Fikih Budaya: Berbudaya untuk Kebaikan!

Dengan bekal terjemahan budaya ke dalam bahasa Inggris adalah “culture”, saya mencari kata “culture” ke dalam puluhan terjemahan Alquran yang terangkum dalam quran.com. Tak satupun ayat yang mengandung terjemahan kata “culture” dalam bahasa Inggris. Pencarian berlanjut di puluhan kitab Hadis yang terangkum di sunnah.com. Hasilnya sama. Nihil.

Apakah ini berarti, budaya tidak menjadi kepedulian Islam dan umat Islam? Kita simpan pertanyaan ini, sebelum menyepakati definisi budaya.

Hari ini, kita mengikuti diskusi tentang fikih budaya. Ada dua kata kunci di sini: fikih dan budaya.

Dalam kaidah fikih disebutkan bahwa hukum itu berputar bersama ‘illah (alasan hukum)-nya dalam mewujudkan dan meniadakan hukum (al-hukm yadûru ma’a ‘illatih wujûdan wa ‘adaman). Ibn Qayyim al-Jawziyyah menyatakan bahwa perubahan fatwa dapat terjadi dikarenakan adanya perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan. Jika pendapat ini diikuti, hukum Islam bersifat responsif dan sekaligus adaptif.

Perubahan mengharuskan respons dari hukum Islam. Sebagai contoh, munculnya cyptocurrency, seperti bitcoin, misalnya memantik diskusi fikihnya. Dampak teknologi informasi, dalam beragam interaksi antarmanusia pun perlu dibahas; apakah bisa menikah dengan bantuan konferensi video, misalnya. Atau, sahkah melakukan talak menggunakan aplikasi pesan singkat?

Selain itu, penerapan fikih, seperti dicontohkan Rasulullah, tidaklah selalu saklek, kaku. Sebagai contoh, lihat bagaimana kisah ketika Rasulullah ketika menentukan hukum bagi seorang sahabat miskin yang berhubungan dengan istrinya di siang hari, padahal dia sedang berpuasa.

“Suatu hari kami pernah duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”.

Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”.  

Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111).

Budaya juga bersifat sama. Budaya adalah sistem adaptif (Keesing,1974), yang berkembang sejalan dengan waktu.

Menurut Koentjaraningrat (1979), terdapat tiga wujud kebudayaan: (1) sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma; (2) sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat; (3) sebagai benda-benda hasil karya manusia. Ketiganya bisa kita sebut sebagai artifak yang didefinisikan sebagai “humanly designed, socially objectified vehicles of functional meaning” (Kessing, 1974).

Dalam Kamus Cambridge, entri ‘culture’ mempunyai beberapa nosi. Ada yang artian luas mencakup seluruh hasil kerja intelektual manusia, ada yang spesifik terkait dengan seni. Tapi, nampaknya semuanya sepakat, bahwa budaya tidak bisa dilepaskan dari produk dari manusia.

Saya juga melakukan pencarian daring dengan frasa “fikih budaya” dengan beragam kombinasi, dan tidak banyak literatur yang bisa saya baca. Salah satunya adalah tulisan Prof. Idri (2012) dari UIN Sunan Ampel Surabaya. Beliau menawarkan tiga pendekatan. Pertama, fikih budaya dalam dapat dibingkai dengan pendekatan historis. Hukum Islam yang sudah dipraktikkan umat Islam dalam sejarah, bukan semata-mata sebagai aturan hukum syariat. Kedua, pengembangan fikih budaya perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip bersifat absolut dan universial. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah: prinsip kebebasan dan pertanggungjawaban individu; prinsip kesetaraan derajat manusia di hadapan Tuhan; prinsip keadilan; prinsip tidak merugikan diri sendiri dan orang lain; prinsip menepati janji dan menjunjung tinggi kesepakatan; dan prinsip tolong menolong untuk kebaikan. Ketiga, dalam merumuskan fikih budaya juga perlu menyeimbangkan antara pendekatan tekstual dan kontekstual. Pendekatan tekstual-kontekstual ini dipilih untuk menyeimbangkan pemahaman normatif-doktrinal di satu sisi, dan kontekstualisasi dengan unsur-unsur kesejarahan pada sisi lain.

Karena berbudaya adalah untuk manusia, dan manusia diminta Allah membina kehidupan yang baik (hayah thayyibah), maka demikian juga dalam berbudaya. Berbudaya juga seharusnya untuk kebaikan!

Semoga dapat memantik diskusi lanjutan yang lebih produktif!

Disarikan dari sambutan rektor dalam Diskusi Fikih Budaya pada 18 Februari 2019

 

Referensi

Idri (2012). Pengenalan metodologi filosofis dalam kajian fikih budaya dan sosial. Karsa, 20(2), 165-175

Keesing, R. M. (1974). Theories of culture. Annual review of anthropology, 3(1), 73-97.

Koentjaraningrat, R. M. (1971). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.