Surat edaran internal di Universitas Islam Indonesia (UII) terkait dengan peniadaan penulisan jabatan dan gelar rektor dalam dokumen tiba-tiba menjadi viral. Kejadian di luar dugaan ini merupakan berkah tersamar yang perlu disyukuri.
Apa pasal? Ikhtiar kecil tersebut oleh banyak kalangan, termasuk warganet, dianggap sebagai antitesis dari praktik obral gelar dan jabatan kehormatan oleh beberapa kampus. Praktik ini tak jarang melibatkan pejabat dan politisi, dengan alasan yang sulit dipahami dengan akal sehat.
Menurut kabar termutakhir, proses pengajuan untuk mendapatkan jabatan akademik profesor diduga melibatkan praktik suap dengan nominal yang cukup fantastis. Praktik ini tentu sangat memalukan, di tengah harapan tinggi publik kepada kampus sebagai pengawal moral bangsa.
Surat edaran di atas tentu bukan sekadar instrumen administratif, sebagaimana dipahami oleh sebagian orang. Ada beragam alasan yang lebih substantif, meski sudah dapat diduga perspektif ini tidak akan diamini oleh semua profesor. Perbedaan pendapat merupakan hal yang sangat wajar di alam demokrasi, selama didasari dengan nilai yang baik.
Apa alasan substantif di balik penerbitan surat edaran tersebut? Paling tidak adalah tiga: menumbuhkan kembali semangat kolegialitas, memandang jabatan profesor sebagai amanah publik, dan sekaligus mendesakralisasi jabatan profesor.
Semangat kolegialitas
Semangat kolegialitas ini sudah agak lama terkikis di tengah maraknya praktik neoliberalisme dalam manajemen perguruan tinggi. Salah satu indikasinya adalah kuasa pasar yang menentukan banyak pilihan sikap. Hubungan internal yang dibangun pun melahirkan jarak kuasa yang semakin jauh, antar-jenjang fungsional dan struktural.
Jabatan profesor yang menghuni jenjang fungsional tertinggi akan menambah jarak sosial dalam berinteraksi. Ujungnya adalah budaya feodalisme gaya baru yang mewujud dalam beragam bentuk di lapangan.
Dengan menghidupkan kembali semangat kolegialitas, jarak kuasa sesama kolega akan semakin dekat. Kampus akhirnya dapat menjadi salah satu tempat yang paling demokratis. Para dosen menempatkan diri sebagai kolega intelektual yang mempunyai kedaulatan dalam berpikir dan menyatakan pendapatnya.
Tanggung jawab publik
Betul, profesor adalah sebuah capaian jabatan akademik tertinggi. Tetapi banyak yang lupa bahwa di dalam jabatan itu melekat tanggung jawab publik. Pemahaman ini perlu dilantangkan kembali agar menjadi kesadaran kolektif.
Tanggung jawab publik tersebut dapat termanifestasikan ke dalam beragam peran. Salah satunya adalah intelektual publik. Intelektual tidak boleh menjauh dari urusan publik. Tugasnya, meminjam formulasi Chomsky (2017), adalah menyampaikan kebenaran dan membongkar kebohongan, memberikan konteks kesejarahan, dan mengungkap tabir ideologi dari beragam gagasan yang mengekang perdebatan publik.
Intelektual publik berikhtiar mendekatkan bidang kajiannya dengan kepentingan publik, termasuk juga bersuara terhadap beragam penyelewengan yang muncul. Menurut Chomsky, karena para intelektual ini mempunyai banyak privilese yang dinikmati, maka tanggung jawabnya pun lebih besar dibandingkan mayoritas awam.
Tampaknya mudah untuk bersepakat bahwa, saat ini, semakin sulit mencari intelektual publik yang istikamah. Didorong oleh kegeraman, seorang kawan bahkan berseloroh jika hari-hari ini kita mengalami surplus profesor tetapi di saat yang sama, kekurangan intelektual publik.
Ikhtiar desakralisasi
Saat ini, sebagian kalangan memandang jabatan profesor sebagai sesuatu yang sakral. Banyak orang yang menjadikannya sebagai bagian dari status sosial yang perlu dikejar dengan segala cara, lantas dipamerkan ke ruang publik sebagai kebanggaan. Sebagian banyak diduga menabrak etika. Kalangan non-akademisi, termasuk politisi dan pejabat, pun akhirnya terpincut untuk mendapatkannya.
