Ketika kami berdua mendiskusikan soal budaya membaca, seorang sahabat bertanya secara retoris kepada saya, “Apakah kawan-kawan tidak punya kegelisahan, ya?”. Timpal saya dengan setengah bercanda, “Mungkin kawan-kawan kita sudah mempunyai jawaban untuk banyak hal.” Sahabat ini merespons sambil tersenyum, “Tenane?”. Jangan-jangan kami berdua yang salah membaca keadaan.
Obrolan ringan kami pun berlanjut. Tidak selalu mendiskusikan hal penting menurut banyak orang. Kami berdua mempunyai kebiasaan saling menghadiahi buku. Oleh-oleh perjalanan tidak dalam bentuk kudapan, tetapi asupan untuk menjawab beragam kegelisahan.
Komitmen membaca
Ketika membuat tulisan ini, saya teringat seorang kawan ketika kuliah dulu, sekitar 30 tahun yang lalu. Dia merasa berdosa ketika tidak mengalokasikan waktu membaca setiap hari. Ucapan itu dibuktikannya. Saya terinspirasi, meski belum bisa segalak itu.
Akhirnya, sebuah ritual kecil kami buat. Setiap pekan mendiskusikan satu buku, yang dipresentasikan oleh kawan-kawan secara bergantian. Ritual kecil menjadikan setiap pesertanya seakan membaca sebuah setiap pekannya. Kegiatan tersebut kami jalankan di sebuah masjid di Jl. Sancang, Bandung. Alhamdulillah ikhtiar tersebut berjalan beberapa kali, meski akhirnya harus gulung tikar juga.
Membudayakan membaca ternyata memang berat. Dalam konteks Indonesia, tidak terkecuali. Sebagian orang berdalih, karena budaya kita adalah budaya lisan. Bisa jadi ada benarnya. Tetapi untuk dunia akademik, bagaimana budaya lisan bisa membantu penyebaran ilmu pengetahuan dengan efektif?
Tanpa berpikir panjang, sebagian orang mungkin langsung menukas, “Itu, tradisi di pondok pesantren, para kiai menyampaikan ilmu dengan lisan”. Eit, tunggu dulu! Para kiai yang menyampaikan banyak hal berat dengan kemasan sederhana itu, bermula dari bacaan yang dahsyat. Berikut ada beberapa ilustrasi.
Kiai saya di Kudus, Almarhum Mbah Yai Ma’ruf Irsyad ketika akan memberikan ceramah atau khotbah, biasanya membaca beberapa kitab di ruang tamu. Persiapan dilakukan dengan serius. Khotbahnya yang terdokumentasi dalam bentuk tulisan. Sebagiannya masih terlacak dan dirangkum menjadi bagian buku biografi Beliau, yang disiapkan oleh para santrinya.
Sewaktu sowan ke Gus Baha di Rembang, saya temukan anotasi di papan putih di ruang tamu dalam bahasa Arab. Saya tanyakan ke adiknya, Gus Fuad, “Siapa yang menulis?”. Ternyata itu tulisan Gus Baha sendiri. Ketika kami berdiskusi, juga terungkap, ceramah Gus Baha yang terkesan sederhana itu, berasal dari perenungan yang mendalam. Gus Baha sendiri yang menyampaikan ke saya. Semuanya itu tak mungkin tanpa belanja perspektif dengan membaca. Saya juga sempat diundang masuk ke perpustakaan pribadinya, yang terhubung dengan ruang tamu.
Perintah membaca
Jangan lupa, tradisi mengaji di pondok pesantren juga banyak didasarkan pada kitab klasik (turats) yang merupakan warisan tradisi menulis. Tradisi menulis tidak akan pernah terbentuk tanpa budaya membaca yang baik. Membaca dan menulis ibarat dua sisi koin yang sama.
Bagi seorang muslim, perintah membaca sudah sangat jelas. Bahkan wahyu pertama juga soal membaca.
Daftar manfaat dari membaca bisa kita buat dan sangat panjang. Di dalamnya ada mendapatkan pengetahuan baru, memperluas perspektif, menambah kosa-kata, meningkatkan nalar kritis, dan mengasah kemampuan menulis. Jika ingin ditambah, di sana ada memperbaiki daya ingat, menstimulasi imajinasi, dan juga mengurangi stres.
Tetapi apakah membaca, dengan keragaman tafsirnya, sudah menjadi tradisi di kalangan muslim? Kita bisa refleksikan masing-masing secara jernih dan jujur.
Semoga kita terus mempunyai kegelisahan untuk dijawab. Membaca adalah salah satu pintu mendapatkan jawaban tersebut.
Tulisan sudah tayang di UIINews edisi Juli 2024.
