,

Mahasiswa Kedokteran UII Ikuti International Camp di Kenya

Mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Islam Indonesia (UII) kembali meraih kesempatan tampil di ajang internasional. Tiga mahasiswa, yakni Satria Akbar Putra Asmara (2023), Muhammad Yahya Ayyash (2023), dan Ulil Albab Habibah (2019), mengikuti 23rd International Camp for Medical Students 2025 di Mombasa, Kenya, pada 2–6 Agustus 2025.

Ajang internasional tahunan ini dihelat oleh Federation of Islamic Medical Associations (FIMA) sebagai ruang kolaborasi dan silaturahmi dokter muslim dari seluruh dunia. Mengangkat tema Medicine through Time: An Islamic Perspective, kegiatan ini mencakup kuliah umum yang membawakan berbagai topik hingga bakti sosial ke Distrik Kisauni. Acara ini juga dihadiri oleh 110 delegasi dari berbagai negara meliputi Indonesia, Malaysia, Bangladesh, Arab Saudi, Suriah, Palestina, Turki, Kenya, Unganda, Kongo, dan Afrika Selatan.

Satria, salah satu delegasi FK UII, saat diwawancarai menceritakan kegiatan mereka di Distrik Kisauni. Bersama teman sejawatnya, ia terlibat dalam penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan, termasuk pengukuran antropometri, pengecekan gula darah, serta sosialisasi resusitasi jantung paru (RJP) untuk kondisi darurat.

“Selain itu, ada sesi bertukar budaya dengan menceritakan kebudayaan, keadaan, dan perkembangan organisasi kedokteran muslim di negara masing-masing. Tak lupa, ada medical conference yang menghadirkan salah satu narasumber yaitu dr. Syarif Gazali, seorang ahli bedah plastik dari Inggris. Ia membahas integrasi antara ajaran Islam dengan kedokteran modern serta menyoroti ilmuwan-ilmuwan muslim yang berperan dalam kedokteran modern,” ungkap Satria

Satria juga mengungkapkan pengalaman berkesan selama bakti sosial di Distrik Kisauni, sebuah wilayah kumuh di Mombasa. Pemandangan sumber air yang keruh dan kotor menjadi kenyataan pahit bagi warga disana yang ia dan teman sejawatnya saksikan langsung.

“Kita bener-bener ngelihat kondisi disana, seperti yang digambarkan oleh WHO. Terlepas dari hal itu, kemampuan berbahasa inggris warga disana itu  jago banget karena bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa dalam pendidikan sedangkan untuk bahasa sehari-hari baru menggunakan bahasa lokal, Swahili, tapi mereka juga tetap menggunakan bahasa Inggris dalam kesehariannya dalam beraktivitas,” ujar Satria.

Di tengah kegiatan, Satria dan teman-teman sejawatnya pun tak lepas dari tantangan mulai dari kondisi keamanan negara Kenya yang rawan pencurian hingga tindakan rasisme terutama untuk orang berkulit putih.

“Selain itu, tantangannya adalah bahasa inggris dimana kalo di Indonesia kita tidak terlalu terbiasa untuk menggunakan bahasa inggris untuk daily conversation. Tapi di benua Afrika itu menggunakan bahasa inggris khususnya untuk pendidikan. Sebenarnya ini menjadi insight yang unik juga bahwa negara-negara di Afrika itu tidak seburuk yang kita bayangkan. Mereka juga tetap menghormati dan mendengarkan kita saat berbicara agak lambat dalam bahasa Inggris,” jelas Satria.

Terlepas dari tantangan yang dihadapi, Satria dan teman sejawatnya mendapat pelajaran berharga, terutama tentang rasa syukur.

“Pelajaran penting bagi kami adalah banyak bersyukur saat melihat kondisi kawasan kumuh di sana. Di Indonesia kita sering mengeluh, tapi di Kenya, kebutuhan dasar seperti air bersih sangat terbatas dan lingkungannya kumuh. Bahkan hanya Nairobi yang terbilang rapi,” kata Satria.

Tak lupa, Satria juga berpesan kepada teman-teman sejawat mahasiswa kedokteran untuk sesekali terjun ke daerah kumuh karena pengalaman tersebut mampu menambah rasa bersyukur dan menumbuhkan kepedulian kepada sesama manusia. (AHR/RS)