Kebebesan Akademik dan Jihad
Tantangan kebebasan akademik
Dalam beberapa dekade terakhir, kebebasan akademik di perguruan tinggi menghadapi tantangan baru dari tiga arah (Rostan, 2010).
Pertama, relasi antara negara dan perguruan tinggi bergeser dari kontrol langsung menuju penyetiran jarak jauh (distant steering): kita diberi otonomi yang lebih luas, namun disertai tuntutan akuntabilitas dan pengukuran kinerja yang ketat, bahkan pendanaan kini dikaitkan dengan performa.
Studi yang dilakukan oleh Pap (2020) menegaskan bahwa pendidikan tinggi dan sains seseringnya dianggap sebagai barang publik, tapi dalam praktiknya bisa diperlakukan seperti komoditas di bawah tekanan neoliberal. Di Hungaria, pergeseran budaya politik yang lembut mempunyai pengaruh terhadap kebebasan akademik: sensor sendiri (self-censorship), pembatasan topik kritis, atau pelemahan institusi yang seharusnya menjaga kebebasan akademik (Pap, 2020).
Kedua, di dalam perguruan tinggi, peran manajemen administratif semakin dominan. Ini adalah salah satu dampak pola pikir korporatisasi yang merupakan anak kandung neoliberalisme dana pendidikan tinggi. Efeknya, neoliberalisme memicu komersialisasi pendidikan tinggi: universitas dianggap sebagai institusi seperti bisnis, peneliti lebih bergantung pada pendanaan eksternal, dan kinerja serta produktivitas sering kali diukur berdasarkan variabel yang bersifat kuantitatif dan “terlihat” (Pap, 2020).
Profesionalisasi manajemen, atau korporatisasi, memang membantu mengelola mahasiswa dan riset yang kompleks, tetapi juga memperkuat kontrol internal yang dapat mempersempit ruang kekebasan akademik.
Korporatisasi dipercaya telah mendorong dunia akademik memasuki fase transisi yang penuh ketidakpastian ketika identitas dan tujuan perguruan tinggi tengah dipertaruhkan. Pergeseran menuju etos yang berorientasi konsumen mengancam untuk mengubah pendidikan dari sebuah proses pembentukan intelektual menjadi sekadar transaksi layanan (Alibašić et al., 2024).
Ketiga, tekanan dari ekonomi dan masyarakat semakin kuat. Perguruan tinggi diminta mendukung pembangunan, inovasi, dan menyiapkan lulusan siap kerja, sementara akademisi harus membuktikan relevansi riset dan pengajarannya bagi banyak pemangku kepentingan. Semua ini membawa manfaat, tetapi sekaligus menantang kemampuan kita menjaga kebebasan akademik sebagai fondasi kehidupan ilmiah.
Kebebasan akademik dan ekosistem politik
Di saat yang sama, dalam konteks yang lebih luas, temuan riset global selama hampir enam dekade menunjukkan bahwa kebebasan akademik sangat dipengaruhi oleh ekosistem politik. Demokrasi elektoral, parlemen bikameral, sistem pemilu proporsional, dan peradilan yang akuntabel terbukti memperkuat ruang kebebasan ini. Sebaliknya, sistem komunis menjadi hambatan terbesar bagi berkembangnya kebebasan akademik (Berggren & Bjørnskov, 2022).
Temuan ini mengingatkan kita bahwa kebebasan akademik bukan hanya persoalan internal kampus. Ia adalah cermin kesehatan politik suatu bangsa, dan hanya dapat tumbuh subur ketika lingkungan politiknya inklusif, adil, dan memberi ruang bagi kebebasan berpikir.
Perspektif ini sejalan dengan gagasan tanggung jawab intelektual, seperti yang digaungkan oleh Chomsky (Allot et al., 2019). Menurutnya, tanggung jawab utama seorang intelektual adalah mencari dan mengungkap kebenaran—terutama kebenaran yang disembunyikan atau diputarbalikkan oleh pemerintah, korporasi, atau media arus utama. Dalam esainya yang terkenal “The Responsibility of Intellectuals”, Chomsky menegaskan bahwa kewajiban intelektual adalah “to speak the truth and to expose lies.”
Lebih dari itu, intelektual dituntut untuk selalu bersikap kritis terhadap kekuasaan, khususnya kekuasaan negara, karena sering kali negara bertindak untuk melindungi kepentingan elite politik dan ekonomi, bukan kepentingan publik.
Tugas moral intelektual juga mencakup keberanian untuk menyuarakan kepentingan mereka yang tak bersuara, kelompok yang termarjinalkan, dan korban ketidakadilan. Sebab, diam di hadapan ketidakadilan sama artinya dengan menjadi bagian dari sistem yang menindas.
Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya, di antara bentuk jihad yang paling agung adalah menyampaikan perkataan yang adil di hadapan penguasa yang zalim.” (Jami’ At-Tirmidzi 2174)
Referensi
Alibašić, H., L. Atkinson, C., & Pelcher, J. (2024). The liminal state of academic freedom: Navigating corporatization in higher education. Discover education, 3(1), 7.
Berggren, N., & Bjørnskov, C. (2022). Political institutions and academic freedom: evidence from across the world. Public choice, 190(1), 205-228.
Pap, A. L. (2020). Academic freedom: A test and a tool for illiberalism, neoliberalism, and liberal democracy. The Brown Journal of World Affairs, 27(11), 1-22.
Rostan, M. (2010). Challenges to academic freedom: Some empirical evidence. European Review, 18(S1), S71-S88.
Allott, N., Knight, C., Smith, N., & Chomsky, N. (2019). The responsibility of intellectuals: reflections by Noam Chomsky and others after 50 years. UCL Press.
Sambutan pada Diskusi Kebebasan Akademik yang merupakan kerja sama antara Universitas Islam Indonesia dan The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research, pada 18 September 2025
Fathul Wahid
Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026





