,

Mengulik Perspektif Psikologi Dari Peristiwa Duka di Stadion Kanjuruhan

Kerusuhan yang terjadi pada 1 Oktober 2022 lalu di tengah Stadion Kanjuruhan, Malang masih menyisakan duka mendalam bagi insan sepak bola tanah air. Kejadian itu tentu sangat mempengaruhi para suporter dan orang-orang yang menjadi korban dari berbagai sisi, salah satunya psikologis. Dr.Phil. Qurotul Uyun, S.Psi., M.Si., salah satu dosen Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia (UII) mencoba mengurainya. Qurotul Uyun sendiri mengaku sangat prihatin atas kejadian yang menimpa dunia sepak bola Indonesia.

Dikatakannya, situasi yang ramai di dalam stadion cenderung membuat para suporter untuk lebih reaktif. “Jadi, memang namanya kalau di kerumunan itu emosinya meningkat dan identitasnya berubah. Dari identitas individu menjadi identitas massa (kelompok),” ungkap Qurotul Uyun. 

Pola perilaku penonton yang reaktif itu timbul dari aspek yang beragam. Salah satunya mungkin seperti permasalahan yang ada di sekitar. Apa yang dilakukan oleh segelintir penonton dapat menjadi pemicu penonton lain mengikutinya.

Qurotul Uyun juga menyoroti proses penanganan massa ketika terjadi apa yang disebut sebagai kerusuhan di Kanjuruhan. Menurutnya, tindakan penyemprotan gas air mata, komando yang minim, serta instruksi yang kurang jelas membuat psikologis penonton mengalami tekanan. Dalam ranah psikologi sosial, menurutnya ketika ada pihak yang menggunakan senjata dalam situasi massa, hal itu dapat membuat penonton bingung dan panik.

Kendati demikian, ketika terjebak dalam situasi yang genting, pengendalian diri menjadi teramat penting. Hal itu untuk dapat membuat kondisi dan pikiran menjadi lebih tenang dalam bertindak.

Dampak dan Penanganan Psikologis

Kejadian di Kanjuruhan beberapa waktu lalu dapat menimbulkan dampak psikologis tersendiri. Dampak psikologis terbesar adalah pada keluarga korban yang ditinggalkan. Dicontohkan oleh Qurotul, seorang Ibu misal yang harus kehilangan anaknya ketika menonton. Hal itu akan menimbulkan trauma tersendiri bagi Ibu dan keluarganya. “Yang ditinggalkan akan mengalami kehilangan tiba-tiba itu sangat berat,” tuturnya.

Selain itu, biasanya juga akan muncul perasaan self blaming atau menyalahkan diri sendiri atas peristiwa yang menimpa anggota keluarganya. Perasaan seperti ini, seandainya ia bisa melarang anggota keluarganya untuk tidak menonton pertandingan, maka mungkin mereka masih selamat. Perasaan itu jika tidak ditangani dengan baik akan berdampak buruk bagi pemulihan psikologis keluarga korban.

Untuk menangani hal tersebut, diperlukan usaha untuk melihat seberapa besar dampak psikologis yang ada. Dampak dari trauma itu sendiri bisa berupa depresi, cemas, dan stress. Sementara  jika depresi menjadi berkepanjangan,  orang dapat mengalami gangguan kejiwaan lebih berat.

Qurotul menganggap kesedihan akibat peristiwa ini tentu tidak dapat dihindarkan. Hal itu menurutnya menjadi sebuah kewajaran pada setiap manusia. Akan tetapi yang perlu diperhatikan lebih dalam adalah seberapa cepat orang tersebut dapat bangkit. “Sedih itu wajar, tetapi setiap orang akan ada yang cepat bangkit kembali, ada pula dalam jangka waktu tertentu,  dan ada yang  membutuhkan waktu lebih lama, ada pula yang berlanjut menjadi gangguan psikologis,” paparnya.

Penanganan psikologis menjadi penting ketika seseorang sulit untuk bangkit. Dalam ranah psikologi terdapat istilah dukungan sosial yang dapat memberikan penyangga bagi orang yang mengalami tekanan. Dukungan moral dari teman terdekat menjadi teramat penting di situasi yang segenting itu. “Mereka butuh support psikologis dari sahabat, saya kira itu baik untuk memberikan dukungan. Mereka butuh teman untuk bercerita,” jelas Qurotul.

Ketika dukungan moral telah dilakukan, tentu harapannya kesedihan dan trauma dapat perlahan dikurangi. Orang yang mengalami musibah membutuhkan teman berbagi (curhat), kemudian didengarkan dan diberikan dukungan, biasanya akan berangsur-angsur  membaik. Hal itu terjadi untuk orang-orang yang kena musibah pada umumnya. 

Tapi, mungkin pada orang tertentu, dukungan orang dekat (significant others) tidak cukup membantu untuk bangkit,  sehingga kemungkinan orang tersebut membutuhkan penanganan psikologis, berarti dia harus dirujuk ke psikolog,” tambah Qurotul.

Pendekatan Religius

Pada akhirnya, penanganan melalui pendekatan religius juga menjadi sangat penting untuk dilakukan. Penting untuk setiap orang dapat merefleksikan peristiwa kehilangan. Dari peristiwa kehilangan, perlu disadari bahwa yang diharapkan oleh orang yang sudah meninggal itu hanyalah doa, bukan ratapan yang berkepanjangan,” lanjutnya.

Agama mengajarkan manusia untuk bersabar dalam menghadapi musibah, serta mengambil hikmah. Menurut Qurotul, hal yang sebaiknya dilakukan adalah menjadikan musibah sebagai ujian dari Allah, kemudian dikembalikan semuanya kepada-Nya. Memperbanyak istighfar, sehingga ada makna yang dapat dipetik dari musibah. Bisa jadi, ujian-ujian itulah yang menjadi titik balik sehingga menyebabkan orang tersebut berkembang lebih baik dari sebelumnya.

Terakhir, Qurotul juga menunjukkan rasa empati terhadap korban dan keluarga yang ditinggalkan. Semoga dari peristiwa ini, ada hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik untuk semua pihak. Harapannya ke depan, pertandingan sepak bola perlu dievaluasi, sehingga menjadi momen yang penuh dengan sportivitas, persahabatan, dan menjadi tontonan yang menghibur masyarakat, sehingga tidak terjadi tragedi seperti ini lagi. Peristiwa ini sungguh memprihatinkan dan menyedihkan,” tutupnya. (KR/ESP)