Karena dianggap sebagai status sosial tinggi, cerita lucu di lapangan pun bermunculan, termasuk kemarahan si empu ketika jabatan tersebut tidak disematkan. Komentar para warganet di beragam linimasa media sosial terkait dengan isu profesor abal-abal menambah daftar kelucuan.
Jika jabatan ini dianggap sakral, maka si empunya seakan menjadi orang suci, yang jika kebablasan, akan menjelma menjadi makhluk yang kalis dari kritik dan kesalahan. Tentu bukan ini yang seharusnya terjadi di dunia akademik. Semua kebenaran bersifat nisbi dan terbuka untuk dikritisi.
Jabatan ini, karenanya, perlu didesakralisasi dengan memutus asosiasinya dengan beragam privilese yang menyertainya, yang sebagian bersifat absurd. Privilese muncul karena adalah legitimasi, yang bersumber dari otorisasi pihak yang lebih berkuasa dan endorsemen dari sekelilingnya.
Peraturan perlu kembali ditata dengan menyuntikkan nilai yang tepat dan menjauhkannya dari kepentingan politik sesaat. Di saat yang sama, penghilangan penulisan jabatan dan pemanggilan dalam interaksi keseharian menjadi salah satu ikhtiar kultural untuk desakralisasi.
Dengan demikian, para pengejar jabatan ini akan diberikan koridor yang bermartabat. Jika mendapatkannya pun si empunya hanya akan merayakan seperlunya dengan penuh kesadaran adanya tanggung jawab publik yang melekat di dalamnya.
Jika kesadaran ini diikuti oleh semakin banyak profesor, tidaklah berlebihan untuk berharap jika gerakan simbolik dalam surat edaran tersebut, akan semakin melantang dan melahirkan budaya akademik baru yang lebih egaliter. Semoga.
Tulisan ini sudah tayang di kolom Opini Harian Kompas pada 25 Juli 2024
PBI UII Melepas 46 Mahasiswa Untuk Program Mobilitas Nasional dan Internasional
Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar acara pelepasan mahasiswa yang mengikuti program Mobilitas Nasional dan Internasional (PKKM, Global Engagement Grant, dan Mandiri) pada Rabu, 31 Juli 2023. Acara pelepasan yang diselenggarakan di ruang Audiovisual Gedung Perpustakaan UII ini dihadiri oleh pimpinan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB), dosen PBI UII, dan mahasiswa yang telah lolos seleksi program Mobilitas Nasional dan Internasional. Read more
Karya Kolaborasi Mahasiswa dari Lima Negara Dipamerkan Dalam “Learning from Mangunwijaya”
Tergerak dari kontribusi Mangunwijaya, penggagas dan kurator platform internasional dari Jerman “Encounters with Southeast Asian Modernism”, Sally Below, urbanis, dan Moritz Henning, arsitek, dengan dukungan dari Kantor Luar Negeri Republik Federal Jerman, menginisiasi proyek “Learning from Mangunwijaya”. Kegiatan yang terselenggara atas kerja sama dengan Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia (UII) ini diikuti lebih dari 50 mahasiswa dari tujuh universitas di lima negara (India, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand), serta kurator dari Jerman dan Indonesia.
Read more
UII Perkuat Kemitraan dengan Jerman
Sebagai perguruan tinggi nasional di Indonesia yang berdiri sejak 1945, Universitas Islam Indonesia (UII) kian konsisten dalam menguatkan upaya peningkatan dampak di tingkat global melalui kemitraan. Hingga 2024, UII telah merajut kemitraan dengan ratusan instansi pemerintah, lembaga, dan perguruan tinggi yang terjalin di 32 negara, termasuk salah satunya di Jerman.
Read more
UII Menjadi Penyelenggara Annual Meeting APBISDI 2024
Program Studi Bisnis Digital Sarjana Terapan Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar annual meeting Asosiasi Profesi dan Pendidikan Bisnis Digital (APBISDI) 2024 dengan mengangkat tema “Developing Small Medium Enterprises (SMEs) Community Through Digital Business” pada Kamis (1/8) di Gedung Sardjito Kampus terpadu UII. Read more
Wisudawan UII Diminta Berikhtiar Dengan Cara Terbaik
Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menggelar wisuda jenjang Doktor, Sarjana, dan Diploma pada Sabtu-Minggu (27-28/7) di Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir. Pada periode VI Tahun Akademik 2023/2024 ini, UII mewisuda 970 lulusan terdiri dari 2 doktor, 78 magister, 868 sarjana, 18 sarjana terapan, dan 4 ahli madia. Tercatat hingga periode kelulusan ini UII telah memiliki 127.042 alumni.
