Integritas Pejabat Negara
“Untuk meneruskan jabatan saya sebagai Menteri Kesehatan, saya harus mendapatkan kepercayaan. Saya berhenti dari pekerjaan menakjubkan ini.”
Demikian pernyataan Ingvild Kjerkol, mantan Menteri Kesehatan Norwegia, yang dikutip oleh media. Pernyataan tersebut disampaikannya setelah memutuskan untuk mundur dari jabatannya pada pertengahan April 2024. Keputusan ini diambil menyusul kasus plagiarisme dalam tesis magisternya yang ditulis di Nord University. Seiring dengan mencuatnya skandal ini, sebagaimana dilaporkan oleh koran Aftenposten, Perdana Menteri Norwegia, Jonas Gahr Støre, memutuskan bahwa Kjerkol harus mundur. Almamaternya pun membatalkan tesis tersebut dan mencabut gelarnya.
Kepercayaan publik
Kasus ini bukanlah yang pertama di Norwegia. Tiga bulan sebelumnya, pada Januari 2024, Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi Norwegia, Sandra Borch, juga memutuskan untuk mengundurkan diri segera setelah pelanggarannya terungkap. Dalam pernyataannya kepada media Norwegia, Borch mengakui, “Ketika menulis tesis magister saya sekitar 10 tahun lalu, saya membuat kesalahan besar. Saya mengambil teks dari tesis lain tanpa menuliskan sumbernya, dan untuk itu saya memohon maaf.”
Meskipun Kjerkol tidak langsung mengundurkan diri seperti Borch, keduanya menyadari bahwa kepercayaan publik adalah aset yang tak ternilai bagi seorang pejabat negara. Pelanggaran terhadap integritas akademik bukan sekadar kelalaian teknis, tetapi juga indikasi dari cacat moral yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap kepemimpinan mereka. Jika pejabat negara memandang perilaku tidak etis sebagai sesuatu yang lumrah, maka publik berhak untuk merasa khawatir bahwa amanah yang diberikan dapat diselewengkan kapan saja.
Konsekuensi serius
Kasus pelanggaran integritas akademik yang melibatkan pejabat tinggi tidak hanya terjadi di Norwegia. Pada 2011, Menteri Pertahanan Jerman, Karl-Theodor zu Guttenberg, terpaksa mengundurkan diri setelah Bremen University mencabut gelar doktornya karena terbukti melakukan plagiarisme dalam disertasinya.
Dua tahun kemudian, pada 2013, kasus serupa kembali terjadi di Jerman. Menteri Pendidikan Annette Schavan memilih untuk mundur dari jabatannya setelah ditemukan plagiarisme dalam disertasinya yang telah ditulis lebih dari 30 tahun sebelumnya. Keputusan ini menunjukkan bahwa pelanggaran akademik, meskipun terjadi di masa lampau, tetap memiliki konsekuensi yang nyata dalam kehidupan profesional.
Di luar Eropa, kasus serupa juga mengguncang Taiwan. Pada 2013, Menteri Pertahanan Taiwan, Andrew Yang, mengundurkan diri setelah diketahui bahwa artikel yang diterbitkan atas namanya pada 2007 merupakan hasil plagiarisme. Dalam sebuah konferensi pers, Yang menyatakan, “Ini adalah kesalahan personal saya, dan saya meminta maaf karenanya.” Yang bahkan mengundurkan diri hanya enam hari setelah menduduki jabatannya, sebuah tindakan yang mencerminkan keseriusan skandal semacam ini dalam lanskap politik di Taiwan.
Fondasi kejujuran
Kasus-kasus di atas memberikan pelajaran berharga bahwa integritas akademik bukanlah sekadar norma yang berlaku di lingkungan akademisi, tetapi juga pilar fundamental dalam kepercayaan publik terhadap para pemimpin mereka. Dunia akademik dibangun di atas fondasi kejujuran dan etika; tanpa itu, seluruh sistem akan menjadi rapuh.
Pelanggaran terhadap nilai-nilai akademik membawa konsekuensi serius, bukan hanya bagi individu yang bersangkutan, tetapi juga bagi institusi yang mereka wakili. Gelar akademik yang dicabut bukan hanya hukuman administratif, melainkan juga simbol bahwa pelanggaran semacam ini memiliki dampak jangka panjang terhadap reputasi seseorang.
Selain itu, keputusan para pejabat negara yang memilih mundur menunjukkan bahwa di negara-negara dengan standar etika yang tinggi, tanggung jawab moral diutamakan dibandingkan kepentingan pribadi. Tindakan mereka menjadi preseden penting bahwa kepercayaan publik lebih bernilai daripada mempertahankan jabatan dengan mengorbankan prinsip-prinsip integritas.
Standar etika
Fenomena ini mengajukan pertanyaan mendalam tentang bagaimana standar etika dan akuntabilitas diterapkan di beragam belahan dunia. Di beberapa negara, pejabat yang terlibat dalam skandal akademik dapat tetap bertahan dalam posisinya. Dalih yang dibangun adalah bahwa kesalahan tersebut adalah bagian dari masa lalu dan tidak memengaruhi kinerja mereka saat ini. Relasi kuasa antara pejabat negara dan kampus juga dapat menjadikan penegakan etika tidak seperti yang seharusnya. .
Namun, contoh dari Norwegia, Jerman, dan Taiwan menunjukkan bahwa kepercayaan publik adalah hal yang sakral dan sekaligus rapuh. Karenanya, ia harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Keberanian untuk mengakui kesalahan dan mengambil konsekuensi adalah sikap yang patut diapresiasi. Pilihan tersebut bukan hanya sebagai bentuk pertanggungjawaban pribadi, tetapi juga sebagai upaya untuk mempertahankan standar integritas dalam pemerintahan dan dunia akademik.
Mengingat hal tersebut, sudah seharusnya penegakan etika mendapatkan perhatian lebih serius. Kepercayaan publik tidak dapat dibeli, tetapi diperoleh melalui dedikasi dan komitmen yang konsisten terhadap prinsip-prinsip etika. Kasus-kasus di atas menjadi pengingat bahwa pelanggaran kecil pun dapat berakibat besar, dan bagi pejabat publik, kehilangan kepercayaan bisa berarti akhir dari karier mereka.
Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada 16 April 2025
Fathul Wahid
Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026