring Your Ideas to Life in Just One Day” di Ruang Auditorium Lt. 5 Fakultas Ilmu Agama Islam UII. Para peserta yang hadir dalam acara tersebut mendapatkan berbagai pengetahuan berharga dari dua narasumber, Anindya Kenyo Larasati (Founder dan CEO Roote Trails) dan Ricky Iskandar (Communication Specialists). 

Kegiatan CLC Workshop “Business in a Day” ini diadakan dalam tiga sesi yaitu, “From Problem to Plan” (membangun ide), “Make it Sell” perencanaan bisnis, dan business pitch.

Anindya Kenyo Larasati mengawali kegiatan workshop dengan menjelaskan bagaimana cara mengembangkan suatu permasalahan menjadi ide program bisnis. Anindya memberikan contoh nyata cara membangun ide dari latar belakang bisnis layanan tourism Roote Trails yang didirikannya.

Menurut Anindya, ia menemukan beberapa permasalahan tourism di Indonesia seperti kurangnya panduan wisata yang responsif dan menyenangkan serta tools yang masih mengabaikan dampak lokal. Roote Trails hadir sebagai solusi untuk permasalahan-permasalahan tersebut memberikan pengalaman yang eksploratif, rewarding, dan peduli dengan dampak lokal dengan program menjaga lingkungan dan promosi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) setempat. 

Anindya juga menegaskan bahwa setelah membuka bisnis kita harus memperhatikan value proposition dan competition advantage agar bisnis terus bertahan. “Jika, kamu tidak punya keunikan maka kamu tidak punya daya tarik dan tidak bisa bertahan dalam persaingan pasar. Dalam bisnis kita harus memiliki resiliensi yang kuat dan memiliki entrepreneurial mindset,” ungkapnya.

Sesi kemudian dilanjutkan dengan idea elaboration dalam kelompok. Para peserta yang hadir dibagi dalam 6 grup, masing-masing mendiskusikan ide berpotensi untuk dikembangkan dan menghasilkan market value yang besar. Kelompok-kelompok tersebut lalu mempresentasikan ide, kelebihan dan tantangannya di depan kedua narasumber. setelah sesi pitching usai, grup dengan ide terbaik mendapatkan hadiah spesial dari CLC UII. 

Acara ini diharapkan dapat menjadi pelecut bagi mahasiswa reguler maupun internasional Universitas Islam Indonesia untuk dapat terus berkarya dan mengeksplorasi ide kreatif yang dibutuhkan oleh pasar. Mahasiswa yang berpotensi dapat ikut serta dalam ajang-ajang bergengsi lain seperti Program kreativitas Mahasiswa (PKM), P2MW, PPK ORMAWA, hingga P2A di skala internasional. (MNDH & AAU/AHR/RS)



Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menunjukkan komitmennya dalam mendorong budaya prestasi di kalangan mahasiswa melalui acara Talkshow Achievement Unlocked: Celebrating Student Champion dan Pengumuman PILMAPRES UII 2025. Acara ini digelar di Auditorium Gedung Moh. Natsir, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) UII, Sabtu (10/5) dengan menghadirkan tokoh-tokoh inspiratif dari lingkungan kampus yang telah membuktikan dedikasi dalam pengembangan diri dan kontribusi akademik.

Direktur Pembinaan Kemahasiswaan (DPK) UII, Arif Fajar Wibisono, S.E., M.Sc., membuka acara dengan menekankan bahwa gelar mahasiswa berprestasi tidak boleh dilihat sebagai akhir dari perjalanan, melainkan sebagai titik tolak untuk membangun konsistensi dalam aktivitas dan kontribusi yang berkelanjutan. Ia menegaskan bahwa prestasi harus dijaga dan dikembangkan seiring berjalannya waktu. “Menjadi mapres bukanlah capaian terakhir, melainkan sebuah pintu yang harus dijaga, bagaimana untuk mempertahankan aktivitas yang tentu menjadi bekal untuk masa depan,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Arif menyampaikan bahwa proses menjadi mahasiswa berprestasi mencakup aspek mental dan ketahanan diri. Menurutnya, penghargaan bukanlah satu-satunya tujuan, melainkan pembentukan karakter yang adaptif dan solutif yang akan bermanfaat di masa depan. “Pilmapres bukan sekedar mengumpulkan karya, bukan sekedar juara, melainkan sebuah proses tangguh, adaptif dan solutif yang dapat kalian bawa hingga nanti lulus kuliah,” tuturnya.

