Internalisasi Nilai untuk Kebangkitan Organisasi Berkemajuan


Idulfitri merupakan momen kemenangan muslim dari dirinya sendiri. Rasulullah mengatakan bahwa jihad terbesar adalah ketika menghadapi hawa nafsu sendiri. Kita dilatih sebulan penuh, selama Ramadan, untuk tidak hanya mengendalikan diri dari makan dan minum, tetapi juga dari segala perbuatan yang mengurangi kualitas paripurna puasa. Kualitas puasa yang dilandasi penuh keimanan (imanan) dan kesadaran penuh akan hitungan dosa masa lalu (ihtisaban) inilah yang dijanjikan Allah dengan pengampunan (maghfirah).

Semoga proses inkubasi selama Ramadan telah melahirkan kembali diri kita menjadi pribadi dengan kualitas yang lebih baik. Tidak hanya dalam kekhusyukan interaksi dengan Sang Khalik, tetapi juga dengan sesama anak Adam dan lingkungannya. Ketika kita semakin berkualitas, organisasi tempat kita menggelar “sajadah kerja ikhlas” akan ikut mulia, mendapatkan manfaat terbaiknya. Jika tidak, bisa jadi masa inkubasi yang kita lalui belum mampu menumbuhkan benih kebaikan dalam diri yang siap bertumbuh.

Hanya organisasi yang dilandasi nilai-nilai utama dan abadilah yang akan berkemajuan. Termasuk di antaranya, dalam konteks Universitas Islam Indonesia (UII), adalah nilai pengabdian dan ketulusan. Studi pada organisasi modern mengafirmasi pendapat ini. Sebagai contoh, institusionalisasi yang menjelaskan mengapa sebuah organisasi bertahan hidup dan berkembang dipandang sebagai proses penyuntikan nilai (instilling values).

Proses ini laksana menjadikan akar pohon menghujam, yang dengannya batang dan cabang dapat berkembang dan menjulang tanpa rasa khawatir tumbang. Semakin kuat akar, semakin adaptif sebuah pohon, termasuk ketika angin kencang menghantamnya bertubi-tubi.

Dalam konteks UII, pertanyaan retoris bisa kita ajukan: apakah mungkin menghadirkan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin) yang dimandatkan oleh misi, jika sebuah organisasi tidak dibangun di atas nilai-nilai abadi yang disepakati bersama oleh semua elemen organisasi? Pesan moralnya adalah bagaimana mengedepankan kesamaan perspektif utama (kalimatun sawa) dan meminggirkan potensi konflik yang dipicu oleh perspektif pinggiran.

Mari, kita jadikan momen Idulfitri ini untuk menginternalisasi nilai-nilai abadi yang dipesankan oleh Kitab Suci dan Nabi ke dalam diri. Nilai-nilai ini kemudian kita iktiarkan untuk dieksternalisasi dalan aksi. Setiap aksi haruslah diberi landasan nilai dan bukan hanya basa-basi.

Hanya dengan kesadaran kolektif ini, energi positif organisasi dapat diorkestrasi tanpa aral berarti. Dampaknya adalah kebangkitan organisasi yang berkemajuan. Insya Allah!