,

FBE UII Luncurkan E-Magazine Edisi Pertama: Pandemi dan Krisis Ekonomi

Dekan Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Islam Indonesia (FBE UII) Prof. Dr. Jaka Sriyana, S.E., M.Si., secara resmi meluncurkan majalah elektronik UII-Business & Economics Insight edisi pertama pada Selasa, 15 Desember 2020. Majalah ini akan diterbitkan satu kali dalam tiga bulan oleh FBE UII. Majalah dapat diakses secara online dengan mengunduh di tautan Https://fecon.uii.ac.id/be-insights/. Hal ini sebagai upaya FBE UII untuk menjangkau pembaca yang lebih luas sebagai kanal gagasan yang dapat dinikmati oleh berbagai pemangku kepentingan dalam merespon perkembangan situasi bisnis dan ekonomi terkini.

Dengan adanya majalah ini, FBE UII membuka wadah bagi akademisi, praktisi dan alumni UII untuk dapat menyalurkan gagasannya serta merespon kondisi bisnis dan ekonomi dalam berbagai perspektif mendalam. Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. menitipkan harapannya agar majalah UII-Business & Economics Insight dapat menjadi majalah yang unik dan berpenciri serta menginspirasi pembacanya. “Berpenciri dan menginspirasi akan hilang tanpa kelestarian”. Fathul Wahid berharap majalah ini dapat istiqomah dalam menyerap semangat zaman, bergerak bersama selera zaman agar kehadirannya dapat terus relevan.

UII-Business & Economics Insight edisi pertama mengangkat tema “Pandemi dan Krisis Ekonomi”. Tema ini diangkat untuk merespon kondisi ekonomi yang sedang terimbas akibat pandemi yang masih belum menemukan ujung. Peluncuran majalah tersebut dilaksanakan secara daring dengan mendatangkan dua kontributor dalam UII-Business & Economics Insight edisi pertama. Beliau adalah Suwarsono Muhammad (Ketua Umum Pengurus Yayasan Badan Wakaf UII dan Dosen FBE UII) dan Adib Zaidani Abdurrohman (Alumni FBE UII Angkatan 2002 sekaligus Diplomat/Negosiator Indonesia di Komite 5 PBB, New York, AS).

Dalam artikelnya, Suwarsono Muhammad menghadirkan topik bahasan “Wajah Kembar Pandemi: Bumi Berhenti Berputar?”. Topik tersebut mencoba menampilkan tidak hanya sisi negatif dari pandemi, namun juga sisi positif yang jarang diulik. Pandemi yang sudah berlangsung selama hampir satu tahun telah membuat bumi seolah hampir berhenti berputar. “Saya melihat seburuk apapun pandemi, tapi mereka tetap punya wajah kembar. Jangan pernah lupakan krisis, lihat bahwa jangan-jangan dibalik krisis ada peluang bisnis yang tidak ditengok orang”, ungkapnya saat mengulas artikelnya.

Menurutnya, pandemi merupakan krisis yang berbeda dengan krisis lain. Pasalnya, pandemi melahirkan perdebatan dua mazhab yang berbeda, yaitu pro pemulihan kesehatan dan pro pemulihan ekonomi. Suwarsono Muhammad menilai bahwa kedua hal tersebut harus dijalankan secara beriringan untuk mendapatkan keseimbangan yang ideal. “Ada dua pokok persoalan dalam sisi publik di pandemi ini, dalam sisi teknis dan dalam sisi politik. Sayangnya pada negara berkembang memiliki kecenderungan penanganan krisis dimulai dari memulihkan sisi politiknya terlebih dahulu. Harusnya dimulai dari aspek teknis. Jadi kalau lagi pandemi yang dibereskan adalah kesehatan dan ekonomi dulu, politiknya belakangan,” jelasnya.

Sementara Adib Zaidani Abdurrohman menuangkan gagasannya melalui topik “Diplomasi Ekonomi di Tengah Disrupsi Pandemi”. Artikelnya membahas mengenai dampak pandemi dalam diplomasi ekonomi. Adib Zaidani menuliskannya sesuai dengan apa yang Ia lihat sehari-hari sebagai Diplomat/Negosiator Indonesia di Komite 5 PBB di New York. Salah satu kemajuan yang dihadirkan pandemi adalah teknologi. Hal ini menuntut tak hanya teknologinya, namun orang-orangnya juga harus mampu berkembang dalam teknologi.

Dalam praktiknya, hubungan tatap muka dan hubungan personal yang erat merupakan hal yang sangat krusial dalam diplomasi antar bangsa. Namun pandemi memaksanya untuk berkomunikasi secara virtual dengan bantuan teknologi. “Kenyataannya banyak sekali kedutaan besar yang memiliki IT budget yang sangat rendah. Hal ini berdampak saat kita sedang negosiasi jadi terhambat, koneksi terputus. Tentu ini mengurangi wibawa dari seseorang saat harus berada secara virtual,” jelas Adib Zaidani.

Dirinya pun sudah berkali-kali merasakan rapat penting antar bangsa di PBB yang dilaksanakan secara virtual selama pandemi. Salah satunya Ia memberi contoh pada Preferential Trade Agreement Indonesia-Tunisia. “Pada saat itu Tunisia sangat keras sekali pada tarif-tarif Indonesia. Tapi dengan adanya pandemi, kasarannya mereka lebih banyak menyerahnya dengan Indonesia. Mungkin karena mereka merasa ribet sekali yang negosiasi dengan virtual. Disini terlihat Indonesia dengan kapasitas IT yang lebih baik,” ungkap Adib Zaidani. (VTR/RS)