UII Terima Kunjungan Kerja Dari Dewan Guru Besar Universitas Indonesia
Universitas Islam Indonesia (UII) menerima kunjungan kerja dari Dewan Guru Besar (DGB) Universitas Indonesia (UI) pada Selasa (6/8) di Gedung Sardjito Kampus Terpadu UII. Hadir dalam pertemuan ini Rektor UII Fathul Wahid, Ketua Majelis Guru Besar (MGB) UII Prof. Ir. Moch. Teguh, MSCE, Ph.D., jajaran MGB UII, serta para wakil rektor dan dekan dilingkungan UII. Sementara dari UI turut hadir Ketua DGB UI Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., Ph.D. Read more
Rektor UII Kembali Dilantik Sebagai Ketua APTISI Wilayah V
Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menggelar Pelantikan Pengurus Masa Bakti 2023-2027 bertempat di Universitas Amikom Yogyakarta pada Senin (5/8). Pelantikan Pengurus ini juga secara resmi mengangkat Rektor UII, Fathul Wahid sebagai Ketua APTISI Wilayah V DIY untuk kedua kalinya. Read more
Jalan Sehat Milad ke-81 UII Berlangsung Semarak
Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan kegiatan Jalan Sehat dalam rangka peringatan Milad ke-81 yang mengusung tema “Dedikasi untuk Negeri”. Acara yang digelar pada Minggu (4/8) di Kampus Terpadu UII ini berlangsung semarak dengan diikuti sekitar 10.000 peserta yang terdiri dari dosen dan tenaga kependidikan (tendik) beserta keluarga inti, purna tugas, serta tamu undangan dari tokoh masyarakat dan mitra UII. Read more
Membaca Kegelisahan
Ketika kami berdua mendiskusikan soal budaya membaca, seorang sahabat bertanya secara retoris kepada saya, “Apakah kawan-kawan tidak punya kegelisahan, ya?”. Timpal saya dengan setengah bercanda, “Mungkin kawan-kawan kita sudah mempunyai jawaban untuk banyak hal.” Sahabat ini merespons sambil tersenyum, “Tenane?”. Jangan-jangan kami berdua yang salah membaca keadaan.
Obrolan ringan kami pun berlanjut. Tidak selalu mendiskusikan hal penting menurut banyak orang. Kami berdua mempunyai kebiasaan saling menghadiahi buku. Oleh-oleh perjalanan tidak dalam bentuk kudapan, tetapi asupan untuk menjawab beragam kegelisahan.
Komitmen membaca
Ketika membuat tulisan ini, saya teringat seorang kawan ketika kuliah dulu, sekitar 30 tahun yang lalu. Dia merasa berdosa ketika tidak mengalokasikan waktu membaca setiap hari. Ucapan itu dibuktikannya. Saya terinspirasi, meski belum bisa segalak itu.
Akhirnya, sebuah ritual kecil kami buat. Setiap pekan mendiskusikan satu buku, yang dipresentasikan oleh kawan-kawan secara bergantian. Ritual kecil menjadikan setiap pesertanya seakan membaca sebuah setiap pekannya. Kegiatan tersebut kami jalankan di sebuah masjid di Jl. Sancang, Bandung. Alhamdulillah ikhtiar tersebut berjalan beberapa kali, meski akhirnya harus gulung tikar juga.
Membudayakan membaca ternyata memang berat. Dalam konteks Indonesia, tidak terkecuali. Sebagian orang berdalih, karena budaya kita adalah budaya lisan. Bisa jadi ada benarnya. Tetapi untuk dunia akademik, bagaimana budaya lisan bisa membantu penyebaran ilmu pengetahuan dengan efektif?
Tanpa berpikir panjang, sebagian orang mungkin langsung menukas, “Itu, tradisi di pondok pesantren, para kiai menyampaikan ilmu dengan lisan”. Eit, tunggu dulu! Para kiai yang menyampaikan banyak hal berat dengan kemasan sederhana itu, bermula dari bacaan yang dahsyat. Berikut ada beberapa ilustrasi.
Kiai saya di Kudus, Almarhum Mbah Yai Ma’ruf Irsyad ketika akan memberikan ceramah atau khotbah, biasanya membaca beberapa kitab di ruang tamu. Persiapan dilakukan dengan serius. Khotbahnya yang terdokumentasi dalam bentuk tulisan. Sebagiannya masih terlacak dan dirangkum menjadi bagian buku biografi Beliau, yang disiapkan oleh para santrinya.
Sewaktu sowan ke Gus Baha di Rembang, saya temukan anotasi di papan putih di ruang tamu dalam bahasa Arab. Saya tanyakan ke adiknya, Gus Fuad, “Siapa yang menulis?”. Ternyata itu tulisan Gus Baha sendiri. Ketika kami berdiskusi, juga terungkap, ceramah Gus Baha yang terkesan sederhana itu, berasal dari perenungan yang mendalam. Gus Baha sendiri yang menyampaikan ke saya. Semuanya itu tak mungkin tanpa belanja perspektif dengan membaca. Saya juga sempat diundang masuk ke perpustakaan pribadinya, yang terhubung dengan ruang tamu.
