Harmoni Kolegial

Lingkungan perguruan tinggi berubah. Asumsi yang di waktu lampau masih valid, saat ini kembali ditantang. Banyak di antaranya yang berguguran karena relevansinya memudar. Namun, ada juga asumsi yang tetap relevan dan bahkan perlu lebih ditekankan.

Apa pun perubahan tersebut, seharusnya tidak menjauhkan perguruan tinggi dari nilai-nilai baik yang dirawatnya. Bisa jadi setiap perguruan tinggi mempunyai basis pijakan nilai yang spesifik dan tidak mudah disatukan. Universitas Islam Indonesia (UII) tidak muncul di ruang hampa dan berangkat dari nilai-nilai yang disemai oleh para pendirinya.

 

Kontestasi nilai-nilai

Sangat mungkin nilai-nilai lama itu dikontestasi dengan nilai-nilai baru. Keduanya tidak selalu kompatibel, dan bisa jadi berseberangan. Jika ini terjadi, perguruan tinggi berada dalam posisi yang tidak mudah. Pilihan ekstremnya adalah mengikuti arus dan mengabaikan nilai-nilai yang diyakini, atau melakukan perlawanan, meskipun kecil, supaya masih bertumbuh dengan tetap memegang nilai-nilai.

Pilihan UII jatuh kepada yang kedua. Tidak semua orang sepakat, dan jujur, termasuk di dalam UII sendiri. Sesuatu yang wajar, asalkan adu argumen akademik sehat yang dikedepankan.

Tentu pilihan itu pun bukan tanda tantangan. Tantangannya adalah bagaimana tetap mendapatkan legitimasi ketika tidak mengikuti logika khalayak. Salah satu pendekatan yang diambil adalah mengedepankan pertumbuhan substantif dengan tetap menjaga nilai-nilai.

Pilihan ini merupakan ikhtiar kembali menegaskan asumsi (baca: nilai-nilai) lama yang masih relevan dan di saat yang sama juga mengadopsi asumsi baru sebagai bentuk respons kreatif. Pilihan ini didasarkan pada prinsip al-muhafadhatu ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik. Salah satu asumsi lama yang ditegaskan adalah kolegialitas, yang dipadukan dengan harmoni.

 

Kolegialitas yang memudar

Jika mempelajari tata kelola perguruan tinggi yang dijalankan, kita tidak mungkin menafikan nilai-nilai yang mendasarinya. Beragam kategorisasi ditemukan dalam literatur, baik klasik maupun modern.

Kita ambil saja salah satunya. Model tata kelola perguruan tinggi ada yang lebih dominan ke arah akademik, di kelompok satu, dan yang lebih dominan ke korporat, di kelompok lainnya. Distingsi ini pada tataran nilai pijakan utama. Dalam praktik, sangat mungkin terlihat ada irisan, meski berangkat dari nilai dominan yang berbeda.

Kelompok yang pertama mengedepankan kolegialitas. Dalam konteks ini, kolektivitas dalam pengambilan keputusan penting menjadi budaya. Iklim demokrasi tumbuh subur. Warga kampus tidak takut untuk menyatakan pendapat dengan argumentasi akademik. Namun di saat yang sama, konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak normal, karena dieliminasi oleh komunitas intelektual yang cenderung menjaga harmoni.

Ada dua model yang mungkin dimasukkan ke dalam kelompok kedua, yaitu model birokrasi dan model korporasi. Apa bedanya? Pada model birokrasi, ada pembagian jenjang dan kerja yang saklek. Termasuk di dalamnya adalah ukuran-ukuran administrasi yang kaku. Pendekatan yang digunakan adalah atas-bawah. Pada model korporasi, persaingan pasar dan pemenuhan kebutuhan konsumen sangat dominan.

Tata kelola model korporasi ini tidak dikenal di 1970an, tetapi sudah mendominasi untuk saat ini, terutama di perguruan tinggi di Amerika Serikat. Mereka sangat berorientasi kepada pasar. Persaingan menjadi konsekuensi logisnya.

Sampai level tertentu, persaingan ini dapat mengabaikan nilai-nilai baik yang seharusnya dijaga oleh perguruan tinggi, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai salah satu benteng terakhir moralitas. Nilai-nilai dapat diabaikan untuk memenangkan persaingan, meski dalam banyak kesempatan yang dikhotbahkan adalah kolaborasi. Ini merupakan indikasi hipokrisi yang sangat nyata.

Sialnya, pendekatan ini juga diadopsi di banyak perguruan tinggi di belahan dunia yang lain. Tak ketinggalan juga perguruan tinggi di Indonesia. Bahkan, kebijakan negara pun didominasi pendekatan yang cenderung mengadopsi paham neoliberalisme ini.

Meski banyak kritik dialamatkan kepada tren ini, tetapi tampaknya gaungnya belum cukup membuat perubahan. Penekanan pada ‘harmoni kolegial’ untuk membingkai program di 2024 merupakan salah satu bentuk ‘perlawanan kecil’ UII. Semoga!

Tulisan ini sudah dimuat di UIINews edisi Oktober 2023.