,

27 Tahun Reformasi Harapan yang Layu dan Suara yang Terpinggirkan

Pusat Studi dan Advokasi Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menyelenggarakan agenda, Srawung Demokrasi, bertepatan dengan peringatan milad lembaga tersebut yang pertama, Selasa (20/5). Dengan tema Refocusing Khittah Reformasi, acara ini menghadirkan tiga tokoh nasional yakni Anies Baswedan, Prof. Connie Rahakundini Bakrie, dan Hamid Basyaib sebagai pembicara utama. Kegiatan berlangsung di Gedung Kuliah Umum Prof. Sardjito Lt.1, Kampus Terpadu UII.

Direktur PSAD UII, Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si., M.A. menyampaikan refleksi perjalanan lembaga dalam mengawal wacana demokrasi di ranah akademik. Disusul oleh sambutan Rektor UII, Fathul Wahid, dan dewan penasehat PSAD, Prof. Dr. H. M. Mahfud MD, yang secara khusus menyoroti urgensi memperkuat kembali semangat reformasi di tengah kecenderungan kemunduran demokrasi.

“Banyak sekali cerita yang tampaknya tidak mudah kita ungkapkan hari ini, karena banyak memang yang ditutupi untuk tidak terbuka di ruang publik. Jadi, momen hari ini, selain memperingati satu tahun PSAD UII, juga menjadi pengingat kita bahwa 27 tahun lalu, ada harapan yang disemai, harapan yang digantungkan, yang hari ini, harapan itu ternyata layu sebelum berkembang,” ungkap Fathul Wahid dalam sambutannya.

Setelah sesi pembukaan, PSAD UII turut meluncurkan dua buku bertema demokrasi. Buku pertama berjudul “Suara Sunyi di Tengah Keriuhan” oleh Fathul Wahid, dan buku kedua “Membumikan Demokrasi & Etika Publik” oleh  Prof. Masduki. Kedua karya ini menjadi bentuk kontribusi akademik PSAD dalam merawat diskursus publik dan menyuarakan suara publik yang mulai terpinggirkan.

Setelahnya sesi diskusi dimulai dengan dimoderatori oleh akademisi Fakultas Hukum UII, Eko Riyadi. Dalam paparannya, Anies Baswedan mengangkat persoalan sentralisasi kekuasaan yang menurutnya mengikis semangat otonomi daerah yang menjadi bagian penting dari agenda reformasi.

“Ada kecenderungan, beberapa tahun terakhir ini terutama sesudah keluarnya Omnibus, di mana kewenangan-kewenangan daerah ditarik kembali ke pemerintah pusat. Ketika itu terjadi, maka kegiatan pemerintahan di daerah menjadi pincang,” tegas Anies.

Menurutnya, praktik ini berbahaya karena mempersempit ruang inovasi dan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Sementara itu, Prof. Connie Rahakundini Bakrie dalam pemaparannya menekankan pentingnya menghidupkan kembali gagasan kenegaraan yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa. Ia menyebut konsep Negara Paripurna ala Sukarno sebagai bentuk ideal negara Indonesia yang berdaulat secara menyeluruh.

“Konsep Negara Paripurna Sukarno ini adalah bentuk Negara yang ideal, karena merdeka bukan hanya secara politik, tapi berdaulat dalam segala hal, ekonomi, budaya, keadilan sosial,” jelasnya.

Lebih lanjut, Connie juga mengkritik dominasi suara buzzer dalam ruang publik yang sering kali membungkam intelektual kampus. “Sekarang, tokoh pemikir kampus dianggap suaranya jauh lebih kecil dibandingkan suara buzzer. Harusnya, mahasiswa atau yang hadir di sini, melihat seorang intelektual dari kampus manapun, begitu suara mereka dihancurkan, kalian bersuara dong. Yang mesti kita lawan itu buzzer yang mencoba membelokkan cara kita berpikir.”

Sesi terakhir disampaikan oleh jurnalis senior dan esais, Hamid Basyaib, yang mengangkat tema kebebasan berekspresi dalam demokrasi. Ia mengkritik sensitivitas berlebihan dari para pejabat publik terhadap satire dan kritik masyarakat. “Pejabat kita itu sukanya ngadu kalo diledek. Demokrasi itu tidak melindungi pejabat negara atau figur publik dari satir atau ledek-ledekan,” ujar Hamid, disambut gelak tawa peserta diskusi. Menurutnya, sebagai figur publik, pejabat memiliki banyak privilese sehingga harus siap menghadapi kritik terbuka.

Sebagai penutup, acara dimeriahkan oleh penampilan Band Rock asal Purbalingga, Sukatani Band ini sebelumnya sempat mencuri perhatian publik karena lagu-lagu mereka yang penuh kritik sosial. Dalam penampilannya, mereka membawakan beberapa lagu seperti, Gelap Gempita dan Alas Wirasaba, yang menggugah kesadaran peserta melalui lirik-lirik tajam dan musik yang enerjik.

Srawung Demokrasi #6 bukan hanya perayaan ulang tahun PSAD UII, namun juga menjadi pengingat kolektif akan pentingnya merawat nilai-nilai reformasi yang kini kian tergerus. Di tengah derasnya arus informasi dan disinformasi, kegiatan ini menjadi tempat intelektual yang mengajak publik kampus untuk kembali bersuara dan berfikir kritis. (MFPS/AHR/RS)