Mengkaji Proses Panjang Konsolidasi Demokrasi di Indonesia

Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) dalam rangka memperingati ulang tahunnya yang ke-15, menyelenggarakan Kuliah Umum yang bertemakan “Konsolidasi Demokrasi dan Agenda Pemilu 2024” pada Rabu, (16/2), melalui zoom meeting online. Kuliah Umum menghadirkan Prof. Yusril Ihza Mahendra yang merupakan Guru Besar Hukum Tata Negara sebagai pemateri.

Dalam pemaparannya, Prof. Yusril menyampaikan bahwa demokrasi adalah sebuah sistem yang sulit, memakan cukup banyak waktu dan juga biaya. Berbeda dengan sistem diktator yang lebih simple dan sederhana, karena tertumpu pada satu kekuasaan. Proses demokrasi yang rumit dan bertele-tele ini, pada proses panjang sejarah Indonesia kemudia membuat Ir. Soekarno tidak puas dan merasa perlu untuk membuat suatu demokrasi yang terpimpin.

Prof. Yusril menjelaskan, demokrasi harus dijalankan dengan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dalam permusyawaratan perwakilan. Namun, pada praktiknya pola demokrasi terpimpin ini juga tidak lebih baik dan bahkan menimbulkan banyak benturan dari berbagai pihak. Dengan demikian, demokrasi hingga saat ini tetap menjadi suatu sistem terbaik dalam suatu pemerintahan, bila dibandingkan dengan sistem pemerintahan lainnya.

Menurut Prof. Yusril, demokrasi adalah suatu sistem yang terus berkembang dari masa ke masa. Jika melihat pada sejarah berdirinya negara Indonesia, demokrasi banyak diartikan dengan hal yang berbeda-beda oleh para pandiri. Ada yang memandang demokrasi akan terwujud apabila Indonesia menggunakan sistem kerajaan, namun tak sedikit juga yang setuju demokrasi Indonesia akan terwujud dengan sistem republlik.

“Bahkan para pendiri dari kaum muslimin, Bapak Sukiman menyatakan bahwa melihat pada perkembangan Islam yang awal, di masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, sistem pemerintahan Islam itu lebih mendekati sebuah republic dibanding sebuah kerajaan. Inilah yang kemudian menjadi dasar pembentukan Negara Republik Indonesia hingga saat ini,” terang Prof. Yusril.

Prof. Yusril mengatakan, pemikiran yang menunjukkan asli Indonesia adalah pemikiran yang didasari pada adat dan dipengaruhi oleh Islam. Salah satu tokoh pendiri yang memiliki pemikiran ini adalah Bapak Soepomo. Salah satu contohnya, Bapak Soepomo pernah menyatakan bahwa urusan nikah, talak rujuk, waris, hibah, wasiat, pada waktu itu diurus oleh Kementerian Kehakiman. Hal ini menggambarkan bahwa urusan agama tidak pernah terpisahkan dengan konsep pemerintahan yang ada di Indonesia.

Prof. Yusril berpendapat, demokrasi yang baik adalah yang dapat mencerminkan seluruh rakyat Indonesia. Dalam suatu kabinet harus ada perwakilan dari setiap elemen rakyat Indonesia, termasuk juga adanya perwakilan dari berbagai suku yang ada di Indonesia seperti suku dayak, bugis, dll. Selain itu, seiring dengan adanya perkembangan demokrasi di Indonesia, sistem pemilihan calon pemilihan juga berkembang. Ketika berakhirnya Perang Asia Timur Raya, MPR kemudian bersidang untuk menetapkan kembali Undang-Undang Dasar 1945.

Pada saat itulah, lanjut Prof. Yusril, kemudian masyarakat Indonesia pada akhirnya juga berbondong-bondong untuk membentuk partai yang digunakan sebagai wadah untuk mempersiapkan para calon pemimpin di Indonesia. Diantaranya seperti PKI, PNI, dan Masyumi. Pada masa ini, Islam terus memiliki pengaruh yang sangat kuat pada sistem pemerintahan Indonesia.

Prof. Yusril berpendapat, sepanjang perkembangan demokrasi di Indonesia, umat muslim memiliki peran yang cukup penting dalam proses sejarah panjang negara di Indonesia. Bahkan salah satu partai umat muslim yakni Masyumi juga merupakan partai yang cukup kuat pada masa kemerdekaan. “Islam di Indonesia itu telah dan sedang, serta masih akan tetap terus memberikan corak dan warna bagi negara Republik Indonesia,” tandasnya. (EDN/RS)