Pusat Studi Perubahan Iklim dan Kebencanaan (PUSPIK) Universitas Islam Indonesia dan Yayasan Generasi Cerdas Iklim (GCI) bersama dengan dukungan pendanaan Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan dari PT. Arthaasia Finance (AAF), menyelenggarakan kegiatan Pendampingan Program Kampung Iklim (PROKLIM) di Kalurahan Banguntapan, Bantul pada Jum’at dan Sabtu (19-20/09). Kegiatan ini melibatkan partisipasi aktif dari perangkat desa, tokoh masyarakat, kader lingkungan, serta kelompok ibu-ibu PKK dari sebelas padukuhan yang ada di Banguntapan.
Dalam sambutannya, Lurah Banguntapan, Basirudin, menyampaikan rasa syukur dan apresiasinya kepada seluruh pihak yang telah berkolaborasi dalam kegiatan ini. Baginya, PROKLIM bukan sekadar program nasional, melainkan sarana nyata bagi desa kami untuk belajar, memperkuat kelembagaan, dan menghidupkan semangat warga agar peduli terhadap lingkungan.
 “Kami sangat mengapresiasi kehadiran tim CSR dari PT. Arthaasia Finance bersama Yayasan Generasi Cerdas Iklim dan PUSPIK UII. Kehadiran kegiatan ini menjadi motivasi bagi kami untuk semakin berbenah dan berproses. Kami berharap langkah kecil ini menjadi awal dari perjalanan panjang menuju Banguntapan sebagai PROKLIM Lestari,” harap Basirudin.
Ikrom Mustofa, Koordinator tim pendamping sekaligus Pendiri Yayasan Generasi Cerdas Iklim dan Dosen Jurusan Teknik Lingkungan UII, menekankan pentingnya menjadikan pendampingan PROKLIM ini sebagai program berkelanjutan.
“Kegiatan ini tidak berhenti hanya pada dua hari pelaksanaan. Program Pendampingan PROKLIM yang kami lakukan bersama mitra akan menjadi bagian dari pengabdian masyarakat yang berkesinambungan. Akademisi, praktisi, dan komunitas harus terus hadir dalam mengawal masyarakat agar tidak hanya memahami konsep, tetapi juga mampu menerapkan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di lingkungannya sendiri. Kami percaya, kolaborasi lintas pihak ini akan memperkuat kapasitas desa-desa dalam menghadapi tantangan perubahan iklim,” jelas Ikrom.
Sementara itu, Tiro Nugroho, General Manager PT. Arthaasia Finance, mengungkapkan kegembiraannya melihat partisipasi warga dan keberhasilan kegiatan yang berlangsung selama dua hari. Menurutnya, CSR perusahaan tidak hanya sebatas bantuan finansial, melainkan juga komitmen untuk membangun masa depan yang lebih baik.
“Kami merasa sangat bangga dapat menjadi bagian dari perjalanan Kalurahan Banguntapan menuju PROKLIM Lestari. Melalui CSR ini, kami ingin menunjukkan bahwa sektor swasta bisa berkontribusi nyata dalam aksi iklim di tingkat komunitas. Melihat antusiasme bapak-ibu dukuh, kader lingkungan, serta ibu-ibu PKK, kami semakin yakin bahwa program ini akan memberikan dampak jangka panjang. Semoga kerjasama ini menjadi titik awal kolaborasi yang berkesinambungan dengan masyarakat dan dunia akademik,” jelasnya.
Dewi Wulandari, Direktur PUSPIK UII, menambahkan bahwa kolaborasi ini sejalan dengan misi perguruan tinggi untuk terlibat dalam pembangunan berkelanjutan. Ia menyatakan, kehadiran tim yang ia pimpin bukan hanya untuk memberikan pengetahuan, tetapi juga untuk belajar dari kearifan lokal yang sudah ada di masyarakat Banguntapan.

“PUSPIK UII melihat bahwa kolaborasi antara dunia akademik, masyarakat, dan korporasi menjadi model penting dalam menjawab tantangan perubahan iklim. Kami berterima kasih kepada PT. Arthaasia Finance dan Yayasan Generasi Cerdas Iklim yang telah membuka ruang kolaborasi ini. Semoga apa yang kita lakukan hari ini akan memberikan manfaat berkelanjutan bagi masyarakat Banguntapan,” tutur Dewi.
Lebih jauh, Ibnu Darmawan, tim pendamping yang juga Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII, menyoroti metode partisipatif yang diterapkan dalam kegiatan ini. Menurutnya, pendekatan yang dilakukan oleh tim PUSPIK UII bukan satu arah, tetapi berbasis partisipasi.
“Para dukuh dan kader yang hadir tidak hanya mendengar paparan, melainkan juga aktif terlibat dalam diskusi kelompok, melakukan self-assessment, dan menyusun ide-ide prioritas mereka sendiri. Dengan cara ini, masyarakat merasa memiliki program PROKLIM, bukan sekadar menjadi objek kegiatan. Proses bersama inilah yang akan membuat hasilnya lebih kuat dan berkelanjutan.”
Sebagai bentuk dukungan nyata, tim juga memberikan bantuan instrumen teknis kepada padukuhan berupa biopori dan komposter ke sebelas padukuhan yang ada di Banguntapan.
“Alat-alat ini sederhana tetapi berdampak besar dalam upaya mitigasi perubahan iklim, terutama dalam pengelolaan sampah organik dan perbaikan kualitas tanah. Kami ingin agar warga bisa langsung mempraktikkan apa yang sudah dipelajari dalam workshop, sehingga hasilnya lebih terasa dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Diah Ayu Prawitasari selaku Ketua Divisi Teknis kegiatan sekaligus Dosen Teknik Lingkungan UII.
Selain dari tim internal, kegiatan ini juga menghadirkan narasumber eksternal yaitu  Sri Wahyuningsih, pendiri Komunitas Banyu Bening yang membagikan pengalaman dan inspirasi tentang pemanenan air hujan sebagai strategi adaptasi.
“Air adalah sumber kehidupan. Melalui pemanenan air hujan, kita tidak hanya menghemat sumber daya, tetapi juga mengajarkan kepada generasi berikutnya pentingnya hidup selaras dengan alam. Saya berharap warga Banguntapan bisa menjadikan pemanenan air hujan sebagai kebiasaan, bukan sekadar proyek. Jika hal ini dilakukan secara konsisten, kita akan memiliki ketahanan air yang kuat di masa depan,” harapnya.
