Menghadirkan Teori Sosial dalam Studi Islam

Pertama-tama, saya mengucapkan selamat atas capaian akademik tertinggi, yaitu jabatan profesor, yang baru saja diraih oleh Dr. Drs. Yusdani, M.Ag, dalam bidang Hukum Perdata Islam. Saya yakin, pencapaian ini merupakan hasil dari ketekunan panjang dalam dunia akademik—sebuah proses yang memerlukan kesabaran, konsistensi, dan kerja keras yang luar biasa.

Semoga capaian ini tidak hanya membawa berkah dan kebaikan bagi Prof. Yusdani pribadi, tetapi juga bagi Universitas Islam Indonesia, dan yang lebih penting, bagi masyarakat luas yang menjadi tujuan dari semua ikhtiar keilmuan kita.

Saya termasuk orang yang sangat bergembira saat mendengar kabar keluarnya surat keputusan profesor untuk Pak Yusdani. Salah satu alasannya sederhana, tapi sangat penting: keberlanjutan Program Studi Doktor Hukum Islam yang memang mensyaratkan kehadiran dua profesor. Dengan Prof. Amir Muallim yang telah purnatugas, kehadiran Prof. Yusdani melengkapi kembali komposisi tersebut. Kini, Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII) memiliki dua profesor aktif: Prof. Tamyiz Mukharram dan Prof. Yusdani.

Jika kita melihat secara lebih luas, sampai hari ini UII telah melahirkan 55 profesor, 49 di antaranya masih aktif. Dari 834 dosen UII, 286 telah menyelesaikan pendidikan doktoral, dan 118 telah menyandang jabatan Lektor Kepala. Ini artinya, kita memiliki barisan calon profesor masa depan yang cukup menjanjikan, bahkan 76 di antaranya sudah memenuhi syarat untuk diajukan ke jabatan tertinggi.

 

Pendekatan multidisiplin

Sekitar 19 tahun yang lalu, pada tahun 2006, saya mengikuti Rapat Kerja UII di Grand Wahid Hotel, Salatiga. Saat itu, Allahuyarham Prof. Zaini Dahlan—mantan Rektor UII dan UIN Sunan Kalijaga—menyampaikan gagasan yang hingga kini masih lekat dalam ingatan saya.

Pak Zaini mengajak para dosen Fakultas Ilmu Agama Islam untuk melengkapi perspektif keilmuannya dengan pendekatan dari disiplin lain, seperti sosiologi dan ilmu politik. Gagasan ini disampaikan dengan sangat singkat, tapi sarat makna. Ia terasa maju pada zamannya, apalagi ketika rezim akademik saat itu sangat menekankan linieritas disiplin.

Yang menarik, saya tidak ingat ada diskusi atau tanggapan terhadap gagasan tersebut di forum itu. Mungkin karena dianggap terlalu jauh dari kebiasaan saat itu, atau mungkin karena kita belum siap membuka ruang lintas disiplin dalam studi Islam.

Kini, hampir dua dekade kemudian, saya merasa inilah momen yang tepat untuk menghadirkan kembali gagasan Pak Zaini. Tidak hanya sebagai bentuk penghormatan atas pemikiran beliau, tetapi juga sebagai ikhtiar untuk terus menyegarkan arah pengembangan studi Islam.

Izinkan saya menafsirkan ulang gagasan “beragam ilmu lain” itu sebagai ajakan untuk melibatkan teori-teori sosial dalam studi Islam. Gagasan ini bukan hal baru di beberapa kampus Islam lain, tapi saya merasa penting untuk terus digaungkan, termasuk di lingkungan UII.

 

Beragam alasan

Sebelum melanjutkan. Diskusi ini bisa jadi tidak atau kurang relevan di konteks perguruan tinggi lain, yang sudah lama menghadirkan teori sosial dalam studi Islam.

Baik. Kenapa teori sosial? Saya ingin mengajukan lima alasan pokok:

Pertama, teori sosial membantu kita memahami praktik keagamaan umat Islam dalam konteks sosial dan budaya tempat mereka hidup. Teks keagamaan tidak hidup di ruang hampa. Ia ditafsirkan, dihayati, dan diamalkan dalam kerangka nilai, sejarah, dan norma masyarakat. Tanpa pemahaman sosial, studi keagamaan bisa kehilangan kedalaman.

