Kesejalanan dalam Menghadapi Pandemi

Sampai dengan paruh kedua November 2020, pandemi Covid-19 yang bermula di Wuhan, Tiongkok, telah menyebar ke 219 negara di dunia. Total kasus yang terkonfirmasi mencapai lebih dari 53 juta dengan lebih dari 1,3 juta orang telah meninggal dunia karenanya. Semuanya terjadi hanya dalam waktu singkat, sekitar sembilan bulan[1].

Semua negara berjuang menghadapinya dengan pendekatannya masing-masing. Inilah salah satu faktor yang membedakan dampak yang diderita setiap negara, termasuk dari sisi kehilangan jiwa dan keruntuhan sendi ekonomi. San Marino, Belgia, dan Peru merupakan tiga negara dengan proporsi kematian tertinggi, lebih dari 1.000 orang per 1 juta penduduk.

Saat ini, bahkan gelombang kedua pandemi menyerang negara-negara Eropa, dan beberapa menjalankan kembali pembatasan mobilitas fisik (lockdown) secara terbatas maupun nasional (The Economist, 2020b). Sejak beberapa setelah kemunculannya, pandemi tidak lagi dilihat sebagai masalah kesehatan per se, tetapi sudah masalah lintassektor yang saling terkait erat.

Selain itu, sebagai pandemi global, penanganannya memerlukan kerja sama lintasteritorial dengan orkestrasi yang sensitif dengan waktu karena penyebarannya yang luar biasa cepat (Berkman, 2020). World Health Organization (WHO) telah memainkan peran kritikal dalam konteks ini. Upaya yang telah dilakukan oleh WHO sejak 31 Desember 2019, terekam dengan rapi dalam situsnya[2].

Dalam bingkai ini, bagian pertama tulisan ini mendiskusikan secara ringkas hubungan antara politik dan sains yang tidak selalu sejalan. Pada bagian kedua, tulisan membahas bagaimana ajaran Islam mengedepankan sisi kemanusiaan dan terbukti sangat saintifik dalam memberi saran di kala pandemi.

 

Politik dan Sains

Pada 1 Oktober 2020, situs web majalah sains terkemuka di Amerika Serikat (AS), Scientific American, menayangkan artikel yang berbeda dari biasanya. Judul artikelnya membelalakkan mata pembacanya. Sebagian pembaca menyambutnya dengan gembira, sebagian yang lain, mungkin agak tidak suka dengannya. Mengapa berbeda? Sikap dan harapannya yang tertaut kepada sains yang mempengaruhinya.

“Scientific American endorses Joe Biden” (Scientific American, 2020), demikian judul artikel tersebut. Editorial tersebut menyebut, bahwa sikap ini adalah debut majalah saintifik ini yang terbit pertama kali dalam bentuk mingguan empat halaman pada 1845. Tak pernah, majalah ini mendukung kandidasi seorang presiden AS dalam 175 tahun sejarah hidupnya.

Tidak sulit menebak alasannya. Namun, majalah ini membuatnya lebih jelas yang diikuti sikapnya yang tegas. Alasan yang diungkap adalah bahwa Sang Presiden Dunia Baru tersebut tidak menghargai sains dan menolak bukti saintifik, termasuk dalam melihat isu perubahan iklim global yang dianggapnya tidak ada, dan kasus terakhirnya adalah dalam penanganan pandemi Covid-19.

Dua pekan kemudian, pada 14 Oktober 2020, langkah tersebut diikuti oleh majalah saintifik prestius, Nature (2020). Editorialnya menuliskan bahwa majalah ini tidak bisa tinggal diam ketika sains dirusak. Agak sedikit berbeda dengan Scientific American, selain mengaitkannya dengan isu sains, Nature juga membingkainya dengan isu demokrasi yang terancam dan persatuan bangsa AS yang terpecah.