Tidak hanya di lapangan, kegiatan ini juga diperkuat dengan agenda strategis di kampus. Di sela acara, dilakukan kunjungan ke Universitas Islam Indonesia untuk menandatangani implementation agreement (IA) antara PT. Arthaasia Finance, Yayasan GCI, dan PUSPIK UII. Penandatanganan ini menjadi tonggak penting yang mempertegas komitmen semua pihak dalam melanjutkan kerja sama CSR di bidang lingkungan dan iklim.

Awaluddin Nurmiyanto, Ketua Jurusan Teknik Lingkungan UII, menyampaikan bahwa kerja sama ini adalah contoh nyata kolaborasi yang efektif. Ia menegaskan dengan program ini menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) tidak serta merta hanya soal bantuan dana, tetapi juga bagaimana membangun program yang adaptif, partisipatif, dan berkelanjutan.
 “Saya sangat mengapresiasi langkah yang diambil PT. Arthaasia Finance bersama Yayasan Generasi Cerdas Iklim dan PUSPIK UII. Dengan melibatkan akademisi, masyarakat, dan pemerintah lokal, kita tidak hanya menguatkan PROKLIM Banguntapan, tetapi juga memberi contoh model kolaborasi yang bisa direplikasi di daerah lain,” ungkapnya
Kegiatan pendampingan PROKLIM Banguntapan ini menghasilkan sejumlah capaian penting: baseline kesiapan PROKLIM di sebelas padukuhan, Buku Panduan PROKLIM tingkat padukuhan, serta rencana prioritas kegiatan untuk beberapa tahun ke depan. Dengan dukungan alat mitigasi berupa biopori dan komposter, warga diharapkan segera dapat menerapkan praktik adaptasi dan mitigasi yang dipelajari.
Penutupan kegiatan ditandai dengan optimisme bersama bahwa Banguntapan dapat segera naik kelas dari PROKLIM Utama menuju PROKLIM Lestari dan memotivasi padukuhan lainnya untuk mendaftarkan wilayahnya ke sistem PROKLIM. Lebih dari itu, kegiatan ini menjadi bukti nyata bahwa kolaborasi triple-helix yaitu korporasi, akademisi, dan komunitas  mampu mendorong terciptanya aksi nyata menuju pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim. (IM/AHR/RS)
PPK Ormawa Jafana UII Latih Petani Produksi Nitrobacter untuk Efisiensi Pupuk
Prof Mitsuo Melihat Islam Indonesia
Hari ini kita berkumpul dalam sebuah momen yang istimewa: peluncuran dan diskusi buku yang menghimpun karya-karya Prof. Mitsuo Nakamura selama lebih dari setengah abad—dari 1971 hingga 2023—yang menelusuri denyut nadi perkembangan Islam di Indonesia. Buku ini bukan sekadar kumpulan esai, melainkan sebuah lensa panjang yang memungkinkan kita menengok perubahan sosial, kultural, dan keagamaan bangsa ini selama lima dekade terakhir.
Memahami akar gerakan Islam
Menariknya, meskipun tulisan pertama dalam buku ini ditulis pada tahun 1971, cakupannya jauh melampaui rentang waktu tersebut. Prof. Nakamura mengajak kita kembali menelusuri peristiwa-peristiwa penting jauh sebelum itu, termasuk dinamika umat Islam di tahun 1930-an. Dengan demikian, buku ini memberi kita bukan hanya potret kontemporer, tetapi juga pemahaman historis yang mendalam mengenai akar-akar gerakan Islam di Indonesia.
Bagi Universitas Islam Indonesia (UII), buku ini memiliki makna yang istimewa. Salah satu esai penting di dalamnya mengulas Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir—Rektor pertama UII dan tokoh gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Melalui tulisan ini, kita dapat melihat bagaimana gagasan dan perjuangan beliau, baik dalam pendidikan maupun dakwah, menjadi bagian dari arus besar transformasi Islam Indonesia. Irisan ini mengingatkan kita bahwa perjalanan UII bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari ekosistem keilmuan dan gerakan sosial-keagamaan yang turut membentuk wajah bangsa.
Sebagai seorang antropolog yang tekun sekaligus sahabat bagi banyak tokoh Islam Indonesia, Prof. Nakamura telah menjadi saksi perjalanan panjang Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan berbagai ekspresi Islam lainnya, dari masa kolonial hingga era reformasi. Perspektif lintas generasi inilah yang menjadikan buku ini berharga: ia membantu kita melihat bagaimana gagasan, konflik, dan rekonsiliasi terbentuk, serta bagaimana itu semua membentuk wajah Islam Indonesia hari ini.
Mendesain masa depan
Peluncuran buku ini penting bukan hanya untuk mengenang perjalanan, tetapi juga untuk melihat trajektori: ke mana Islam Indonesia akan bergerak ke depan? Bagaimana kita menjaga warisan keterbukaan, moderasi, dan peran sosial-keagamaan yang selama ini menjadi ciri Islam di Indonesia? Buku ini membantu kita mendesain masa depan dengan memahami akar-akar yang membentuk masa kini.
Di tengah dunia yang kian terpolarisasi, kita perlu terus merawat ruang dialog, menjaga integritas akademik, dan menghadirkan riset yang jujur sekaligus kritis. Dengan membaca dan mendiskusikan buku ini, kita diajak untuk belajar dari masa lalu, menguji pemahaman kita terhadap masa kini, dan merancang langkah-langkah yang lebih bijak untuk masa depan.
Para kademisi maupun praktisi dapat menjadikan buku ini sebagai sumber inspirasi dan pijakan dalam membangun masyarakat yang inklusif dan berkeadaban. Semoga diskusi yang akan berlangsung hari ini memperkaya wawasan kita semua.
Sambutan pada acara Peluncuran dan Diskusi Buku Prof. Mitsuo Nakamura: Mengamati Islam Indonesia: 1971–2023, di Universitas Islam Indonesia pada 23 September 2025
Fathul Wahid
Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026
PPK Ormawa Jafana UII Gelar Workshop Pembuatan IMO-1 untuk Penguatan Ketahanan Pangan
Program Penguatan Kapasitas Organisasi Kemahasiswaan (PPK Ormawa) Jafana Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan workshop pembuatan IMO-1 (Indigenous Microorganism) yang dilaksanakan pada Senin (22/09) di Lahan Ketahanan Pangan BUMKal Sambirejo. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkenalkan dan mengaplikasikan teknologi mikroorganisme lokal sebagai pembenah tanah, dimana IMO-1 merupakan tahap awal dari rangkaian proses IMO 1-5 yang berfungsi meningkatkan kandungan dan komposisi tanah untuk mendukung ketahanan pangan berkelanjutan. Workshop diikuti oleh Komunitas Sri Binangun dengan menghadirkan Rais dari BPTPH (Balai Proteksi Tanaman Pertanian Hortikultura) sebagai narasumber.