Kedua, teori sosial memberi alat untuk menjelaskan dinamika perubahan dalam masyarakat muslim. Globalisasi, urbanisasi, hingga digitalisasi telah mengubah banyak hal dalam cara umat Islam memaknai dan menjalankan agamanya. Studi seperti yang dilakukan Bowen (2012), misalnya, menunjukkan bahwa praktik keislaman sangat kontekstual dan beragam. Sayangnya, keragaman ini sering kali tidak disadari, sehingga Islam sering direduksi menjadi satu bentuk saja—yang pada gilirannya menimbulkan kesalahpahaman, bahkan stigma.

Ketiga, teori sosial penting untuk memahami identitas dan konflik sosial yang melibatkan komunitas muslim. Dari konflik internal hingga diskriminasi di berbagai negara, semuanya tidak bisa dilepaskan dari persoalan kekuasaan, simbol, dan konstruksi sosial. Pengalaman saya mengikuti program Islam and Interfaith Dialogue di Jerman pekan lalu menunjukkan betapa kompleksnya isu integrasi sosial imigran muslim, bahkan bagi mereka yang sudah generasi kedua dan ketiga. Tanpa kacamata sosiologis, kita akan kesulitan memetakan masalah maupun merumuskan solusi (Cesari, 2013).

Keempat, penggunaan teori sosial membantu kita menghindari reduksionisme—khususnya yang terlalu menekankan teks dan melupakan konteks. Studi Islam yang sehat semestinya tidak hanya berbicara tentang “apa yang tertulis”, tetapi juga “bagaimana ia dipahami dan dijalankan dalam kehidupan nyata.” Ambil contoh dalam ekonomi Islam: gagasan distribusi yang adil tidak hanya bisa dijelaskan lewat dalil, tetapi juga lewat analisis ekonomi makro (Stiglitz, 2015) dan psikologi perilaku (Agil, 2007).

Kelima, teori sosial membuat studi Islam lebih relevan terhadap isu-isu kontemporer: hak asasi manusia, keadilan sosial, demokrasi, gender, dan lain-lain. Dunia terus berubah, dan agama ditantang untuk tetap hadir sebagai solusi. R20, forum dialog antaragama dunia yang digelar di Indonesia pada 2022 lalu, menjadi pengingat penting bahwa agama, termasuk Islam, dituntut menjawab persoalan global hari ini.

 

Islam Indonesia di kancah global

Bagi saya pribadi, gagasan ini juga penting dari sudut pandang representasi keilmuan. Saat saya menelusuri portal buku digital seperti Perlego.com dengan kata kunci Islam Indonesia, saya menemukan sekitar 142 buku. Namun dari jumlah itu, sangat sedikit yang ditulis oleh akademisi Indonesia. Ini hanya sebuah anekdot, tapi cukup untuk menunjukkan tantangan kita: bagaimana menjadikan kajian Islam Indonesia lebih bergaung di kancah global.

Saya yakin, keterbukaan terhadap teori sosial akan membantu menjembatani celah itu. Ia menjadikan studi Islam lebih kontekstual, lebih komunikatif, dan lebih siap untuk berdialog dengan dunia luar.

Tentu saja, pendekatan ini bukan satu-satunya jalan. Masih banyak pendekatan lain yang bisa ditempuh, termasuk usaha kontekstualisasi ulang terhadap khazanah turats untuk membaca realitas kontemporer. Tapi saya percaya, membuka ruang interaksi dengan ilmu sosial bukanlah bentuk kompromi, melainkan upaya memperkaya. Karena pada dasarnya, agama dan ilmu sosial sama-sama bicara tentang manusia dan masyarakat.

Semoga gagasan ini bisa menjadi bahan renungan dan diskusi yang bermanfaat.

 

Referensi

Bowen, J. R. (2012). A new anthropology of Islam. Cambridge University Press.

Cesari, J. (2013). Why the west fears Islam: An exploration of Muslims in liberal democracies. Palgrave Macmillan.

Stiglitz, J. E. (2015). The great divide: Unequal societies and what we can do about them. WW Norton & Company.

Syed Agil, S. O. (2007): Psychological behavior and economics: the need for new theories and redefinition of basic concepts in Islamic economics. Universiti Tun Abdul Razak E-Journal , 3(1), 76-90.

 

Sambutan Rektor Serah Terima Surat Keputusan Jabatan Akademik Profesor Dr. Drs. Yusdani, M.Ag, Universitas Islam Indonesia, 15 Mei 2025

 

Fathul Wahid

Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026