Editorial kedua majalah saintifik ini seakan menjadi epitaf politik Sang Presiden petahana. Hasil pemilihan umum menunjukkan bahwa dia gagal mempertahankan posisinya. Sang Penantang yang sudah malang melintang di dunia politik hampir lima dekade akan menduduki Gedung Putih pada Januari 2021, sebagai Presiden AS ke-46. Meski demikian, ada masih mengkhawatirkan para saintis, pemilih Sang Petahana masih sangat banyak. Ini berarti tantangan mengkomunikasikan pentingnya fakta, sains, dan kebenaran masih menghadang (Tollefson, 2020b). Jeffrey Shaman, epidemiolog Universitas Columbia menyatakan, “Ini bukan soal ketidakmampuan, ini adalah sabotase. … Dia sudah menyabotase ikhtiar untuk menjaga keselamatan manusia” (Tollefson, 2020a).

Untuk melihat bagaimana pengambil kebijakan menggunakan sains dalam merespons pandemi, Frontiers, sebuah lembaga pendukung sains terbuka terkemuka di Swiss, secara khusus pada Mei dan Juni 2020 melalukan survei kepada lebih dari 20.000 saintis di berbagai negara (Rijs & Fenter, 2020). Salah satu temuannya menunjukkan menurut saintis, pengambil kebijakan belum secara memadai menjadikan sains sebagai konsiderans dalam mitigasi pandemi.

Menurut survei tersebut, negara yang dinilai sudah menjadikan sains sebagai basis kebijakan termasuk Selandia Baru (disetujui oleh 77% responden/saintis asal negara tersebut), Yunani (76%), Tiongkok (71%), Argentina (705%), Denmark (68%), dan Jerman (66%). Sebaliknya, di sisi lain, negara berikut dipersepsikan oleh responden menafikan relevansi sains dalam mitigasi pendemi. Hanya 18% responden yang menggangap bahwa Amerika menggunakan saintifik dalam mengatasi pandemi. Menyusulnya adalah Chile (22%), Brasil (23%), Inggris (24%), Polandia (29%), dan Rusia (31%).

Bagaimana dengan Indonesia? Setiap kita bisa menilai sendiri negara tercinta, berdasar data yang ada. Beberapa pertanyan ini bisa membantu mencari jawab. Apakah ada penyangkalan dari para pengambil kebijakan? Apakah saran dari para saintis, termasuk para profesor di bidang kesehatan, didengar dengan baik oleh para pengambil kebijakan? Apakah ada komentar dari pengambil kebijakan yang menyepelekan kehadiran pandemi Covid-19? Apakah beragam kebijakan sudah diambil untuk mengatasi, terjaga konsistensinya, dan terorkestrasi antaraktor dengan baik?

Sebagian dari kita mungkin akan sampai kepada kesimpulan: negara kita sudah berbuat baik, tapi seharusnya bisa lebih baik lagi. Sebagian yang lain mungkin berakhir pada kesimpulan yang berbeda. Informasi yang terekam di media massa dan media sosial dapat memberi ilustrasi kaya untuk melihat perkembangan diskursus dalam isu ini.

Fragmen di atas memantik beberapa diskusi lanjutan. Temuan survei Frontiers di atas seakan memberi bukti empiris yang mendukung adagium yang menyatakan bahwa politik dan sains mempunyai logikanya masing-masing dan tidak mudah untuk bertemu, atau bahkan seringkali berlawanan. Tentu hal ini sangat mengkhawatirkan karena kekuasaan sebagai salah satu luaran praktik politik dan pengembangan sains, keduanya seharusnya diabdikan untuk tujuan yang sama: kesejahteraan manusia.

Namun demikian, kedekatan saintis ke dalam dunia politik, yang intinya melibatkan konflik kepentingan, dapat memunculkan masalah baru. Masalah pertama terkait dengan kemungkinan penggunaan sains sebagai “stempel” dan bahkan “kambing hitam”. Sebagai contoh, di Inggris, kepercayaan publik kepada saintis lebih tinggi (4 dari 5) dibandingkan kepada menteri (1 dari 5). Klaim politisi yang menyatakan bahwa mereka “sudah mengikuti sains” dalam merespons pandemi, dikhawatirkan justru akan “menyalahkan sains” (The Economist, 2020a), karena di Inggris, penanganan pandemi dinilai tidak optimal.