Kegiatan dilaksanakan dengan metode pelatihan praktik langsung pembuatan IMO-1 , dimana peserta diberikan pembekalan teori tentang konsep IMO dan praktik pengumpulan mikroorganisme lokal dari lingkungan sekitar untuk dijadikan starter kultur. Workshop berhasil dilaksanakan dengan antusiasme tinggi dari seluruh peserta, dimana peserta mampu memahami konsep IMO-1 dan berhasil membuat IMO-1 sebagai starter untuk proses selanjutnya. Material IMO-1 yang dihasilkan siap untuk dikembangkan menjadi IMO 2-5 dalam tahapan berikutnya, dan diharapkan peserta dapat melanjutkan pembelajaran dengan workshop IMO tahap 2-5 secara berkelanjutan agar dapat mengaplikasikan teknologi ini secara optimal di lahan pertanian mereka untuk meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan pertanian. (SAA/AHR/RS)
PUSPIK UII Lakukan Pendampingan PROKLIM di Banguntapan
Pusat Studi Perubahan Iklim dan Kebencanaan (PUSPIK) Universitas Islam Indonesia dan Yayasan Generasi Cerdas Iklim (GCI) bersama dengan dukungan pendanaan Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan dari PT. Arthaasia Finance (AAF), menyelenggarakan kegiatan Pendampingan Program Kampung Iklim (PROKLIM) di Kalurahan Banguntapan, Bantul pada Jum’at dan Sabtu (19-20/09). Kegiatan ini melibatkan partisipasi aktif dari perangkat desa, tokoh masyarakat, kader lingkungan, serta kelompok ibu-ibu PKK dari sebelas padukuhan yang ada di Banguntapan.
Dalam sambutannya, Lurah Banguntapan, Basirudin, menyampaikan rasa syukur dan apresiasinya kepada seluruh pihak yang telah berkolaborasi dalam kegiatan ini. Baginya, PROKLIM bukan sekadar program nasional, melainkan sarana nyata bagi desa kami untuk belajar, memperkuat kelembagaan, dan menghidupkan semangat warga agar peduli terhadap lingkungan.
“Kami sangat mengapresiasi kehadiran tim CSR dari PT. Arthaasia Finance bersama Yayasan Generasi Cerdas Iklim dan PUSPIK UII. Kehadiran kegiatan ini menjadi motivasi bagi kami untuk semakin berbenah dan berproses. Kami berharap langkah kecil ini menjadi awal dari perjalanan panjang menuju Banguntapan sebagai PROKLIM Lestari,” harap Basirudin.
Ikrom Mustofa, Koordinator tim pendamping sekaligus Pendiri Yayasan Generasi Cerdas Iklim dan Dosen Jurusan Teknik Lingkungan UII, menekankan pentingnya menjadikan pendampingan PROKLIM ini sebagai program berkelanjutan.
“Kegiatan ini tidak berhenti hanya pada dua hari pelaksanaan. Program Pendampingan PROKLIM yang kami lakukan bersama mitra akan menjadi bagian dari pengabdian masyarakat yang berkesinambungan. Akademisi, praktisi, dan komunitas harus terus hadir dalam mengawal masyarakat agar tidak hanya memahami konsep, tetapi juga mampu menerapkan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di lingkungannya sendiri. Kami percaya, kolaborasi lintas pihak ini akan memperkuat kapasitas desa-desa dalam menghadapi tantangan perubahan iklim,” jelas Ikrom.
Sementara itu, Tiro Nugroho, General Manager PT. Arthaasia Finance, mengungkapkan kegembiraannya melihat partisipasi warga dan keberhasilan kegiatan yang berlangsung selama dua hari. Menurutnya, CSR perusahaan tidak hanya sebatas bantuan finansial, melainkan juga komitmen untuk membangun masa depan yang lebih baik.
“Kami merasa sangat bangga dapat menjadi bagian dari perjalanan Kalurahan Banguntapan menuju PROKLIM Lestari. Melalui CSR ini, kami ingin menunjukkan bahwa sektor swasta bisa berkontribusi nyata dalam aksi iklim di tingkat komunitas. Melihat antusiasme bapak-ibu dukuh, kader lingkungan, serta ibu-ibu PKK, kami semakin yakin bahwa program ini akan memberikan dampak jangka panjang. Semoga kerjasama ini menjadi titik awal kolaborasi yang berkesinambungan dengan masyarakat dan dunia akademik,” jelasnya.
Dewi Wulandari, Direktur PUSPIK UII, menambahkan bahwa kolaborasi ini sejalan dengan misi perguruan tinggi untuk terlibat dalam pembangunan berkelanjutan. Ia menyatakan, kehadiran tim yang ia pimpin bukan hanya untuk memberikan pengetahuan, tetapi juga untuk belajar dari kearifan lokal yang sudah ada di masyarakat Banguntapan.
“PUSPIK UII melihat bahwa kolaborasi antara dunia akademik, masyarakat, dan korporasi menjadi model penting dalam menjawab tantangan perubahan iklim. Kami berterima kasih kepada PT. Arthaasia Finance dan Yayasan Generasi Cerdas Iklim yang telah membuka ruang kolaborasi ini. Semoga apa yang kita lakukan hari ini akan memberikan manfaat berkelanjutan bagi masyarakat Banguntapan,” tutur Dewi.
Lebih jauh, Ibnu Darmawan, tim pendamping yang juga Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII, menyoroti metode partisipatif yang diterapkan dalam kegiatan ini. Menurutnya, pendekatan yang dilakukan oleh tim PUSPIK UII bukan satu arah, tetapi berbasis partisipasi.
“Para dukuh dan kader yang hadir tidak hanya mendengar paparan, melainkan juga aktif terlibat dalam diskusi kelompok, melakukan self-assessment, dan menyusun ide-ide prioritas mereka sendiri. Dengan cara ini, masyarakat merasa memiliki program PROKLIM, bukan sekadar menjadi objek kegiatan. Proses bersama inilah yang akan membuat hasilnya lebih kuat dan berkelanjutan.”
Sebagai bentuk dukungan nyata, tim juga memberikan bantuan instrumen teknis kepada padukuhan berupa biopori dan komposter ke sebelas padukuhan yang ada di Banguntapan.
