Lebih Dekat dengan Mbah Halim!

Nama kecilnya Mohammad Sjatari, biasa dipanggil Otong Satori. Ini juga menjadi nama penanya. Nama yang kita kenal dalam sejarah Indonesia adalah K.H. Abdul Halim (1887-1962), nama yang dipakai oleh Otong Satori sepulang dari Mekah. Para santri dan keturunannya memanggilnya Mbah Halim. Beliau adalah pendiri Perikatan Umat Islam (PUI), yang kemudian berfusi bersama Perhimpunan Umat Islam Indonesia (PUII) menjadi Persatuan Umat Islam (PUI) pada 1952. Basis gerakan PUI berada di Majalengka. Pada April 1932, Mbah Halim mendirikan Santi Asromo, pondok pesantren di pinggiran Majalengka yang jauh dari kegaduhan kota. Sampai hari ini.

Saya, pada 3 November 2018, beruntung diberi kesempatan Allah menggunjungi Santi Asromo di Majalengka, Jawa Barat, setelah menandangani kesepakatan kerjasama dengan Universitas Majalengka (Unma). Perjalanan ke Santi Asromo ditemani oleh buyut (anak dari cucu) Mbah Halim. Di kompleks pesantren tersebut, saya juga bertemu dengan cucu Mbak Halim, K.H. Khalid Fadhullah yang sekarang berusia 84 tahun. Beliau ternyata alumni Universitas Islam Indonesia (UII) pada 1966, dengan nomor ijazah 012, ketika Rektor UII dijabat oleh Prof. Dr. Sardjito. Saya juga bertemu dengan beberapa buyut Mbah Halim yang lain.

Mbah Halim adalah salah satu pendiri UII yang berasal dari PUI. Bidan kelahiran UII adalah empat organisasi Islam pada masa sebelum kemerdekaan, yaitu Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), PUI, dan PUII yang tergabung dalam Masyumi. Ini adalah ikhtiar menyambung kembali tali sejarah UII dengan PUI yang terputus.

Mbah Halim sangat mengedepankan persatuan dalam berdakwah. Pada prasasti yang terpasang di kompleks pemakaman keluarga di Santi Asromo tertulis “Kami pesankan kepada sekalian yang akan melanjutkan perjuangan, utamakanlah budi perangai (akhlaq) ramah tamah dengan sesama manusia, terlebih-lebih sesama umat islam”. Karenanya, Mbah Halim menentang keras pendirian Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dianggapnya bertentangan dengan semangat persatuan.

Ulama Rujukan

Mbah Halim merupakan keturunan ke-39 dari Nabi Muhammad, atau 16 dari Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Meski demikian, Mbah Halim tidak mau dipanggil habib. Mbah Halim merupakan santri tulen dengan pemikiran yang melampaui zamannya.

Pengembaraannya dalam menuntut ilmu dari pesantren ke pesantren, dilanjutkan dengan belajar ke Mekah. Mbah Halim merupakan murid dari Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, yang juga merupakan guru dari K.H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dan K.H. Hasyim Asy’ari pembesut NU. Syekh Ahmad Khatib saat itu adalah mufti dan imam di Masjid Haram.

Semasa hidup Mbah Halim di Santi Asromo, banyak orang besar pemerintahan yang berkunjung ke pondok pesantrennya dengan berjalan kaki dari kota Majalengka sejauh belasan kilometer. Sampai saat ini pun, Santi Asromo tidak bisa diakses kendaraan besar seperti bis.

K.H. Khalid Fadhlullah, menceritakan bahwa Mohammad Natsir, yang waktu itu menjadi Menteri Penerangan, pernah menginap selama sepekan di Santi Asromo. Saya pun ditunjukkan kamar tempat menginapnya. Haji Agus Salim, yang saat itu menjadi Menteri Luar Negeri, juga pernah pernah sampai ke daerah ini. Juga dengan berjalan kaki. Kata K.H. Khalid, “Demikianlah seharusnya ulama, didatangi, bukan mendatangi.”

Mbah Halim juga dekat dengan Presiden Sukarno. Ketika sebelum kemerdekaan, Mbah Halim sering ke Jakarta, dan ketika ke Jakarta selalu membawa ubi. Ketika ditanya, Mbah Halim mengatakan bahwa ubi tersebut untuk Sukarno, yang saat itu menjadi Ketua Chuo Sangi In. Katanya, Sukarno tidak makan nasi. Dalam suratnya, Sukarno biasa memanggil Mbah Halim dengan Kang Mas. Mbah Halim anggota Chou Sangi In pada waktu itu, yang kemudian menjadi Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Mbah Halim ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2008.

Santri Lucu dengan Spirit Entrepreneurial

Mbah Halim sangat peduli dengan pendidikan. Beliau juga mempunyai kritik terhadap model pendidikan saat itu, sebelum kemerdekaan Indonesia. Menurut Mbah Halim, lulusan sekolah formal dan pondok pesantren tidak siap untuk berkarya. Mereka sangat tergantung dengan lowongan pekerjaan di pemerintahan. Lulusan pondok biasanya bekerja di sektor pendidikan, yang lowongannya tidak sanggup menampung semua lulusan. Akhirnya banyak dari mereka yang ketika pulang kampung menjadi petani, dan bahkan buruh tani.

Perenungan Mbah Halim mengantarkannya kepada model Pondok Pesantren Santi Asromo yang didirikan di pinggiran Majalengka. Selain belajar ilmu agama, para santri juga dibekali dengan keterampilan pertanian. Di sinilah Mbah Halim memperkenalkan konsep Santri Lucu, santri yang terampil memegang pena dan cangkul. Saat itu, pertanian adalah elan vital perekonomian bangsa. Jika kita bingkai dengan konsep kini, pemikiran Mbah Halim jelas melampai zamannya. Spirit entrepreneurial telah ditanamkan pada saat itu. Santi Asromo adalah tempat bertemunya sekolah formal, pendidikan agama, dan pelatihan keterampilan.

Ketika sebagian besar pondok pesantren cenderung menggunakan istilah Arab, Mbah Halim justru memberikan warna lokal di dalamnya. Nama Santi Asromo sudah mengindikasikan itu, yang berarti “tempat yang damai”. Diksi ini mengingatkan kita kepada arti darussalam. Asrama putra disebut Wismo Prio Nindito dn asrama putri dinamai Wismo Rini. Klinik yang ada di pondok pesantren diberi label Panti Mardhi Waluyo, dan pengasuhnya disebut Hamong.

Buku teks juga diperkenalkan. Pada saat itu, selain bahasa Arab, juga diajarkan bahasa Belanda dan Inggris. Meskipun mendapatkan penolakan, modernisasi lain juga ditunjukkan dengan penggunaan bangku dan papan tulis dalam pengajaran. Bangku, pada saat ini adalah simbol modernisasi pendidikan. Karenanya, tidak mengherankan jika, misalnya, lambang Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah juga menggunakan gambar bangku.

—–
Ditulis berdasar literatur dan kisah yang diceritakan oleh cucu Mbah Halim, K.H. Khalid Fadhlullah dan buyutnya Ustad Asep Zaky kepada Fathul Wahid, pada 3/11/2018 di Santi Asromo, Majalengka.