Masalah kedua adalah inkompatibiltas. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sainstis berhubungan dengan ketidakpastian, sedangkan politisi menghindarinya. Temuan sains benar secara metodologis dan karenanya ada ruang variasi. Tentu ini tidak mudah diterjemahkan ke dalam kebijakan tunggal. Selain itu, sains dan politik menjalankan operasi terbaiknya dalam kondisi yang berbeda. Sains mengedepankan transparansi, sedangkan politik mengharapkan opasitas sampai tingkat tertentu (e.g. The Economist, 2020a). Tarik ulur dan ambivalensi kebijakan pemerintah Indonesia yang tetap menggelar pemilihan umum kepala daerah (pilkada) merupakan ilustrasi nyata (Widyanuratikah et al., 2020).

 

Islam dan Kemanusiaan

Menjaga jiwa manusia (hifdh al-nafs) menjadi salah satu prioritas utama kala pandemi Covid-19. Mobilitas fisik dibatasi untuk menghindari penularan. Banyak negara bahkan menerapkan pembatasan mobilitas fisik (lockdown) secara nasional.

Beragam ikhtiar mitigasi dipilih. Selain berdasar sains, beragam kajian berdasar ajaran pun dilakukan: baik dari perspektif praktis maupun esoteris.

Dari perspektif praktis, resep abadi Rasulullah ketika menghadapi pandemi (al-tho’un) pun kembali dikaji dan digaungkan. Kata Rasulullah, “Ketika kamu mendengar adanya pandemi di sebuah daerah, maka jangan memasukinya, dan ketika kamu berada di daerah yang terkena pandemi, maka jangan keluar darinya” (Sahih Al-Bukhari 5728).

Pesan dalam hadis tersebut sangat jelas, bahwa ikhtiar terbaik harus dilakukan, untuk tidak memaparkan diri kepada penyakit, dan sebaliknya tidak memaparkan penyakit kepada orang lain.

Perintah agama ini sejalan dengan anjuran sains[3] untuk memutus mata rantai penularan pandemi, dengan menjaga jarak fisik (physical distancing), bukan menjaga jarak sosial (social distancing). Memang, di masa awal pandemi menyerang, World Health Organization (WHO) menganjurkan untuk menjaga jarak sosial”, tetapi lembaga ini kemudian mengoreksinya menjadi menjaga jarak fisik. Jarak sosial justru harus dijaga dengan tetap menjalin komunikasi dengan orang lain dan bahkan saling membantu. Perkembangan teknologi informasi saat ini dapat digunakan untuk menjaga jarak sosial tetapi dekat[4].

Implikasinya adalah cara beraktivitas baru pun diadopsi, termasuk pembelajaran daring dan bekerja dari rumah. Praktik beragama kolektif yang melibatkan orang banyak dalam tempat terbatas (salat berjemaah, pengajian umum) pun ditiadakan. Meskipun demikian, cerita lain, meski tidak dominan, juga ditemukan di lapangan, karena keberagaman sikap keberagamaan[5].

Protokol baru kesehatan pun, termasuk menjaga jarak fisik, memakai masker dengan benar, mencuci tangan secara rutin, menjadi bagian dari keseharian. Survei yang dilakukan oleh Pew Research Center (2020) di Amerika menegaskan kesadaran baru di kalangan warga terkait dengan pentingnya kebersihan. Ajaran Islam sudah sejak kehadirannya menempatkan kebersihan dalam posisi yang istimewa. Rasullah bersabda, “Kebersihan adalah setengah dari iman” (Sahih Muslim 223).

Kampanye besar-besaran dijalankan oleh beragam aktor (internasional, nasional, dan lokal) untuk mengedukasi publik untuk menumbuhkan kesadaran kolektif. Kampanye tersebut masih relevan sampai saat ini karena tak seorang pun yang mengetahui kapan pandemi akan berakhir.

