Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta Jenuh?

Sektor pendidikan tinggi swasta (PTS) di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) perlu mendapatkan perhatian layaknya sektor pariwisata. Para mahasiswa sejatinya adalah wisatawan dengan kunjungan yang lama: dapat sampai empat tahun. Kontribusi PTS melalui beragam aktivitas dan mahasiswanya dalam menggerakkan ekonomi lokal sangat signifikan.

Tulisan ini ditujukan untuk menggalang kesadaran kolektif. Tidak hanya di kalangan PTS, tetapi untuk warga DIY secara luas.

 

Kontribusi PTS

Menurut Susenas 2021, setiap mahasiswa di DIY membelanjakan Rp1,70 juta per bulan. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil survei Bank Indonesia pada 2020, yang menemukan bahwa rata-rata pengeluaran mahasiswa pendatang Rp3,03 juta per bulan. Pengeluaran tersebut beragam kebutuhan, termasuk akomodasi, transportasi, komunikasi, kesehatan, dan hiburan.

Pada 2022, mahasiswa PTS di DIY berjumlah 290.621. Angka ini belum termasuk mahasiswa PTN. Jika sebanyak 70% dari mahasiswa PTS adalah pendatang, maka jumlah pengeluaran mereka, menggunakan basis Susenas, adalah Rp345,84 miliar per bulan alias Rp11,53 miliar per hari!

Setiap dari kita dapat dengan mudah membayangkan dampaknya dalam menggerakkan roda ekonomi di DIY.

Jika masih sulit, layangkan imajinasi kita kepada DIY pada paruh kedua 2020 ketika pandemi Covid-19 menyerang dan semua proses pembelajaran di PT diselenggarakan secara daring karena sebagian besar mahasiswa pendatang pulang kampung. Saat itu, roda perekonomian seakan berjalan sangat lamban dan bahkan berhenti.

 

Potret PTS

Dampaknya terhadap PTS sangat jelas. Survei pada Desember 2020 ketika pandemi Covid-19 menyerang menemukan bahwa hanya 27% PTS di DIY yang tidak mempunyai masalah keuangan. Sisanya berjuang dengan berbagai cara, termasuk meminta bantuan kepada badan penyelenggara (yayasan) dan menggunakan tabungan.

Potret tidak berubah signifikan meski setelah berjalan dua tahun, ketika pandemi mulai mereda. Survei pada Oktober 2022 menunjukkan hanya 29% PTS yang tidak mempunyai masalah keuangan.

Di awal 2023, beragam informasi terserak yang masuk kepada Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta se-Indonesia (Aptisi) juga tidak begitu menggembirakan. Ada PTS yang akan merumahkan sebagian pegawainya. Ada PTS yang berpikir untuk melakukan alih kelola. Banyak PTS yang masih berjuang untuk menyehatkan diri.

Salah satu keluhan yang sering masuk ke radar Aptisi adalah soal cacah mahasiswa baru yang menurun. Namun, data tidak memberi dukungan. Jumlah Mahasiswa baru ke PTS di DIY memang sempat turun pada 2021 menjadi 59.325, dari tahun sebelumnya yang berjumlah 62.355. Namun pada 2022, menaik lagi menjadi 60.332. Namun demikian jumlah agregrat mahasiswa PTS tidak pernah turun dari 2018.

 

Mencari penjelas

Pernyataannya, mengapa ada keluhan dari banyak PTS? Terdapat beberapa kandidat penjelas, baik yang berdukungan data maupun dugaan yang memerlukan verifikasi lanjutan.

Pertama, analisis lebih lanjut menemukan bahwa ada ketimpangan distribusi mahasiswa. Data 2022 menunjukkan bahwa sebanyak 81,21% (mendekati 47.000) mahasiswa baru berada di PTS berbentuk universitas yang berjumlah 25. Itupun sangat variatif, mulai dari PTS yang menerima lebih dari 7.000 sampai dengan yang kurang 400 mahasiswa baru. Sebanyak 18,79% tersebar di 75 PTS lainnya: insititut, sekolah tinggi, politeknik, akademi, dan akademi komunitas.

Ketimpangan tersebut dapat dijuga dengan melihat ukuran PTS berdasar jumlah mahasiswa aktifnya. Dari 100 PTS, sebanyak 36 yang mempunyai mahasiswa di atas 1.000. Sebanyak 20 PTS yang memiliki mahasiwa 2.000 atau lebih. Dari sejumlah itu, sebanyak 10 PTS yang memberikan pendidikan ke 5.000 atau lebih mahasiswa. Jika dinaikkan angkanya, hanya enam PTS yang mempunyai mahasiswa di atas 10.000.

Kedua, penurunan animo pendaftar ke PTS di DIY. Data komprehensif untuk semua PTS di DIY tidak tersedia, meskipun setiap PTS bisa menganalisis datanya masing-masing. Jika betul terjadi penurunan, sulit untuk memastikan apakah ini karena prioritas pengeluaran keluarga yang berubah, daya beli publik untuk layanan pendidikan yang menurun, animo ke PTS lokal di luar DIY atau PTN yang menaik, atau kumulasi dari semuanya. Tidak tersedia data yang bisa diakses untuk verifikasi.

Ketiga, ekspektasi yang kurang rasional. Pada 2022, sebanyak 100 PTS berekspektasi mendapatkan sebanyak 183.034 mahasiswa baru semua jenjang. Kenyataannya cacah mahasiswa baru hanya 60.332 . Dengan demikian, keterisian kuotanya hanya sekitar 33%. Penurunan keterisian ini sudah menurun bahkan sejak sebelum pandemi Covid-19.

Meskipun cacah program studi terus meningkat di kalangan PTS, tetapi cacah mahasiswa baru berkisar di angka 60.000an. Ini bisa jadi juga merupakan indikasi adanya “kanibalisasi” antarprogram studi, baik di dalam satu PTS maupun antarPTS, bahkan oleh PTN.

Atau, apakah ini juga indikasi bahwa PTS  di DIY sudah jenuh? Jika ini kasusnya, maka pekerjaan rumahnya menjadi lebih rumit dan memerlukan banyak kejutan. Selain semua PTS terus meningkatkan kualitasnya, pemerintah juga perlu memberikan fasilitasi, dan warga harus memberikan sambutan hangat kepada mahasiswa. Tanpanya, magnet DIY sebagai penyedia pendidikan tinggi berkualitas dengan suasana yang nyaman, akan luntur perlahan.

Tentu, bukan ini yang kita harapkan.

Tulisan ini sudah dimuat di Kolom Analisis SKH Kedaulatan Rakyat pada 26 Juli 2023.