,

Sanksi Pidana Bagi Penolak Vaksin, Mungkinkah?

Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH UII mengadakan webinar dengan pokok bahasan kebijakan vaksinasi pemerintah. Webinar yang dihelat bersama IKA KLBH FH UII dan FSAA FH UII ini menghadirkan narasumber Ari Wibowo, M.H. (dosen FH UII), Dr. Hasrul Boamona, M.H. (Pakar Hukum Kesehatan dan Direktur LBH NU Yogyakarta), dan Dr. Hendry Julian N, M.Kn. (dosen FH UGM). Tema lain yang turut diangkat dalam acara ini adalah mengenai kemungkinan sanksi pidana bagi masyarakat yang menolak vaksinasi.

Ari Wibowo menilai kebijakan vaksinasi dalam Pasal 93 dan Pasal 14 UU Wabah ini bersifat administratif. Ia berpendapat sangat kurang tepat jika hukum pidana dibebankan bagi para pelanggar ketentuan ini. “Karena seharusnya, hukum pidana ini tidak boleh dijadikan sebagai senjata utama dalam menghadapi berbagai kasus pelanggaran. Melainkan harus dijadikan senjata terakhir yaitu jika sanksi lain benar-benar tidak dapat digunakan lagi, maka baru bisa menggunakan sanksi pidana disebut juga ultimum remedium”, ungkapnya.

Sementara itu, Hasrul Boamona lebih menjelaskan struktur undang-undang kesehatan dalam menghadapi pandemi. Diawali dari UUD 1945, kemudian UU Kesehatan, UU Wabah, UU Kekarantinaan; yang kemudian dilanjutkan dengan Keppres, Permenkes, dll. Dari beberapa kebijakan tersebut, kegiatan vaksin ini masuk dalam pengaturan Pasal 93 dan 9 UU Kekarantinaan. Dalam pasal tersebut terdapat kata wajib dan kewajiban.

Selanjutnya terdapat Keppres No. 12 Tahun 2020 yang pertimbangannya berasal dari UU Wabah dan bukan UU Kekarantinaan. Ini berarti Keppres No 12 Tahun 2020 lebih mengedepankan aspek bencana daripada aspek kesehatan.

“Implikasinya pelaksanaan vaksin menjadi wajib karena berdasarkan UU Wabah. Padahal seharusnya vaksin itu sifatnya boleh jika dipandang dari aspek kesehatan. Sebab kesehatan itu sendiri merupakan HAM warga negara dan bukan kewajiban warga negara”, tuturnya.

Adapun, Hendry Julian menggarisbawahi vaksin itu penting dengan tujuan kepentingan dan kekebalan imunitas. Diharapkan nantinya akan mencapai target 70% dari warga negara penerima vaksin. Pemberlakuan vaksin dengan tujuan tersebut dapat masuk dalam pengaturan Pasal 28J ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang harus tunduk pada prinsip pembatasan.

Tentunya perlindungan HAM yang termasuk juga perlindungan kesehatan warga negara ini merupakan tanggungjawab pemerintah. Namun dalam hal pemberlakuan kebijakan, tetap harus memperhatikan prinsip pembatasan HAM itu sendiri bagi warga negaranya.

Jika, tetap dilaksanakan ancaman pidana bagi penolak vaksin, sebagai bentuk administratif kemungkinan dapat dikenakan dengan Pasal 14 UU No 4 Tahun 1984 dan Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 dengan prinsip administrative penal law : ultima ratio principle – una via principle. (FHC/EDN/ESP)