Dari perspektif esoteris agama, Rasulullah menyatakan, “Kematian karena pandemi adalah syahid bagi setiap muslim” (Sahih Al-Bukhari 2830). Tentu, ini adalah ujung ketika semua ikhtiar telah dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan ternyata masih terpapar. Sengaja memaparkan diri untuk mendapatkan redikat syahid tidak dapat diterima.

Hadis lain menegaskan ini. Ketika Rasulullah ditanya seorang sahabat tentang pandemi, Beliau menjawab: “Pandemi adalah azab yang dikirim oleh Allah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, tetapi Dia menjadikannya rahmat untuk kaum mukmin. Siapa saja  tinggal di sebuah kota yang terjangkiti pandemi dan dia tetap tinggal di dalamnya dan tidak meninggalkan kota tersebut, tetapi bersabar dan penuh harapan kepada rida Allah, dan mengetahui bahwa pandemi tidak akan menimpa kecuali sudah ditulis Allah untuknya, maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana orang yang mati syahid” (Sahih Al-Bukhari 5734).

Sisi kemanusiaan kita pun diuji. Pandemi juga telah memunculkan sisi tulen manusia, baik yang buruk maupun yang baik. Sisi buruk manusia ini bisa menjadikannya menganggap pandemi sebagai peluang mengeruk keuntungan finansial yang lukratif yang tuna kepedulian. Di awal pandemi, misalnya, media massa mengabarkan penangkapan para penimbunan masker yang sangat dibutuhkan oleh publik. Tes cepat (rapid test) juga diindikasikan ditunggangi motif komersialisasi[6].

Meskipun dari perspektif bisnis terlihat wajar, tetapi melonjaknya harga saham Pfizer ketika uji coba vaksinnya memberikan hasil baik, dapat menghadirkan tafsir lain, yang terkait dengan perburuan rente di kala pandemi (La Monica, 2020).

Sebaliknya, sisi baiknya, pandemi telah menyadarkan akan kerentanan manusia dan prioritas dalam hidup (Pew Research Center, 2020). Pandemi juga memunculkan mereka yang dengan suka cita membantu sesama, terutama kelompok rentan ketika pandemi menyerang, tidak hanya dari sisi kesehatan tetapi juga dari sisi lain, termasuk pemberdayaan ekonomi dan edukasi publik.

Di Indonesia, sebagai contoh, selain pemerintah, secara nasional, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) membuat gugus tugas khusus untuk merespons pandemi. Muhammadiyah membentuk Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) yang melibatkan berbagai aktor internal lintasmajelis dan lintas-organisasi otonom yang sudah tersebar di seluruh Indonesia (https://covid19.muhammadiyah.id/). Hal serupa juga dilakukan NU dengan membentuk Satuan Tugas NU Peduli Covid-19 yang sudah tersebar di seluruh Indonesia (https://www.nu.or.id/).

Sebanyak 903 rumah sakit di seluruh Indonesia juga berjuang siang malam untuk melayani dan merawat para pasien yang terkonfirmasi Covid-19 (Sari, 2020). Sampai akhir November 2020, sudah sebanyak 180 dokter yang meninggal dunia karena terpapar Covid-19 (Kamil, 2020).

Di awal pandemi menyerang, fokus perhatian banyak diberikan pada bidang kesehatan, terutama kesehatan (fisik). Sejalan dengan waktu, ketika pandemi semakin meluas dan dampaknya mulai terasa di bidang, termasuk kesehatan jiwa dan ekonomi.

Memang tidak semua industri terdampak. Di satu sisi, beberapa sektor industri justru mendapatkan durian runtuh di masa pandemi ini, termasuk sektor telekomunikasi, layanan teknologi informasi (konferensi video, pembelajaran daring), perdagangan daring, dan obat-obatan. Di sisi lain, banyak sektor yang terdampak akut, seperti penerbangan, pariwisata, dan perdagangan konvensional. Sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), juga termasuk yang menderita, karena penurunan pendapatan, jaringan bisnis yang terganggu, dan biaya operasional yang tetap tinggi (BPS, 2020).