“Alat-alat ini sederhana tetapi berdampak besar dalam upaya mitigasi perubahan iklim, terutama dalam pengelolaan sampah organik dan perbaikan kualitas tanah. Kami ingin agar warga bisa langsung mempraktikkan apa yang sudah dipelajari dalam workshop, sehingga hasilnya lebih terasa dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Diah Ayu Prawitasari selaku Ketua Divisi Teknis kegiatan sekaligus Dosen Teknik Lingkungan UII.
Selain dari tim internal, kegiatan ini juga menghadirkan narasumber eksternal yaitu Sri Wahyuningsih, pendiri Komunitas Banyu Bening yang membagikan pengalaman dan inspirasi tentang pemanenan air hujan sebagai strategi adaptasi.
“Air adalah sumber kehidupan. Melalui pemanenan air hujan, kita tidak hanya menghemat sumber daya, tetapi juga mengajarkan kepada generasi berikutnya pentingnya hidup selaras dengan alam. Saya berharap warga Banguntapan bisa menjadikan pemanenan air hujan sebagai kebiasaan, bukan sekadar proyek. Jika hal ini dilakukan secara konsisten, kita akan memiliki ketahanan air yang kuat di masa depan,” harapnya.
Tidak hanya di lapangan, kegiatan ini juga diperkuat dengan agenda strategis di kampus. Di sela acara, dilakukan kunjungan ke Universitas Islam Indonesia untuk menandatangani implementation agreement (IA) antara PT. Arthaasia Finance, Yayasan GCI, dan PUSPIK UII. Penandatanganan ini menjadi tonggak penting yang mempertegas komitmen semua pihak dalam melanjutkan kerja sama CSR di bidang lingkungan dan iklim.
Awaluddin Nurmiyanto, Ketua Jurusan Teknik Lingkungan UII, menyampaikan bahwa kerja sama ini adalah contoh nyata kolaborasi yang efektif. Ia menegaskan dengan program ini menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) tidak serta merta hanya soal bantuan dana, tetapi juga bagaimana membangun program yang adaptif, partisipatif, dan berkelanjutan.
“Saya sangat mengapresiasi langkah yang diambil PT. Arthaasia Finance bersama Yayasan Generasi Cerdas Iklim dan PUSPIK UII. Dengan melibatkan akademisi, masyarakat, dan pemerintah lokal, kita tidak hanya menguatkan PROKLIM Banguntapan, tetapi juga memberi contoh model kolaborasi yang bisa direplikasi di daerah lain,” ungkapnya
Kegiatan pendampingan PROKLIM Banguntapan ini menghasilkan sejumlah capaian penting: baseline kesiapan PROKLIM di sebelas padukuhan, Buku Panduan PROKLIM tingkat padukuhan, serta rencana prioritas kegiatan untuk beberapa tahun ke depan. Dengan dukungan alat mitigasi berupa biopori dan komposter, warga diharapkan segera dapat menerapkan praktik adaptasi dan mitigasi yang dipelajari.
Penutupan kegiatan ditandai dengan optimisme bersama bahwa Banguntapan dapat segera naik kelas dari PROKLIM Utama menuju PROKLIM Lestari dan memotivasi padukuhan lainnya untuk mendaftarkan wilayahnya ke sistem PROKLIM. Lebih dari itu, kegiatan ini menjadi bukti nyata bahwa kolaborasi triple-helix yaitu korporasi, akademisi, dan komunitas mampu mendorong terciptanya aksi nyata menuju pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim. (IM/AHR/RS)
Mahasiswa Kedokteran UII Ikuti International Camp di Kenya
Mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Islam Indonesia (UII) kembali meraih kesempatan tampil di ajang internasional. Tiga mahasiswa, yakni Satria Akbar Putra Asmara (2023), Muhammad Yahya Ayyash (2023), dan Ulil Albab Habibah (2019), mengikuti 23rd International Camp for Medical Students 2025 di Mombasa, Kenya, pada 2–6 Agustus 2025.
Ajang internasional tahunan ini dihelat oleh Federation of Islamic Medical Associations (FIMA) sebagai ruang kolaborasi dan silaturahmi dokter muslim dari seluruh dunia. Mengangkat tema Medicine through Time: An Islamic Perspective, kegiatan ini mencakup kuliah umum yang membawakan berbagai topik hingga bakti sosial ke Distrik Kisauni. Acara ini juga dihadiri oleh 110 delegasi dari berbagai negara meliputi Indonesia, Malaysia, Bangladesh, Arab Saudi, Suriah, Palestina, Turki, Kenya, Unganda, Kongo, dan Afrika Selatan.
Satria, salah satu delegasi FK UII, saat diwawancarai menceritakan kegiatan mereka di Distrik Kisauni. Bersama teman sejawatnya, ia terlibat dalam penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan, termasuk pengukuran antropometri, pengecekan gula darah, serta sosialisasi resusitasi jantung paru (RJP) untuk kondisi darurat.
“Selain itu, ada sesi bertukar budaya dengan menceritakan kebudayaan, keadaan, dan perkembangan organisasi kedokteran muslim di negara masing-masing. Tak lupa, ada medical conference yang menghadirkan salah satu narasumber yaitu dr. Syarif Gazali, seorang ahli bedah plastik dari Inggris. Ia membahas integrasi antara ajaran Islam dengan kedokteran modern serta menyoroti ilmuwan-ilmuwan muslim yang berperan dalam kedokteran modern,” ungkap Satria
Satria juga mengungkapkan pengalaman berkesan selama bakti sosial di Distrik Kisauni, sebuah wilayah kumuh di Mombasa. Pemandangan sumber air yang keruh dan kotor menjadi kenyataan pahit bagi warga disana yang ia dan teman sejawatnya saksikan langsung.
“Kita bener-bener ngelihat kondisi disana, seperti yang digambarkan oleh WHO. Terlepas dari hal itu, kemampuan berbahasa inggris warga disana itu jago banget karena bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa dalam pendidikan sedangkan untuk bahasa sehari-hari baru menggunakan bahasa lokal, Swahili, tapi mereka juga tetap menggunakan bahasa Inggris dalam kesehariannya dalam beraktivitas,” ujar Satria.
Di tengah kegiatan, Satria dan teman-teman sejawatnya pun tak lepas dari tantangan mulai dari kondisi keamanan negara Kenya yang rawan pencurian hingga tindakan rasisme terutama untuk orang berkulit putih.
“Selain itu, tantangannya adalah bahasa inggris dimana kalo di Indonesia kita tidak terlalu terbiasa untuk menggunakan bahasa inggris untuk daily conversation. Tapi di benua Afrika itu menggunakan bahasa inggris khususnya untuk pendidikan. Sebenarnya ini menjadi insight yang unik juga bahwa negara-negara di Afrika itu tidak seburuk yang kita bayangkan. Mereka juga tetap menghormati dan mendengarkan kita saat berbicara agak lambat dalam bahasa Inggris,” jelas Satria.