Read more
Laboratorium Mahasiswa UII Lolos Pendanaan PPK Ormawa
Tim Laboratorium Mahasiswa (LabMa) Universitas Islam Indonesia (UII) sukses meraih pendanaan pada Program Penguatan Kapasitas Organisasi Kemahasiswaan (PPK Ormawa) 2024, kegiatan pemberdayaan masyarakat oleh ormawa yang digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbud Ristek) Republik Indonesia. Read more
Meninggalkan Jejak
Izinkan saya mengajak para wisudawan untuk melakukan refleksi singkat tentang arti penting meninggalkan jejak. Setiap dari kita pasti memainkan peran, kadang tunggal dan tak jarang berganda, beragam peran dimainkan di waktu yang sama.
Menjalankan peran
Apapun peran itu, baik di ruang publik maupun wilayah privat, pastikan kita selalu berikhtiar untuk memberikan yang terbaik. Memang kadang, tidak semua harapan akhirnya mewujud, karena beragam faktor yang terlibat. Tetapi, saya termasuk yang percaya bahwa kerja dengan sepenuh hati, meski hasilnya belum seperti yang diharapkan, tidak akan menimbulkan penyesalan. Kerja manusia tidak hanya dicatat ujungnya, tetapi juga kualitas prosesnya.
Proses inilah yang harus menjadi perhatian setiap saat. Tanpa perhatian penuh, kita bisa terjebak pada angan-angan tinggi, yang tak jarang menjauhkan kita dari melakukan ikhtiar yang seharusnya. Apa yang dilakukan oleh para koruptor, misalnya, juga karena ini. Mereka mengangankan menjadi kaya, tetapi tidak mau melalu tangga kerja keras, dan akhirnya mengabaikan etika dan melanggar hak liyan.
Keseriuan dalam mengerjakan setiap peran juga yang akan diingat oleh orang lain. Sebagai manusia biasa yang tidak kalis kesalahan, jangan heran jika orang lain akan mengingat yang paling terbaru atau yang terakhir. Kita selalu berdoa kepada Allah supaya mendapat akhir terbaik, husnul khatimah.
Konsistensi proses
Konsistensi dalam proses sejatinya merupakan ikhtiar ke sana. Jika orang selalu menebar kebaikan, insyaallah akan diwafatkan dalam kondisi serupa. Begitu juga sebaliknya. Kita berharap kebiasaan yang baik akan terbawa sampai akhir hayat.
Itulah mengapa, dalam tradisi Nahdlatul Ulama, yang diperingati dari seorang muslim yang sudah wafat adalah hari kematian, dan bukan hari kelahirannya. Berbeda dengan Nabi Muhammad saw. yang diperingati hari lahirnya. Rasulullah sejak lahir bersifat maksum yang terjaga dari berbuat maksiat.
Berbuat baik untuk meninggalkan jejak juga tidak terbatas ruang dan waktu. Di mana pun, kapan pun. Tidak perlu menunggu orang lain melakukan hal serupa. Ibrah atau pelajaran yang diberikan oleh Allah Swt. dalam surat An-Nahl ayat 66 sangat menarik untuk direnungkan. Ayat tersebut berarti:
“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum daripada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” (QS An-Nahl 66)
Kita harus terus berikhtiar secara konsisten menjadi susu, meski kita dikelilingi darah dan kotoran. Adagium yang mengajak kita menjadi tidak waras supaya kebagian (saiki zaman edan, yen ora edan, ora keduman), harus dilupakan. Jika kita ikuti adagium ini, maka kita akan berubah menjadi kotoran.
Konfirmasi dari orang lain memang kadang diperlikan, tetapi tidak selalu. Allah Swt. juga akan menjadi saksi yang tidak akan melewatkan hal terkecil sekalipun. Perintah Allah Swt. dalam surat At-Taubah ayat 1-5, menegaskan.
“Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.'” (QS At-Taubah 105)
Pandai bersyukur
Di kesempatan yang baik ini, saya juga mengajak semua wisudawan untuk selalu bersyukur atas semua kebaikan yang sudah kita terima. Kita tak akan pernah sanggup menghitung nikmat yang diberikan Allah Swt. kepada kita, baik langsung maupun melalui perantara orang lain.
Karena itu, tetaplah kita berikhtiar menjadi hamba yang taat. Selain itu, bergaullah dengan orang lain dengan baik. Sampaikan terima kasih kepada orang tua yang telah mendukung Saudara dengan beragam ikhtiar yang kadang di luar kadar yang bisa dibayangkan.
Ungkapan terima kasih juga layak diberikan kepada mereka yang pernah bertemu dalam lintasan hidup Saudara, termasuk para guru, kerabat, dan sahabat. Mereka semua mempunyai andil dalam mengantarkan Saudara sampai pada kondisi saat ini. Pandai bersyukur dan berterima kasih merupakan kecapakan yang harus selalu diasah.
Sambutan acara wisuda Universitas Islam Indonesia pada 27 & 28 Juli 2024.
UII Gelar Workshop Penyusunan Dokumen Pendukung Akreditasi Internasional
Universitas Islam Indonesia (UII) bersama Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Belmawa Kemendikbudristek) menyelenggarakan kegiatan Pelaksanaan Program Pengembangan Program Studi Memenuhi Standar Mutu Internasional Tahun 2024. Kegiatan bersama ini berupa penyelenggaran Workshop Penyusunan Dokumen Pendukung Akreditasi Internasional pada hari Kamis dan Jumat (25-26/7) di Hotel Alana Yogyakarta.
Read more
Sinergi UII dan Desa Girirejo dalam Pengelolaan Sampah Terintegrasi
Universitas Islam Indonesia (UII) dan Desa Girirejo Ngablak, Magelang, Jawa Tengah berkomitmen untuk terus meningkatkan kemitraan. Salah satu di antaranya melalui program pengelolaan sampah terpadu yang telah dirintis sejak beberapa tahun yang lalu. Sebagai bagian dari rangkaian kegiatan Milad ke-81, keluarga besar UII bersama perangkat Desa Girirejo meninjau kembali lokasi pengolahan sampah reduce-reuse-recycle (TPS3R) pada Selasa (23/7). Di dalam TPS ini terdapat insenerator yang merupakan hasil karya dari dosen dan mahasiswa Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII. Read more
Desakralisasi Profesor
Surat edaran internal di Universitas Islam Indonesia (UII) terkait dengan peniadaan penulisan jabatan dan gelar rektor dalam dokumen tiba-tiba menjadi viral. Kejadian di luar dugaan ini merupakan berkah tersamar yang perlu disyukuri.
Apa pasal? Ikhtiar kecil tersebut oleh banyak kalangan, termasuk warganet, dianggap sebagai antitesis dari praktik obral gelar dan jabatan kehormatan oleh beberapa kampus. Praktik ini tak jarang melibatkan pejabat dan politisi, dengan alasan yang sulit dipahami dengan akal sehat.
Menurut kabar termutakhir, proses pengajuan untuk mendapatkan jabatan akademik profesor diduga melibatkan praktik suap dengan nominal yang cukup fantastis. Praktik ini tentu sangat memalukan, di tengah harapan tinggi publik kepada kampus sebagai pengawal moral bangsa.
Surat edaran di atas tentu bukan sekadar instrumen administratif, sebagaimana dipahami oleh sebagian orang. Ada beragam alasan yang lebih substantif, meski sudah dapat diduga perspektif ini tidak akan diamini oleh semua profesor. Perbedaan pendapat merupakan hal yang sangat wajar di alam demokrasi, selama didasari dengan nilai yang baik.
Apa alasan substantif di balik penerbitan surat edaran tersebut? Paling tidak adalah tiga: menumbuhkan kembali semangat kolegialitas, memandang jabatan profesor sebagai amanah publik, dan sekaligus mendesakralisasi jabatan profesor.
Semangat kolegialitas
Semangat kolegialitas ini sudah agak lama terkikis di tengah maraknya praktik neoliberalisme dalam manajemen perguruan tinggi. Salah satu indikasinya adalah kuasa pasar yang menentukan banyak pilihan sikap. Hubungan internal yang dibangun pun melahirkan jarak kuasa yang semakin jauh, antar-jenjang fungsional dan struktural.