Perintah membaca
Jangan lupa, tradisi mengaji di pondok pesantren juga banyak didasarkan pada kitab klasik (turats) yang merupakan warisan tradisi menulis. Tradisi menulis tidak akan pernah terbentuk tanpa budaya membaca yang baik. Membaca dan menulis ibarat dua sisi koin yang sama.
Bagi seorang muslim, perintah membaca sudah sangat jelas. Bahkan wahyu pertama juga soal membaca.
Daftar manfaat dari membaca bisa kita buat dan sangat panjang. Di dalamnya ada mendapatkan pengetahuan baru, memperluas perspektif, menambah kosa-kata, meningkatkan nalar kritis, dan mengasah kemampuan menulis. Jika ingin ditambah, di sana ada memperbaiki daya ingat, menstimulasi imajinasi, dan juga mengurangi stres.
Tetapi apakah membaca, dengan keragaman tafsirnya, sudah menjadi tradisi di kalangan muslim? Kita bisa refleksikan masing-masing secara jernih dan jujur.
Semoga kita terus mempunyai kegelisahan untuk dijawab. Membaca adalah salah satu pintu mendapatkan jawaban tersebut.
Tulisan sudah tayang di UIINews edisi Juli 2024.
PBI UII Melepas 46 Mahasiswa Untuk Program Mobilitas Nasional dan Internasional
Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar acara pelepasan mahasiswa yang mengikuti program Mobilitas Nasional dan Internasional (PKKM, Global Engagement Grant, dan Mandiri) pada Rabu, 31 Juli 2023. Acara pelepasan yang diselenggarakan di ruang Audiovisual Gedung Perpustakaan UII ini dihadiri oleh pimpinan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB), dosen PBI UII, dan mahasiswa yang telah lolos seleksi program Mobilitas Nasional dan Internasional. Read more
Karya Kolaborasi Mahasiswa dari Lima Negara Dipamerkan Dalam “Learning from Mangunwijaya”
Tergerak dari kontribusi Mangunwijaya, penggagas dan kurator platform internasional dari Jerman “Encounters with Southeast Asian Modernism”, Sally Below, urbanis, dan Moritz Henning, arsitek, dengan dukungan dari Kantor Luar Negeri Republik Federal Jerman, menginisiasi proyek “Learning from Mangunwijaya”. Kegiatan yang terselenggara atas kerja sama dengan Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia (UII) ini diikuti lebih dari 50 mahasiswa dari tujuh universitas di lima negara (India, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand), serta kurator dari Jerman dan Indonesia.
Read more
UII Perkuat Kemitraan dengan Jerman
Sebagai perguruan tinggi nasional di Indonesia yang berdiri sejak 1945, Universitas Islam Indonesia (UII) kian konsisten dalam menguatkan upaya peningkatan dampak di tingkat global melalui kemitraan. Hingga 2024, UII telah merajut kemitraan dengan ratusan instansi pemerintah, lembaga, dan perguruan tinggi yang terjalin di 32 negara, termasuk salah satunya di Jerman.
Read more
UII Menjadi Penyelenggara Annual Meeting APBISDI 2024
Program Studi Bisnis Digital Sarjana Terapan Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar annual meeting Asosiasi Profesi dan Pendidikan Bisnis Digital (APBISDI) 2024 dengan mengangkat tema “Developing Small Medium Enterprises (SMEs) Community Through Digital Business” pada Kamis (1/8) di Gedung Sardjito Kampus terpadu UII. Read more
Wisudawan UII Diminta Berikhtiar Dengan Cara Terbaik
Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menggelar wisuda jenjang Doktor, Sarjana, dan Diploma pada Sabtu-Minggu (27-28/7) di Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir. Pada periode VI Tahun Akademik 2023/2024 ini, UII mewisuda 970 lulusan terdiri dari 2 doktor, 78 magister, 868 sarjana, 18 sarjana terapan, dan 4 ahli madia. Tercatat hingga periode kelulusan ini UII telah memiliki 127.042 alumni.
Read more
Laboratorium Mahasiswa UII Lolos Pendanaan PPK Ormawa
Tim Laboratorium Mahasiswa (LabMa) Universitas Islam Indonesia (UII) sukses meraih pendanaan pada Program Penguatan Kapasitas Organisasi Kemahasiswaan (PPK Ormawa) 2024, kegiatan pemberdayaan masyarakat oleh ormawa yang digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbud Ristek) Republik Indonesia. Read more