Terlepas dari tantangan yang dihadapi, Satria dan teman sejawatnya mendapat pelajaran berharga, terutama tentang rasa syukur.
“Pelajaran penting bagi kami adalah banyak bersyukur saat melihat kondisi kawasan kumuh di sana. Di Indonesia kita sering mengeluh, tapi di Kenya, kebutuhan dasar seperti air bersih sangat terbatas dan lingkungannya kumuh. Bahkan hanya Nairobi yang terbilang rapi,” kata Satria.
Tak lupa, Satria juga berpesan kepada teman-teman sejawat mahasiswa kedokteran untuk sesekali terjun ke daerah kumuh karena pengalaman tersebut mampu menambah rasa bersyukur dan menumbuhkan kepedulian kepada sesama manusia. (AHR/RS)
130 Mahasiswa Akuntansi UII Lulus Sertifikasi Auditor Forensik
Program Studi Akuntansi Program Sarjana Universitas Islam Indonesia (UII) berhasil meluluskan 130 mahasiswanya dalam sertifikasi Pencegahan dan Pendeteksian Fraud. Kelulusan secara resmi ditandai dengan penyerahan sertifikat auditor forensik yang digelar pada Kamis (18/9) di Gedung Prof. Dr. Ace Partadiredja, Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UII.
Selain prosesi penyerahan sertifikat, acara juga diisi dengan kuliah pakar yang menghadirkan Wakil Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Sleman, M. Yudhika Elrifi, M.Sc., Ak., CA., BPKP., CPA., CFrA., CFI, sebagai narasumber. Turut hadir dalam acara Dekan Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII, Prof. Johan Arifin, S.E., M.Si., Ph.D. dan Ketua Pusat Studi Auditor Forensik UII, Hendi Yogi Prabowo, S.E., M.For.Accy., Ph.D.
Hendi Yogi Prabowo mengemukakan, untuk membangun nilai – nilai anti-korupsi di Indonesia, Program Studi Akuntansi Program Sarjana UII berkomitmen menjadikan anti-korupsi sebagai salah satu komponen wajib dalam pembelajaran akuntansi di kalangan mahasiswa program sarjana. Salah satu inovasi yang dikembangkan adalah adanya program Certified Forensic Auditor (CFrA) Klaster 1 yang melekat pada pembelajaran Audit Forensik untuk mahasiwa program sarjana akuntansi.
Dijelaskan Hendi Yogi Prabowo, program sertifikasi yang diakui secara nasional ini bekerja sama dengan Lembaga Sertifikasi Profesi Auditor Forensik (LSP- AF) dan merupakan satu – satunya program CFrA Klaster 1 di Indonesia yang dapat diikuti oleh mahasiwa program sarjana akuntansi. Mahasiswa yang telah lulus program ini akan mendapatkan status sebagai Ahli Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan (fraud) yang diakui secara nasional.
Lebih lanjut Hendi Yogi Prabowo menjelaskan, sebagai sebuah penyakit sosial yang serius, korupsi berdampak pada rusaknya kepercayaan publik, penurunan kualitas layanan masyarakat, dan melambatnya pertumbuhan ekonomi, sehingga perlu diberikan perhatian khusus dalam pemberantasannya. Upaya penindakan tegas yang telah dilakukan selama bertahun – tahun terbukti belum cukup dalam menuntaskan permasalahan korupsi di Indonesia. Pembangunan budaya integritas melalui pendidikan, terutama pendidikan anti-korupsi, adalah salah satu solusi terbaik untuk menutup keran korupsi dari hulu.
Menurut Hendi Yogi Prabowo, pentingnya pendidikan anti-korupsi terkait dengan perannya dalam membangun cara pandang yang baik terhadap lingkungan serta pengetahuan dan ketrampilan yang sesuai dengan semangat anti-korupsi di Indonesia. Adanya cara pandang yang baik terhadap lingkungan akan menghasilkan generasi muda yang tidak hanya tahu bahwa korupsi adalah perbuatan yang salah namun juga memahami pentingnya untuk tidak menormalisasi korupsi meskipun berhadapan dengan tekanan sosial atau kepentingan – kepentingan tertentu.
Di sisi lain, lanjut Hendi Yogi Prabowo, tanpa pengetahuan mencukupi tentang mekanisme yang benar terkait dengan proses-proses organisasi yang ada di lingkungan kita, maka akan sulit bagi kita untuk mengenali pola-pola penyimpangan yang dapat mengarah kepada tindak pidana korupsi. Dengan pengetahuan dan kapasitas yang mencukupi untuk mencegah dan mendeteksi korupsi maka akan diharapakan untuk terjadinya perbaikan sistemik yang nyata.
“Pendidikan anti-korupsi yang menyatukan nilai, pengetahuan, dan praktik akan melahirkan generasi penerus bangsa yang bukan hanya menolak, melainkan juga mampu mencegah dan mengungkap korupsi secara proaktif dan efektif,” tandas Hendi Yogi Prabowo.
Hendi Yogi Prabowo menegaskan, dalam upaya pemberantasan korupsi, generasi muda menempati posisi yang sangat strategis. Generasi muda Indonesia saat ini tumbuh sebagai warga digital yang sangat akrab dengan data dan teknologi dan mampu mengolah informasi dengan cepat serta membangun jejaring yang luas. Potensi ini tidak boleh hanya dibiarkan menjadi potensi laten dan perlu diarahkan dengan kurikulum pendidikan yang kontekstual sesuai dengan kebutuhan Masyarakat. Lembaga pendidikan tinggi seperti universitas memiliki peran strategis dalam membentuk sumber daya manusia yang akan memimpin Indonesia di masa depan.
Pada titik inilah menurut Hendi Yogi Prabowo, pendidikan antikorupsi harus bergerak dari ruang seminar insidental ke jalur utama kurikulum. Pendidikan anti-korupsi semestinya bukan hanya sebagai pelengkap kurikulum, melainkan sebagai salah satu fondasi masa depan bangsa. Bila ruang – ruang kuliah dapat menjadi ladang penanaman nilai, pengetahuan, dan keterampilan yang relevan terkait anti-korupsi, maka di masa yang akan datang lingkungan organisasi dan profesi pun akan dipenuhi oleh SDM yang berintegritas dan berkompetensi tinggi.