Jabatan profesor yang menghuni jenjang fungsional tertinggi akan menambah jarak sosial dalam berinteraksi. Ujungnya adalah budaya feodalisme gaya baru yang mewujud dalam beragam bentuk di lapangan.
Dengan menghidupkan kembali semangat kolegialitas, jarak kuasa sesama kolega akan semakin dekat. Kampus akhirnya dapat menjadi salah satu tempat yang paling demokratis. Para dosen menempatkan diri sebagai kolega intelektual yang mempunyai kedaulatan dalam berpikir dan menyatakan pendapatnya.
Tanggung jawab publik
Betul, profesor adalah sebuah capaian jabatan akademik tertinggi. Tetapi banyak yang lupa bahwa di dalam jabatan itu melekat tanggung jawab publik. Pemahaman ini perlu dilantangkan kembali agar menjadi kesadaran kolektif.
Tanggung jawab publik tersebut dapat termanifestasikan ke dalam beragam peran. Salah satunya adalah intelektual publik. Intelektual tidak boleh menjauh dari urusan publik. Tugasnya, meminjam formulasi Chomsky (2017), adalah menyampaikan kebenaran dan membongkar kebohongan, memberikan konteks kesejarahan, dan mengungkap tabir ideologi dari beragam gagasan yang mengekang perdebatan publik.
Intelektual publik berikhtiar mendekatkan bidang kajiannya dengan kepentingan publik, termasuk juga bersuara terhadap beragam penyelewengan yang muncul. Menurut Chomsky, karena para intelektual ini mempunyai banyak privilese yang dinikmati, maka tanggung jawabnya pun lebih besar dibandingkan mayoritas awam.
Tampaknya mudah untuk bersepakat bahwa, saat ini, semakin sulit mencari intelektual publik yang istikamah. Didorong oleh kegeraman, seorang kawan bahkan berseloroh jika hari-hari ini kita mengalami surplus profesor tetapi di saat yang sama, kekurangan intelektual publik.
Ikhtiar desakralisasi
Saat ini, sebagian kalangan memandang jabatan profesor sebagai sesuatu yang sakral. Banyak orang yang menjadikannya sebagai bagian dari status sosial yang perlu dikejar dengan segala cara, lantas dipamerkan ke ruang publik sebagai kebanggaan. Sebagian banyak diduga menabrak etika. Kalangan non-akademisi, termasuk politisi dan pejabat, pun akhirnya terpincut untuk mendapatkannya.
Karena dianggap sebagai status sosial tinggi, cerita lucu di lapangan pun bermunculan, termasuk kemarahan si empu ketika jabatan tersebut tidak disematkan. Komentar para warganet di beragam linimasa media sosial terkait dengan isu profesor abal-abal menambah daftar kelucuan.
Jika jabatan ini dianggap sakral, maka si empunya seakan menjadi orang suci, yang jika kebablasan, akan menjelma menjadi makhluk yang kalis dari kritik dan kesalahan. Tentu bukan ini yang seharusnya terjadi di dunia akademik. Semua kebenaran bersifat nisbi dan terbuka untuk dikritisi.
Jabatan ini, karenanya, perlu didesakralisasi dengan memutus asosiasinya dengan beragam privilese yang menyertainya, yang sebagian bersifat absurd. Privilese muncul karena adalah legitimasi, yang bersumber dari otorisasi pihak yang lebih berkuasa dan endorsemen dari sekelilingnya.
Peraturan perlu kembali ditata dengan menyuntikkan nilai yang tepat dan menjauhkannya dari kepentingan politik sesaat. Di saat yang sama, penghilangan penulisan jabatan dan pemanggilan dalam interaksi keseharian menjadi salah satu ikhtiar kultural untuk desakralisasi.
Dengan demikian, para pengejar jabatan ini akan diberikan koridor yang bermartabat. Jika mendapatkannya pun si empunya hanya akan merayakan seperlunya dengan penuh kesadaran adanya tanggung jawab publik yang melekat di dalamnya.
Jika kesadaran ini diikuti oleh semakin banyak profesor, tidaklah berlebihan untuk berharap jika gerakan simbolik dalam surat edaran tersebut, akan semakin melantang dan melahirkan budaya akademik baru yang lebih egaliter. Semoga.
Tulisan ini sudah tayang di kolom Opini Harian Kompas pada 25 Juli 2024