Menguatkan hal tersebut, Faisal Arif Nurgaesang, S.T., M.Sc., selaku Kepala Divisi Pembinaan Prestasi DPK UII, mengajak mahasiswa untuk memahami posisi dan potensi diri sebagai titik awal dalam perjalanan berprestasi. Ia menyampaikan pentingnya proses refleksi diri yang diikuti dengan langkah konkret dalam pengembangan minat dan jejaring.

“Kita harus mengerti posisi kita di mana, maka kita pun tahu harus ke mana. Yang harus dilakukan mahasiswa adalah identifikasi diri, menentukan minat, berkomunitas, berkompetisi dan berprestasi,” jelasnya.

Faisal juga menjelaskan bahwa prestasi mahasiswa tidak semata-mata diukur dari kompetisi atau lomba. Ia memaparkan berbagai program alternatif yang disediakan oleh kampus maupun pemerintah, seperti Abdidaya Ormawa, Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), magang berdampak, hingga program-program dari Kemdikbudristek yang membuka peluang pengembangan diri lintas disiplin.

“Kami menyediakan pendanaan untuk berbagai kegiatan yang dapat diikuti mahasiswa, dan reward pun kami berikan kepada mereka untuk menghargai effort yang dikerahkan,” tegasnya.

Sesi talkshow menjadi semakin menarik dengan hadirnya Nayla Ilma Kauna, Mahasiswa Berprestasi UII 2024 yang telah melanjutkan perjuangannya hingga tingkat wilayah. Nayla membagikan pengalaman pribadinya serta strategi yang membantunya menavigasi dunia prestasi kampus. Ia mengingatkan pentingnya kesiapan mental, perencanaan yang matang, serta lingkungan yang mendukung.

Mark your calendar, know your stage, choose your battlefield and fit yourself in a good environment and consistency,”katanya penuh semangat.

Tak hanya itu, Nayla juga menekankan bahwa prestasi bukan sekadar target yang dicapai lalu ditinggalkan. Menurutnya, menjadi mahasiswa berprestasi adalah soal membentuk pola pikir dan kebiasaan hidup yang terus berkembang.

Let’s turn achievement into our lifestyle. Mapres bukanlah tujuan akhir, namun menjadi gaya hidup yang harus dibiasakan karena pada dasarnya hidup itu harus lebih baik dari hari ke harinya. Success isn’t a destination, it’s a mindset and daily habit,” ujar Nayla, yang disambut antusias oleh para peserta.

Acara kemudian dilanjutkan dengan pengumuman pemenang Pemilihan Mahasiswa Berprestasi (PILMAPRES) UII 2025. Untuk tingkat diploma, Juara 3 diraih oleh Eka Lulu Khairunnisa dari Program Studi Akuntansi Perpajakan Program Sarjana Terapan. Juara 2 oleh Isna Ajeng Saputri dari Program Studi Bisnis Digital Program Sarjana Terapan, dan Juara 1 oleh Fauziana Hidayati dari Program Studi Analis Kimia Program Diploma.

Di tingkat sarjana, Juara 3 disabet oleh Fatimah dari Program Studi Hukum Keluarga Program International, Juara 2 diraih oleh Andre Fairuz Laode Ngkowe dari Program Studi Hukum Program Sarjana, dan Juara 1 diraih oleh Daifan Febri Juan Setia dari Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran.

