Perguruan Tinggi dan Masa Depan Kebangsaan

Di saat seperti sekarang, ketika batas imajiner antarnegara semakin kabur melalui proses globalisasi, mendiskusikan isu kebangsaan yang berfokus pada negara sendiri, memerlukan argumen yang kuat. Beberapa pertanyaan pemantik diskusi bisa dimunculkan. Yang paling mendasar adalah: apakah masih relevan atau mengapa penting? Lanjutannya: jika ya, bagaimana mengemas kedua isu ini dalam ramuan yang bisa berjalan bersama; terlibat sebagai pemain dalam globalisasi tetapi sekaligus merawat rasa kebangsaaan (nasionalisme) yang tinggi.

Saya yakin beragam formulasi kemasan bisa muncul. Salah satunya adalah, tanpa rasa kebangsaan yang tinggi, sulit untuk bisa berperan sebagai pemain global yang disegani. Atau, dengan bahasa lain, jika masalah dalam negeri saja masih menumpuk, bagaimana membayangkan menjadi pemain global yang signifikan? Pilihannya tidak banyak: kita ikut berkompetisi dan berkontribusi atau melakukan proteksi. Isu ini di luar kapasitas saya untuk mengupasnya.

 

Masalah bangsa dan kebangsaan

Nampaknya tidak perlu berdebat panjang, untuk bersepakat bahwa kita sebagai bangsa masih mempunyai pekerjaan rumah yang besar. Kesejahteraan bangsa dan keadilan untuk semua hanya dua di antaranya. Tentu, kita bisa memperpanjang daftar ini, termasuk isu korupsi, potensi oligarki, demokrasi yang terancam layu sebelum berkembang, dan lain-lain.

Isu-isu ini relevan mengisi ruangan diskusi tentang masa depan kebangsaan. Semuanya itu adalah isu berat yang tidak selesai dengan pemikiran sesaat.

Mata dan telinga kita yang peduli dengan beragam perkembangan yang ada, tidak kalis dari beragam kegundahan terkait masa depan kebangsaan kita. Seminar yang digagas hari ini, adalah salah satu ikhtiar mendesain masa depan kebangsaan kita.

Dengan kaca mata awam, saya melihat beberapa sebab yang bisa ditelusur dan didiskusikan.

Pertama, euforia reformasi sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, tidak dibarengi kedewasaan para aktornya, dan bisa jadi termasuk kita. Kebebasan yang dituai ketika Orde Baru tumbang, tidak dibarengi dengan kendali diri yang memadai. Akhirnya yang terjadi adalah kebebasan nirbatas yang tuna tanggung jawab.

Kedua, rasa asabiah atau fanatisme kelompok yang kembali menguat dengan niat penyeragaman dan menjadikan kelompok sebagai satu-satunya penjuru. Residu kontestasi politik beberapa tahun silam nampaknya tidak semakin memudar, tetapi justru semakin menumpuk. Rasanya bukan tanpa alasan, jika sebagian dari kita akhirnya merasa, bahwa Indonesia, kita belum selesai menjadi sebuah negara-bangsa. Atau, dalam perspektif yang lebih positif, rasa kebangsaan kita selalu memerlukan kontekstualiasi baru ketika lingkungan atau tantangan berubah.

Yang jelas, sudah terlalu banyak energi kolektif bangsa yang bocor. Ini adalah masalah serius bangsa ini.

Akibat yang kasat mata termasuk ujaran kebencian yang marak dan perundungan dengan segala macam bentuknya yang membudaya. Ujungnya, banyak dari kita menjadi masokhis sosial yang tuna empati. Kehinaan kelompok lain seakan menjadi syarat kemuliaan kelompoknya. Media sosial yang disalahgunakan memperparah kondisi ini. Para ekstremis politik bahkan memanfaatkannya untuk agitasi dan saling mengadu domba sesama anak bangsa.

Sebagai pelipur lara, Indonesia tidak sendirian. Banyak negara di luar sana, yang mengalami dan meratapi nasib serupa, ketika polarisasi sosial semakin mengangga. Tentu, ini bukan akan alasan untuk melanggengkan praktik-praktik antikedamaian ini.

Tentu, tidak semua potret Indonesia yang kita cintai bersama ini, sepenuhnya buram. Ada banyak sisi lain yang menjadikan kita masih optimis menatap masa depan. Masih banyak orang baik dan energi positif yang tersebar di luar sana. Mendesain masa depan bangsa dan kebangsaan memerlukan kerja kolektif antaraktor. Perguruan tinggi (PT) dengan segenap warganya bisa menjadi salah satu aktornya.

 

Merumuskan peran PT

Saya percaya banyak hal yang bisa dilakukan oleh PT untuk merawat masa depan bangsa dan kebangsaan.