“Dengan kurikulum pendidikan akuntansi yang memberikan ruang yang lebih luas pada pendidikan anti-korupsi, Prodi Sarjana Akuntansi UII berkomitmen untuk menghasilkan generasi akuntan profesional yang tidak hanya berintegritas tinggi namun juga mempunyai kompetensi anti-korupsi berstandar tinggi. Dengan komitmen ini UII akan selalu menjadi bagian dari gerakan perubahan menuju Indonesia yang maju dan bebas korupsi,” tutur Hendi Yogi Prabowo.
UII dan TII Komitmen Perjuangkan Kebebasan Akademik
Universitas Islam Indonesia.(UII) berkolaborasi dengan The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) mengadakan kegiatan Diseminasi Hasil Riset dengan tajuk, “Menjaga Kebebasan Akademik, Merawat Demokrasi Bangsa” pada Kamis (18/09) di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII. Kegiatan ini menjadi bagian penting dari upaya dan komitmen akademik dalam menanggapi beragam isu tantangan kebebasan akademik dan menyuarakan kepentingan kaum marjinal agar dapat didengar dan diperhitungkan oleh elit politik.
Kegiatan diawali dengan sambutan oleh Rektor UII, Fathul Wahid. Dalam sambutannya beliau menyatakan bahwa akhir-akhir ini kebebasan akademik menghadapi beragam tantangan dalam beberapa dekade terakhir. Salah satunya adalah pergeseran relasi antara negara dengan perguruan tinggi dari kontrol langsung menjadi pengendalian jarak jauh oleh negara. “Ada beragam studi yang bisa kita kutip disini misalnya, bahwa saat ini sebetulnya perguruan tinggi sering dibingkai sebagai barang publik tetapi dalam praktiknya seringkali diberlakukan seperti komoditas,” ungkapnya.
Ia juga menyebutkan beberapa negara di dunia terjadi pergeseran budaya politik yang sering dibingkai dengan istilah pemerintahan yang populisme. Pergeseran budaya politik ini berpengaruh bagi kebebasan akademik. “Bentuknya bisa bermacam-macam, pembatasan topik-topik yang sifatnya kritis dan bahkan pelemahan institusi yang seharusnya menjaga kebebasan akademik. Pertanyaanya, bagaimana di Indonesia?” ujarnya sekaligus memantik sesi diskusi.
Direktur Eksekutif TII, Adinda Tenriangke Muchtar, Ph.D dalam penyampaian hasil risetnya menyatakan bahwa Indonesia masih memiliki banyak permasalahan mengenai kebebasan akademik. Menurutnya, indikator menurunnya integritas perguruan tinggi serta ekspresi akademik dan budaya adalah semakin sempitnya ruang aman untuk berpikir kritis dan menyuarakan pandangan alternatif di lingkungan perguruan tinggi.
TII dalam penelitiannya menganalisis kebebasan akademik di Indonesia menggunakan dua konsep. “Yang pertama untuk mengevaluasi kebijakan terkait perlindungan kebebasan akademik, terkait proses kebijakan tersebut, dan kami menggunakan konsep lain terkait sistem hukum.” Meski Adinda menyatakan secara normatif kebijakan kebebasan akademik sudah cukup lengkap, dalam praktiknya, Indonesia masih lemah dalam budaya hukum. “Jadi, literasi kita dalam budaya hukum mengenai kebebasan akademik juga masih rendah, atau ketika kita menyatakan kebebasan akademik itu penting tapi belum menjadi prioritas. Makanya, tidak heran kalau hari ini kita masih menyaksikan masih maraknya pelanggaran kebebasan akademik termasuk ketika ada teman-teman mahasiswa yang ditangkap, ada yang hilang, dan bentuk-bentuk represi dan pelanggaran lainnya,” ungkapnya. Dalam pemaparan materi TII mencatat 86 kasus pelanggaran kebebasan akademik dalam rentang tahun 2019 hingga Juli 2025 dengan mahasiswa sebagai kelompok paling terdampak dengan jumlah 44 kasus.
Sementara itu, Eko Riyadi, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas Hukum UII dan Direktur Pusat Studi HAM UII dan Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Budaya (FISB) dan Direktur Pusat Studi Agama & Demokrasi UII menambahkan sesi diskusi untuk membahas bagaimana menempatkan kebebasan akademik dalam kebebasan berekspresi dan dalam konteks akademik itu sendiri. “Kebebasan akademik dalam kerangka hak asasi manusia diletakkan menjadi bagian dari hak sipil yang sangat dekat dengan kebebasan berekspresi.” ujar Eko.
Ia juga menambahkan bahwa kritis dalam berpikir sangat penting bagi seorang pembelajar atau mahasiswa. Jika, ada stratifikasi antara mahasiswa dengan dosen terlebih lagi pemerintah maka akan semakin sulit membangun kritisisme dalam lingkungan perguruan tinggi dan juga negara. Prof. Masduki juga menegaskan bahwa tujuan akhir dari kebebasan akademik adalah pemenuhan hak atas pendidikan bagi semua orang.
TII dalam penyampaian materinya memberikan rekomendasi-rekomendasi kebijakan seperti pembentukan Peraturan Khusus Perlindungan Kebebasan Akademik yang melibatkan Kemendikbudristek dan Komnas HAM untuk merumuskan regulasi khusus atau amandemen Permendiktisaintek tentang Kebebasan Akademik dan Penyusunan SOP dan Protokol Perlindungan di Perguruan Tinggi.
Forum diseminasi ditutup secara simbolis dengan penandatangan Pernyataan Komitmen Bersama “Menjaga & Memperjuangkan Kebebasan Akademik” oleh Rektor UII , Fathul Wahid dan Direktur Eksekutif TII, Adinda Tenriangke Muchtar, Ph.D. Terakhir Adinda menegaskan bahwa kebebasan akademik adalah tanggung jawab bersama. “Kebebasan itu bukan sesuaitu yang cuma-cuma, kebebasan itu harus diperjjuangkan bersama karena itu bagian dari hak asasi kita, dan kita sebagai akademisi yang berpikiran maju, bermanfaat, dan relevan untuk sekitar kita maka itu perlu diperjuangkan bersama-sama,” pungkasnya. (AAO/AHR/RS)
Islam, Etika, dan Keadilan Jadi Jawaban untuk Negeri yang Terluka
Ratusan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta memadati Ruang Teatrikal Gedung Kuliah Umum, Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), pada Rabu (17/9). Mereka menghadiri Kajian Mahasiswa Muslim Jilid IV yang digelar Takmir Masjid Al Barkah LLDIKTI Wilayah V bekerja sama dengan UII dengan tema Islam, Etika, dan Keadilan: Solusi Islam untuk Negeri yang Terluka.
