,

Mewaspadai Gejala Gangguan Ginjal Akut Pada Anak

Saat ini di dunia kesehatan dihebohkan dengan munculnya gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGGPA). Per 23 Oktober 2022 dilaporkan dari 245 kasus di Indonesia sebanyak 16% sembuh, 27% dalam perawatan, dan 57% meninggal dunia. Tersebar di 26 provinsi dengan kasus terbanyak di DKI Jakarta. Sebenarnya GGGPA sudah ditemukan sejak bulan Januari 2022. GGPA dapat muncul pada rentang usia 0-18 tahun (mayoritas balita) dengan keluhan utama demam dan infeksi selama 14 hari terakhir. Saat pemeriksaan didapatkan adanya radang ginjal tanpa pernah mengalami kelainan ginjal sebelumnya. Sehingga mendapatkan diagnosis gangguan ginjal akut yang belum diketahui penyebabnya. 

“Gagal ginjal akut anak merupakan kondisi serius, sehingga perlu tindakan yang cepat,” jelas dr. RR. Dewi Sitoresmi A, Sp.A, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) pada acara webinar daring Pengabdian Masyarakat FK UII pada Sabtu (29/10).

Para orang tua cemas dengan berita yang beredar, terutama di media sosial. Ternyata GgGA anak bukanlah penyakit baru. GgGA didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal secara mendadak. Tandanya meliputi penurunan produksi urin yang menyebabkan penumpukan racun di tubuh, seperti ureum dan kreatinin darah.

Dia menjelaskan bahwa penyebab GgGA anak sangat beragam. Mulai dari kekurangan cairan (dehidrasi), perdarahan, luka bakar, gagal jantung, infeksi berat, batu ginjal, dan toksin endogen. “Ethylene glycol masuk termasuk toksin endogen,” jelasnya.

Secara medis standar diagnosis yang ditetapkan oleh Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO)2012, GgGA dibagi menjadi tiga stadium. Stadium 1 ditandai dengan peningkatan kreatinin serum 1.5-1.9x dari kadar normal dan pengurangan urin yang keluar <0.5ml/kg/jam selama 6-12 jam. Menyusul stadium 2 ditandai dengan peningkatan 2-2.9x kadar normal kreatinin dan urin keluar berkurang <0.5ml/kg/jam selama lebih dari 12 jam. Stadium 3 yang mengkhawatirkan ditandai dengan peningkatan kadar kreatinin serum sebesar 3x dari normal dan tidak mengeluarkan urin sama sekali lebih dari 12 jam.

“Saat stadium tiga, maka anak tersebut butuh perawatan cuci darah,” tambahnya.

Menurut Dewi, fakta di lapangan anak yang datang dengan GgGA ke perawatan kesehatan biasanya sudah memasuki stadium tiga. Sifat dari stadium tiga sendiri adalah berat dan progresif, sehingga risiko kematian sangat tinggi. Jika penanganan awal tidak ditangani dengan baik maka risiko jangka panjangnya dapat terjadi penyakit ginjal kronik (gagal ginjal). Angka kejadiannya sendiri di dunia cukup tinggi sekitar 26.9% menurut Assessment of Worldwide Acute Kidney Injury, Renal Angina, and Epidemiology (AWARE).

Cara memastikan seorang anak terkena GgGA, tambahnya, terdiri dari kriteria KDIGO di atas dan monitor produksi urin. Setelahnya adalah pencarian penyebab dari GgGA melalui pemeriksaan laboratorium (darah lengkap, darah tepi, urinalysis), pencitraan (USG, CT Scan, MRI), dan biopsi ginjal jika diperlukan.

Hal yang bisa dilakukan saat anaknya demam dikarenakan masih perlu pengecekan pasti edaran obat yang aman, maka bisa melakukan hal-hal sebagai berikut: pastikan kebutuhan cairan anak terpenuhi, kompres air hangat, istirahat, konsumsi makanan bergizi, dan meminum obat-obatan selain sirup. Segera larikan anak ke rumah sakit jika ditemui tanda urin berkurang/tidak sama sekali kencing, sesak napas, bengkak, dan kejang/penurunan kesadaran. (UAH/ESP)