Pertama, PT bisa menjadi perekat perbedaan. Kebinekaan adalah fakta sosial di Indonesia yang tidak bisa diabaikan begitu saja, tetapi justru harus dipandang sebagai kekayaan bersama. Keragaman tersebut harus dirayakan dan tidak diberhangus dengan penyeragaman. Penguatan identitas nasional tidak lantas diartikan dengan penghilangan identitas lokal.

Nampaknya, kita juga tidak sulit untuk bersepakat jika identitas nasional harus lebih menonjol. Sikap ini dapat dipandang sebagai kontribusi setiap kelompok anak bangsa untuk menurunkan harga dirinya, dan meninggikan harga diri bangsa. Akal sehat kolektif bangsa seperti ini perlu dikawal oleh PT yang tidak jarang menjadi miniatur Indonesia. Proses pendidikan dan interaksi antarwarganya yang beragam menjadi semacam laboratorum hidup untuk menempa kompetensi yang berujung pada sikap yang saling menghargai perbedaan.

Kedua, PT dapat berperan sebagai pelantang pesan persatuan. Aktivitas, kajian, dan gagasan yang muncul dari PT melalui beragam kanal, perlu diarahkan, salah satunya, untuk menyampaikan pesan persatuan. Seminar seperti ini yang mengedepankan dialog dan argumen ilmiah menjadi bagian dari ikhtiar ini.

Peran ini semakin menantang di era paskakebenaran ketika sentimen dan opini kelompok lebih dikedepankan dibandingkan dengan fakta empiris. PT bisa menghadirkan narasi tandingan berbasis data yang dibingkai nilai-nilai perenial (abadi), seperti kejujuran dan keadilan. Hanya dengan ikhtiar seperti ini, narasi negatif yang beredar yang sarat energi negatif di ruang publik dapat dinetralkan dan dibelokkan arahnya. Tentu, ini memerlukan kerja kolektif.

Ketiga, PT dapat berkontibusi menjadi penghasil solusi. Solusi dapat mewujud dalam beragam artefak akademik untuk menyelesaikan bermacam-macam masalah bangsa, termasuk dalam memajukan pendidikan, mengentaskan kemiskinan, menghadirkan rasa aman, dan memastikan adanya keadilan. Daftar pekerjaan di atas sebetulnya adalah tanggung jawab utama negara, yang intinya adalah menyejahterakan warga negaranya.

Tetapi, PT sebagai bagian anak bangsa, bisa berkontribusi sesuai dengan kapasitasnya. Hal ini dapat di jalankan dengan beragam cara, termasuk melalui penelitian yang relevan dengan kebutuhan, pendampingan masyarakat, dan produksi gagasan relevan lain untuk menjawab beragam masalah bangsa.

Peran keempat PT adalah sebagai pengawal perjalanan negara yang siap meniup peluit ketika terjadi ketidakberesan. Bersama komponen masyarakat lainnya. PT bisa menjadi pengawal moral bangsa melalui ikhtiar kolektif. Tentu, semuanya perlu dilakukan dengan cara yang santun, elegan, dan konstitusional, serta dilandasi rasa rindu akan hadirnya Indonesia yang lebih adil dan sejahtera, untuk semua.

Peran ini ternyata tidak selalu mudah dijalankan, ketika para intelektual mulai kehilangan sensitivitasnya. Sebagian kawan membingkainya secara lebih lugas: “terbeli”. Kondisi ini diperparah dengan beragam potensi risiko yang tidak selalu dapat dikalkulasi. Secara jujur bisa kita sampaikan, risiko ini tidak selalu akibat berhadapan dengan oknum penguasa, tetapi juga dengan mereka yang memborong habis tafsir kebenaran dalam berbangsa.

Kelima, PT bisa menjelma menjadi inkubator pemimpin masa depan. Pemimpin yang seperti apa? Pemimpin yang inklusif dan menghargai perbedaan. Pemimpin yang mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Pemimpin yang tahu arah ke mana Indonesia akan di bawa. Beragam predikat baik lain dapat ditambahkan di sini.

Dengan segala instrumen dan lingkungan yang dipunyainya, PT dapat menjadi semacam “kawah candradimuka” bagi para calon pemimpin bangsa dalam mengembangkan dirinya, mengasah sensitivitasnya, merawat mimpi dan visinya, serta mendiskusikan beragam solusi untuk masalah bangsa.

Nampaknya tidak berlebihan untuk percaya jika masa depan bangsa dan kebangsaan kita, tergantung kepada mereka. Tidak dalam waktu yang terlalu lalu, sekitar dua dekade ke depan, ketika mereka mulai berada dalam beragam peran yang menentukan.

Sambutan pada Seminar Nasional Agamawan Muda dan Masa Depan Kebangsaan, 25 Februari 2021