Acara ini diikuti oleh lebih dari 180 mahasiswa delegasi dari 92 perguruan tinggi yang berada di bawah koordinasi LLDIKTI Wilayah V. Dalam sambutannya, Prof. Setyabudi menegaskan pentingnya peran mahasiswa sebagai agen perubahan yang tidak hanya unggul dalam bidang akademik, tetapi juga kuat dalam hal akhlak dan moral. Ia menyoroti kondisi sosial mahasiswa di Yogyakarta yang belakangan ini memunculkan keprihatinan. Menurutnya, berbagai persoalan perilaku menyimpang membuat sebagian orang tua merasa khawatir menyekolahkan anak-anaknya di kota pelajar ini.
“Kondisi ini tentu memprihatinkan. Bahkan ada orang tua yang sampai takut menyekolahkan anaknya di Yogyakarta. Harapan kami, melalui kajian ini akan lahir secercah cahaya terang yang bisa menjadi inspirasi bagi mahasiswa untuk kembali meneguhkan nilai-nilai Islam, etika, dan keadilan,” ujar Prof. Setyabudi.
Puncak kegiatan diisi dengan kajian utama yang disampaikan oleh Ustadz Ahmad Sadzali, Lc., M.H. Dalam paparannya, Ia menekankan bahwa Islam menawarkan solusi menyeluruh bagi berbagai permasalahan bangsa. Menurutnya, keadilan dan etika adalah fondasi penting yang harus ditegakkan agar masyarakat dapat keluar dari krisis moral dan sosial.
Ustadz Sadzali juga menyoroti fenomena “matinya kepakaran” di era digital. Ia mengungkapkan keprihatinannya karena masyarakat saat ini cenderung lebih mempercayai pendapat influencer di media sosial dibandingkan para pakar yang memiliki kredibilitas keilmuan. “Ini fenomena yang miris. Popularitas seringkali lebih didengar daripada kompetensi. Jika hal ini terus dibiarkan, maka kebenaran bisa terkaburkan oleh opini yang dangkal dan menyesatkan,” tegasnya.
Menurutnya, mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk tidak ikut terjebak dalam arus informasi yang menyesatkan. Ia mengajak generasi muda kampus untuk menghidupkan kembali budaya menghormati ilmu pengetahuan dan menjadikan para ahli sebagai rujukan utama dalam mencari kebenaran.
Antusiasme peserta terlihat sepanjang acara, banyak mahasiswa menilai topik yang diangkat sangat relevan dengan kondisi bangsa saat ini, terutama di tengah maraknya krisis keadilan sosial, degradasi moral, serta derasnya arus informasi yang tidak terverifikasi.
Melalui kegiatan ini, mahasiswa diharapkan tidak hanya memandang Islam sebatas ajaran spiritual, tetapi juga sebagai panduan etika yang mampu memberikan solusi nyata bagi berbagai problematika bangsa. Dengan demikian, generasi muda dapat berperan aktif mewujudkan negeri yang lebih adil, beradab, dan bermartabat. (ELKN/AHR/RS)
Kebebesan Akademik dan Jihad
Tantangan kebebasan akademik
Dalam beberapa dekade terakhir, kebebasan akademik di perguruan tinggi menghadapi tantangan baru dari tiga arah (Rostan, 2010).
Pertama, relasi antara negara dan perguruan tinggi bergeser dari kontrol langsung menuju penyetiran jarak jauh (distant steering): kita diberi otonomi yang lebih luas, namun disertai tuntutan akuntabilitas dan pengukuran kinerja yang ketat, bahkan pendanaan kini dikaitkan dengan performa.
Studi yang dilakukan oleh Pap (2020) menegaskan bahwa pendidikan tinggi dan sains seseringnya dianggap sebagai barang publik, tapi dalam praktiknya bisa diperlakukan seperti komoditas di bawah tekanan neoliberal. Di Hungaria, pergeseran budaya politik yang lembut mempunyai pengaruh terhadap kebebasan akademik: sensor sendiri (self-censorship), pembatasan topik kritis, atau pelemahan institusi yang seharusnya menjaga kebebasan akademik (Pap, 2020).
Kedua, di dalam perguruan tinggi, peran manajemen administratif semakin dominan. Ini adalah salah satu dampak pola pikir korporatisasi yang merupakan anak kandung neoliberalisme dana pendidikan tinggi. Efeknya, neoliberalisme memicu komersialisasi pendidikan tinggi: universitas dianggap sebagai institusi seperti bisnis, peneliti lebih bergantung pada pendanaan eksternal, dan kinerja serta produktivitas sering kali diukur berdasarkan variabel yang bersifat kuantitatif dan “terlihat” (Pap, 2020).
Profesionalisasi manajemen, atau korporatisasi, memang membantu mengelola mahasiswa dan riset yang kompleks, tetapi juga memperkuat kontrol internal yang dapat mempersempit ruang kekebasan akademik.
Korporatisasi dipercaya telah mendorong dunia akademik memasuki fase transisi yang penuh ketidakpastian ketika identitas dan tujuan perguruan tinggi tengah dipertaruhkan. Pergeseran menuju etos yang berorientasi konsumen mengancam untuk mengubah pendidikan dari sebuah proses pembentukan intelektual menjadi sekadar transaksi layanan (Alibašić et al., 2024).
Ketiga, tekanan dari ekonomi dan masyarakat semakin kuat. Perguruan tinggi diminta mendukung pembangunan, inovasi, dan menyiapkan lulusan siap kerja, sementara akademisi harus membuktikan relevansi riset dan pengajarannya bagi banyak pemangku kepentingan. Semua ini membawa manfaat, tetapi sekaligus menantang kemampuan kita menjaga kebebasan akademik sebagai fondasi kehidupan ilmiah.
Kebebasan akademik dan ekosistem politik
Di saat yang sama, dalam konteks yang lebih luas, temuan riset global selama hampir enam dekade menunjukkan bahwa kebebasan akademik sangat dipengaruhi oleh ekosistem politik. Demokrasi elektoral, parlemen bikameral, sistem pemilu proporsional, dan peradilan yang akuntabel terbukti memperkuat ruang kebebasan ini. Sebaliknya, sistem komunis menjadi hambatan terbesar bagi berkembangnya kebebasan akademik (Berggren & Bjørnskov, 2022).
Temuan ini mengingatkan kita bahwa kebebasan akademik bukan hanya persoalan internal kampus. Ia adalah cermin kesehatan politik suatu bangsa, dan hanya dapat tumbuh subur ketika lingkungan politiknya inklusif, adil, dan memberi ruang bagi kebebasan berpikir.