Pandemi juga memunculkan beragam inisiatif lintasaktor di masyarakat. Sebagai contoh, di Yogyakarta, muncul gerakan Sonjo (Sambatan Jogja), yang ditujukan untuk membantu masyarakat rentan dan terdampak pandemi (https://gamabox.id/sonjo/). Kegiatan Sonjo difokuskan ke beberapa bidang, termasuk membantu UMKM tetap bertahan dan berkembang, memberikan edukasi publik, dan menjadi simpul antara penyedia dan penerima bantuan.

Fokus yang terakhir ini juga dilakukan beragam aktor lain, termasuk Universitas Islam Indonesia dengan inisiatif Warung Rakyat yang menjadi “tempat mangkal daring pelaku ekonomi kerakyatan” (https://warungrakyat.uii.ac.id/). Sampai pertengahan November 2020, cacah UMKM yang bergabung sudah lebih dari 550. Mereka pun mulai merambah model bisnis baru yang mengandalkan kanal digital, baik yang menggunakan kanal bersama (marketplace) maupun memanen manfaat dari media sosial.

 

Epilog: Pilihan Kesejalanan

Uraian di atas membimbing kepada dua simpulan yang dapat memantik diskusi lanjutan.

Pertama, hubungan antara politik dan sains menarik diselisik lebih lanjut. Pandemi Covid-19 saat ini adalah momentum yang memperjelas urgensi untuk mendapatkan harmoni di antara keduanya. Kasus penanganan pandemi di Selandia Baru atau Jerman, misalnya, dapat menjadi pencelik mata, bahwa sains dan politik dapat berdampingan dengan cukup baik.

Jika kesejalanan ini dapat mewujud, pertanyaan lanjutan yang menggelitik adalah: mengapa tidak terjadi di semua negara? Riset yang sistematis untuk menjelaskan hubungan beragam faktor kontekstual dengan kesejalanan politik dan sains penting untuk dilakukan. Penjelasan ini akan sangat bermanfaat untuk memahami beragam pola hubungan yang ada, dan jika diperlukan, menjadikannya sebagai basis intenvensi.

Kedua, pandemi telah memunculkan dua sisi ekstrem kemanusiaan. Sebagian (kecil) aktor telah menjadikan pandemi sebagai kesempatan ‘mengail di air keruh’ dengan beragam muslihat yang tuna empati. Tentu, bukan ini yang dibutuhkan ketika pandemi menyerang, karena tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Namun, sebagian besar lainnya terpanggil sisi kemanusiaannya dengan membantu sesama. Yang menarik, inisiatif ini muncul dalam beragam skalanya, baik yang dijalankan oleh organisasi besar (seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama), kampus, maupun gerakan akar rumput yang melibatkan aktor lintassektor (seperti Sonjo). Yang terakhir ini menarik untuk dipahami dengan baik untuk dijadikan semacam model gerakan dalam memobilisasi sumber daya di masa krisis ketika informasi yang tersedia sangat terbatas.

Kedua simpulan di atas dapat diringkas dalam sebuah konsep yang indah diungkap, tetapi tidak selalu mudah diterapkan: kesejalanan.

 

Referensi

Berkman, P. A. (2020). The pandemic lens: Focusing across time scales for local-global sustainability. Patterns, 1(8), 100147.

BPS (2020). Analisis Hasil Survei Dampak Covid-19 Terhadap Pelaku Usaha. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Kamil, I. (2020). IDI Sebut Tak Kurang dari 180 Dokter Meninggal Selama Pandemi Covid-19. Kompas, 30 Novermber. Tersedia daring: https://nasional.kompas.com/read/2020/11/30/20424391/idi-sebut-tak-kurang-dari-180-dokter-meninggal-selama-pandemi-covid-19?page=all.