Talkshow ini tidak hanya menjadi ajang apresiasi, tetapi juga menjadi ruang refleksi bagi seluruh mahasiswa untuk membentuk pola pikir berprestasi yang berkelanjutan. Semangat untuk terus berkembang dan berkontribusi ditegaskan oleh para pembicara sebagai fondasi utama dalam membangun masa depan yang lebih baik melalui prestasi. (IMK/AHR/RS)

Culture and Learning Center (CLC) Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menghadirkan program pengembangan karier bertaraf internasional melalui acara CLC Global Career Workshop, yang berlangsung pada Jumat, (9/5) di Ruang Sidang Datar Gedung Prof. Dr. Sardjito lantai 2, dengan menghadirkan dua pembicara berpengalaman di bidang pengembangan karier global.

Workshop ini bertujuan untuk membekali mahasiswa UII dengan wawasan dan keterampilan penting dalam menghadapi dinamika pasar kerja global. Dalam era kompetisi yang kian ketat, CLC UII berupaya menjadi fasilitator bagi mahasiswa untuk mengenali potensi diri, memahami tren global, serta mempersiapkan dokumen dan personal branding yang relevan untuk dunia profesional.

Dua narasumber utama yang dihadirkan dalam kegiatan ini adalah Rahmat Hafidz Sandria, Strategy and Operations Manager di Brain Juice Collective, Singapore, serta Cynthia Veronica, Senior Business Development Manager di Kinobi. Keduanya membawakan materi yang saling melengkapi mengenai kesiapan menghadapi dunia kerja internasional.

Dalam sesi pertamanya, Rahmat Hafidz Sandria mengangkat topik “Shaping Tomorrow: Skills and Global Market Trends”. Ia menekankan pentingnya memahami diri sendiri sebelum mencoba memahami orang lain. “Pahamilah dirimu sendiri terlebih dahulu sebelum kamu mencoba memahami orang lain, sehingga hal itu akan menuntunmu ke situasi sulit apa pun,” tuturnya dalam bahasa Inggris.

Menurutnya, sikap atau attitude menjadi penentu utama kesuksesan di dunia kerja. “Attitude is behavior, attitude is our habit. If you are so good, so clever, but you are not trainable, not coachable, it will be hard,” ujarnya mengingatkan, bahwa kecerdasan tanpa kerendahan hati untuk terus belajar bisa menjadi hambatan dalam pengembangan karier.

Sementara itu, Cynthia Veronica memaparkan materi bertajuk “Career Toolkit: Mastering CVs, Interviews, and LinkedIn Branding.” Ia menekankan pentingnya personalisasi dalam setiap aspek persiapan karier. “Kata kuncinya bukanlah membuat CV yang bagus, tetapi membuat CV yang relevan. Artinya, satu CV hanya bisa digunakan untuk satu pekerjaan,” jelas Cynthia dalam bahasa Inggris, menunjukkan bahwa efektivitas sebuah CV terletak pada kesesuaiannya dengan posisi yang dilamar.

Lebih lanjut, ia memberikan tips konkret seputar persiapan wawancara kerja dan pemanfaatan LinkedIn. “Prepare these three things: CV, Interview, and also LinkedIn. To any country, I believe these things are very important,” ujarnya. Ia juga menganjurkan peserta untuk melatih wawancara bersama teman dan melakukan riset mendalam mengenai perusahaan yang dilamar.

Antusiasme peserta tampak tinggi sepanjang acara. Salah satunya diungkapkan oleh Alfin Ibnu Hady, mahasiswa Hubungan Internasional UII. “Saya merasa sangat beruntung memiliki kesempatan ini, untuk menghadiri acara yang indah ini dan bertemu langsung dengan pembicara luar biasa yang menyampaikan pengetahuan dan wawasan baru,” ungkapnya dengan semangat.

Kegiatan ini tidak hanya memberikan pemahaman teoritis, tetapi juga membangun kesadaran praktis mahasiswa untuk bersaing secara global. Dengan pendekatan langsung dari para profesional yang sudah berkiprah di dunia internasional, workshop ini menjadi wadah penting bagi mahasiswa UII untuk memetakan langkah karier mereka ke depan.

Melalui penyelenggaraan Global Career Workshop ini, CLC UII kembali membuktikan komitmennya dalam mendukung transformasi mahasiswa menjadi lulusan yang siap bersaing secara global. Kegiatan serupa pun diharapkan terus berlangsung agar semakin banyak mahasiswa yang memperoleh manfaat dan kesiapan menghadapi tantangan dunia profesional lintas negara. (MFPS/AHR/RS)

Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menghadirkan program inspiratif bertajuk CLC Learning Weeks 2025 dengan tema “Freelancing & Internship Success”. Kegiatan yang berlangsung selama dua hari ini (07-08/05), diselenggarakan oleh Culture and Learning Center (CLC) UII dan menghadirkan dua pemateri mahasiswa internasional penerima beasiswa Kemitraan Negara Berkembang (KNB).

Pada hari pertama, acara digelar di Ruang Audio Visual Gedung GBPH Prabuningrat Rektorat UII dan menghadirkan Muhammed Fatty, mahasiswa Program Studi Akuntansi Program Magister asal Gambia. Ia membawakan materi berjudul “Internship Search Strategies” yang membedah berbagai pendekatan strategis dalam mencari program magang, terutama untuk mahasiswa internasional dan lokal yang ingin mempersiapkan diri sejak dini.

Fatty menekankan pentingnya pengalaman magang sebagai nilai tambah dalam persaingan kerja. Magang itu penting. Saat kamu melamar pekerjaan, mereka akan melihat CV kamu,” ungkapnya dalam bahasa Inggris, menekankan bahwa rekam jejak pengalaman praktis menjadi pertimbangan utama dalam seleksi kerja.

 Ia juga menyarankan mahasiswa untuk memiliki tujuan yang jelas sejak awal, dengan berkata, “Tetapkan tujuan Anda dan putuskan keterampilan dan pengalaman apa yang Anda inginkan,” tegasnya

Tak hanya itu, Fatty juga memberi peringatan agar mahasiswa tidak menunda-nunda pencarian magang hingga tenggat waktu semakin dekat. “Don’t wait until the deadline is near. Because it doesn’t work.” Ia juga menambahkan bahwa sebagian besar program magang internasional mensyaratkan wawancara sebagai bagian dari proses seleksi, sehingga persiapan mental dan komunikasi menjadi hal krusial.

Sesi hari kedua dilanjutkan oleh pemateri Usama Ahmad Khan, mahasiswa Program Studi Informatika Program Magister asal Pakistan. Usama membawakan topik “Remote Work & Freelance Opportunities”, membuka wawasan peserta mengenai dunia kerja jarak jauh dan peluang karier sebagai freelancer.

Dalam pemaparannya, Usama menyampaikan berbagai tips manajemen waktu untuk menunjang produktivitas bekerja jarak jauh. Ia menyarankan mahasiswa untuk membuat perencanaan mingguan, menggunakan blok waktu (time blocks), menghindari distraksi, dan mencatat progres pekerjaan secara konsisten. “Tips time management: Plan weekly, use time blocks, eliminate distraction, and track progress,” ujarnya.

Lebih lanjut, Usama juga memberikan motivasi kepada peserta untuk memulai langkah sekecil apapun dalam dunia freelance. “You don’t need to be great to start, but you have to start to be great.” Menurutnya, freelancing bukan sekadar pekerjaan sambilan, melainkan jalur karier yang sah dan memiliki potensi nyata. “Freelancing is real. It’s a legitimate career path with tangible opportunities.

Kedua hari acara ini berlangsung interaktif dan penuh antusiasme dari peserta yang berasal dari berbagai latar belakang program studi. Diskusi dan tanya jawab menjadi salah satu sesi yang paling dinantikan, karena para peserta tidak hanya mendapatkan ilmu teoritis, tetapi juga pengalaman praktis dari pembicara yang telah lebih dulu menapaki jalan tersebut.

Program CLC Learning Weeks ini menjadi bagian dari inisiatif Culture and Learning Center UII dalam mendukung pengembangan soft skill dan kesiapan karier mahasiswa, khususnya dalam menjawab tantangan global saat ini. Melalui sesi ini, mahasiswa didorong untuk lebih proaktif dalam mengejar peluang, baik dalam bentuk magang lokal maupun internasional, maupun dalam meniti karier mandiri di bidang freelance.

Dengan terselenggaranya acara ini, CLC UII berharap mahasiswa semakin siap menghadapi dinamika dunia kerja dan memanfaatkan teknologi untuk membuka peluang karier global tanpa batas. (MFPS/AHR/RS)

Dalam rangka Milad Universitas Islam Indonesia (UII) ke-82, Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) Fakultas Hukum UII mengadakan Expo 2025 yang berlangsung selama tiga hari (06–08/05) di Lobby Fakultas Hukum UII. Expo ini terbuka untuk umum dan menghadirkan berbagai kegiatan, mulai dari talkshow hukum, pameran kegiatan PKBH, bazar buku, hingga donor darah pada hari terakhir.

Salah satu acara utama di hari pertama, Selasa (6/5) adalah talkshow hukum. Direktur PKBH FH UII, Rizky Ramadhan Baried, S.H., M.H. menyampaikan bahwa expo ini bertujuan untuk memperkenalkan unit laboratorium hukum kepada mahasiswa. “Mahasiswa memiliki peranan penting sebagai regenerasi penegak hukum yang tidak hanya profesional, tetapi juga berintegritas. Apalagi beberapa waktu terakhir ini, kita menghadapi tantangan degradasi moral di dunia hukum Indonesia,” ungkap Baried.

Dekan FH UII, Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum., turut menambahkan bahwa selain fokus pada bantuan hukum dan penyuluhan, PKBH saat ini tengah mengembangkan sistem layanan hukum berbasis digital. Sistem informasi konsultasi hukum telah berhasil diselesaikan, dan ke depan harapannya bisa berlanjut hingga ke penanganan perkara dan publikasi penanganannya. “Cita-citanya, sistem ini bisa sampai ke tahap penanganan perkara hingga publikasi perkara yang sudah ditangani PKBH. Tapi kita baru sampai sini, mudah-mudahan tahap berikutnya bisa dikembangkan,” ujarnya.

Pada talkshow kali ini, hadir Dr. H. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., advokat senior sekaligus Ketua Himpunan Advokat Indonesia. Ia menyoroti pentingnya standar etika dalam profesi advokat. Menurutnya, profesi ini bukan semata-mata bisnis, melainkan bagian dari menjaga harkat dan martabat manusia. Ia juga mengingatkan soal pentingnya advokat terus mengasah keterampilan praktis dan pengetahuan hukum yang relevan, terlebih di era perkembangan teknologi dan kecerdasan buatan yang bisa memengaruhi dunia peradilan di masa mendatang.

“Apakah nanti juga akan ada robot yang jadi jaksa atau hakim? Ada kelebihannya, yaitu mereka tidak bisa disogok.” ujarnya disambut tawa.

Ia menambahkan, bahwa keberhasilan seorang advokat tidak diukur dari kekayaan, melainkan dari kemampuannya menjaga kepentingan umum, asas kemanusiaan, dan kepatuhan terhadap hukum.

Pada kesempatan yang sama, PKBH FH UII menghadirkan Dr. Ariyanto, S.H., C.N., M.H., advokat sekaligus Ketua Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia (DPC Peradi) Kota Yogyakarta dan Dosen FH UII. Ia menyoroti pentingnya ekosistem pendidikan advokat yang melibatkan empat komponen utama, yaitu fakultas hukum, organisasi profesi, masyarakat, dan lembaga peradilan. Di FH UII, teori dan praktik dipadukan melalui mata kuliah kemahiran hukum, magang mandiri, magang reguler, hingga program unggulan dari PKBH yaitu Karya Latihan Hukum (KARTIKUM).

Selain itu, Dr. Ariyanto juga menjelaskan bahwa FH UII juga memiliki Program Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang menjadi salah satu program terlama dibanding dengan PKPA lain, yakni hingga 1,5 bulan.

“Selain kurikulum nasional, PKPA di UII kita tambah dengan kurikulum lokal. Tujuannya agar lulusan benar-benar siap praktik di lapangan,” jelasnya. Hingga kini, PKPA UII telah meluluskan 5.325 alumni yang tersebar di seluruh Indonesia, yang berprofesi sebagai advokat, jaksa, hakim, hingga akademisi. (MANF/AHR/RS)