Perspektif ini sejalan dengan gagasan tanggung jawab intelektual, seperti yang digaungkan oleh Chomsky (Allot et al., 2019). Menurutnya, tanggung jawab utama seorang intelektual adalah mencari dan mengungkap kebenaran—terutama kebenaran yang disembunyikan atau diputarbalikkan oleh pemerintah, korporasi, atau media arus utama. Dalam esainya yang terkenal “The Responsibility of Intellectuals”, Chomsky menegaskan bahwa kewajiban intelektual adalah “to speak the truth and to expose lies.”
Lebih dari itu, intelektual dituntut untuk selalu bersikap kritis terhadap kekuasaan, khususnya kekuasaan negara, karena sering kali negara bertindak untuk melindungi kepentingan elite politik dan ekonomi, bukan kepentingan publik.
Tugas moral intelektual juga mencakup keberanian untuk menyuarakan kepentingan mereka yang tak bersuara, kelompok yang termarjinalkan, dan korban ketidakadilan. Sebab, diam di hadapan ketidakadilan sama artinya dengan menjadi bagian dari sistem yang menindas.
Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya, di antara bentuk jihad yang paling agung adalah menyampaikan perkataan yang adil di hadapan penguasa yang zalim.” (Jami’ At-Tirmidzi 2174)
Referensi
Alibašić, H., L. Atkinson, C., & Pelcher, J. (2024). The liminal state of academic freedom: Navigating corporatization in higher education. Discover education, 3(1), 7.
Berggren, N., & Bjørnskov, C. (2022). Political institutions and academic freedom: evidence from across the world. Public choice, 190(1), 205-228.
Pap, A. L. (2020). Academic freedom: A test and a tool for illiberalism, neoliberalism, and liberal democracy. The Brown Journal of World Affairs, 27(11), 1-22.
Rostan, M. (2010). Challenges to academic freedom: Some empirical evidence. European Review, 18(S1), S71-S88.
Allott, N., Knight, C., Smith, N., & Chomsky, N. (2019). The responsibility of intellectuals: reflections by Noam Chomsky and others after 50 years. UCL Press.
Sambutan pada Diskusi Kebebasan Akademik yang merupakan kerja sama antara Universitas Islam Indonesia dan The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research, pada 18 September 2025
Fathul Wahid
Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026
YBW UII Resmikan Rumah Peradaban dan Luncurkan Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir Center
Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (YBW UII) menyelenggarakan Peresmian Rumah Peradaban Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir dan Peluncuran Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir Center pada Selasa (16/09) di Kelurahan Purbayan, Kotagede, Kota Yogyakarta. Momentum bersejarah ini bertepatan dengan Milad YBW UII, sehingga menjadi penanda penting perjalanan yayasan dalam mengabdi bagi umat, bangsa, dan peradaban.
Acara ini akan dihadiri oleh sejumlah tokoh nasional dan daerah, di antaranya Ketua Umum Pengurus Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia, Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si dan Prof. Dr. Mahfud MD selaku narasumber yang juga Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum (FH) UII, serta Rektor Universitas Islam Indonesia, Fathul Wahid, bersama para tamu undangan lainnya.
Peresmian Rumah Peradaban Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir merupakan ikhtiar merawat memorabilia pahlawan nasional sekaligus pendiri UII tersebut. Meski sederhana, rumah tinggal beliau menjadi saksi lahirnya berbagai gagasan kebaikan yang diwariskan hingga kini. Rumah ini telah direnovasi dengan tetap mempertahankan keasliannya melalui kurasi tim yang terdiri atas arsitek hingga ahli cagar budaya. Upaya ini menjadi bagian dari komitmen berkesinambungan untuk menjaga warisan bagi generasi mendatang.
“Kayu-kayu yang ada ini sebagian original, sebagian dicari ke berbagai tempat di Jawa Tengah agar menyerupai aslinya, sebagian dipertahankan. Sebagian tembok kalau Bapak Ibu lihat ini masih dijaga keasliannya, tidak diapa-apakan bahkan tidak dicat masih ada lumutnya agar memori menjadi lengkap. Karena kami ingat betul betapa sulitnya membangun kembali satu tempat dimana lahir dan pernah besar seorang pejuang,” ungkap Ketua Umum YBW UII ini.
Rumah Peradaban Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir hadir sebagai ruang sejarah, seni, kebudayaan, sekaligus pemasyarakatan nilai-nilai luhur yang beliau wariskan. Kehadirannya diharapkan bukan hanya menjadi pengingat sejarah, tetapi juga wadah lahirnya gagasan baru serta media untuk mengenalkan figur Prof. Kahar kepada masyarakat luas.
“Semoga rumah peradaban menjadi momentum untuk merawat dan meneladan nilai-nilai luhur yang dijalankan dan diajarkan oleh Mbah Kahar, seorang intelektual, pejuang, tokoh yang visinya melampaui zamannya!,” harap Rektor UII, Fathul Wahid yang dituliskan dalam kanvas harapan.
Pada saat yang sama, YBW UII juga meluncurkan Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir Center. Lembaga ini lahir untuk mewarisi peran beliau sebagai ulama, intelektual, dan negarawan yang menanamkan fondasi Islam berpadu dengan keilmuan, kepedulian sosial, keterbukaan pemikiran, serta jejaring lintas bangsa. Semangat tersebut menjadi inspirasi lahirnya pusat ini, yang berkomitmen menjawab tantangan global mulai dari ketimpangan sosial, krisis kemanusiaan, hingga pembangunan berkelanjutan.
Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir Center dirancang sebagai ruang yang menghubungkan kepedulian terhadap persoalan lokal dengan peluang global, sekaligus menghidupkan kembali semangat Prof. Kahar dalam membangun UII sebagai rumah terbuka bagi semua. Lembaga ini akan menjadi pusat unggulan Yayasan Badan Wakaf (YBW) UII dalam mengkoordinasikan pengabdian masyarakat berbasis filantropi Islam yang inovatif dan berkelanjutan sekaligus merelevansikan pemikiran Prof. KH Abdul Kahar Mudzakkir dalam menghadapi berbagai tantangan kontemporer.
Dengan Peresmian Rumah Peradaban Prof. KH Abdul Kahar Mudzakkir dan Peluncuran Prof. KH Abdul Kahar Mudzakkir Center, YBW UII berharap agar hal ini dapat menjadi upaya aktif untuk menyebarluaskan teladan dari para pendahulu dapat lestari hingga generasi mendatang. (SY/AHR/RS)