Kuntowijoyo (2004). Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Bandung: Teraju.

La Monica, P. R. (2020). Pfizer’s CEO sold $5.6 million in stock the day he announced promising vaccine news. CNN, 11 November. Tersedia daring: https://edition.cnn.com/2020/11/11/investing/pfizer-ceo-albert-bourla-stock-sale-vaccine/index.html

Nature (2020). Why Nature supports Joe Biden for US president. Nature, 14 Oktober. Tersedia daring: https://www.nature.com/articles/d41586-020-02852-x

Pew Research Center (2020). What lessons do Americans see for humanity in the pandemic? Tersedia daring: https://www.pewforum.org/essay/what-lessons-do-americans-see-for-humanity-in-the-pandemic/

Rijs, C. & Fenter, F. (2020). The academic response to COVID-19. Frontiers in Public Health, 28 Oktober. Tersedia daring: https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fpubh.2020.621563/full

Sari, H. P. (2020). Kemenkes: Hingga 11 Oktober, ada 903 RS rujukan Covid-19 di Indonesia. Kompas, 12 Oktober. Tersedia daring: https://nasional.kompas.com/read/2020/10/12/17051061/kemenkes-hingga-11-oktober-ada-903-rs-rujukan-covid-19-di-indonesia

Scientific American (2020). Scientific American endorses Joe Biden. Scientific American, 1 Oktober. Tersedia daring: https://www.scientificamerican.com/article/scientific-american-endorses-joe-biden1/

The Economist (2020a). Britain’s government says it is “following the science”. Which science?. The Economist, 9 Mei. Tersedia daring: https://www.economist.com/britain/2020/05/09/britains-government-says-it-is-following-the-science-which-science

The Economist (2020b). The second wave of covid-19 has sent much of Europe back into lockdown. The Economist, 7 November. Tersedia daring: https://www.economist.com/ briefing/2020/11/07/the-second-wave-of-covid-19-has-sent-much-of-europe-back-into-lockdown

Tollefson, J. (2020a). How Trump damaged science — and why it could take decades to recover. Nature, 7 November. Tersedia daring: https://www.nature.com/articles/ d41586-020-02800-9

Tollefson, J. (2020b). Scientists aghast as hopes for landslide Biden election victory vanish. Nature, 4 November. Tersedia daring: https://www.nature.com/articles/d41586-020-03120-8

Widyanuratikah, I., Mursid, F., & Suryarandika, R. (2020). Pilkada di tengah pandemi dan sikap ambivalen pemerintah. Republika, 1 Oktober. Tersedia daring: https://republika.co.id/berita/qhioei328/pilkada-di-tengah-pandemi-dan-sikap-ambivalen-pemerintah

 

Catatan akhir

[1] https://www.worldometers.info/coronavirus/

[2] “Timeline: WHO’s COVID-19 response”, https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/interactive-timeline

[3] Kesejalanan ini juga dapat memantik diskusi lanjutan terkait cara pandang kita terhadap agama. Tawaran Kuntowijoyo (2004) untuk pengilmuan Islam menarik untuk ditinjau ulang. Baginya,

“Meyakini latar belakang agama yang menjadi sumber ilmu atau tidak, tidak menjadi masalah, ilmu yang berlatar belakang agama adalah ilmu yang objektif, bukan agama yang normatif.” (Kuntowijoyo [2004]:57).

[4] https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/transcripts/who-audio-emergencies-coronavirus-press-conference-full-20mar2020.pdf?sfvrsn=1eafbff_0

[5] Lihat misalnya kasus bentrok karena penutupan masjid di Bandung, https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/pr-01354367/ormas-formasi-penurun-maklumat-di-masjid-raya-bandung-meminta-maaf

[6] Lihat misalnya “Ombudsman cium indikasi komersialisasi rapid test Covid-19” https://nasional.tempo.co/read/1361193/ombudsman-cium-indikasi-komersialisasi-rapid-test-covid-19

Pengantar Buku Islam Indonesia 2021 yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada Pengurus Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia