,

Siapkah Bank Syariah dan Konvensional dengan Kebijakan New Normal?

Banyak hal yang harus dipersiapkan dalam menghadapi kebijakan new normal. Berbagai macam aktivitas harus dirubah dari biasanya untuk tetap mematuhi protokol kesehatan. Tak terkecuali aktivitas perbankan. Menanggapi persoalan tersebut, Takmir Masjid Al-Azhar Fakultas Hukum (FH) UII bersama dengan Business Law Community FH UII mengadakan E-Discussion. Tema yang diangkat adalah perbankan syariah dan konvensional dalam menghadapi new normal. Dua pemateri yang hadir yaitu Dr. Agus Triyanta, M.A., M.H dan M. Insan Pratama, LL.M.

Menurut Islamic Financial Service Board (IFSB) tahun 2020, institusi keuangan Islam di seluruh dunia diperkirakan mengelola aset senilai US$ 2.190 M pada tahun 2019. Perbankan Islam juga telah beroperasi di lebih 75 negara. World Bank pun memiliki divisi khusus yang menangani Islamic Finance.

Di negara yang hanya menggunakan sistem keuangan Islam, World Bank harus menyesuaikan terhadap akad yang diberlakukan ketika mengawasi atau bekerjasama dengan bank di negara tersebut. Pada 2019, market share bank syariah Indonesia masih berkisar 5.94% atau terbilang kecil dibandingkan total aset perbankan konvensional.

Agus Triyanta menjelaskan bahwa krisis adalah momentum. Berkaca pada krisis tahun 1998, banyak bank konvensional yang kolaps maupun gagal memenuhi kewajiban pada nasabah. Pada saat itu, Bank Muamalat yang menggunakan sistem syariah mampu bertahan di tengah krisis.

Menurutnya, sistem nilai dalam bank syariah dibangun diatas prinsip transparansi, tidak monopolistik, tidak eksploratif, dan tidak juga spekulatif. “Nilai yang terbangun dalam sistem ini mendorong perilaku bisnis harus selalu dikawal oleh nilai luhur. Hal ini menjadi salah satu entry point bagi upaya perbaikan di tengah maraknya perilaku bisnis koruptif”, ujarnya.

Pada masa Khalifah Umar, ia sempat menyarankan agar sebelum masuk pasar hendaknya orang-orang memahami hukum bermuamalah sehingga menghindari kecurangan bisnis.

Sementara M. Insan Pratama menyoroti praktik eksekusi jaminan yang sering kali tidak dapat dilakukan tanpa kehadiran fisik atau bahkan pembuatan jaminan seperti hak tanggungan, fidusia, dan jaminan-jaminan yang lain. Hal-hal tersebut menjadi tantangan-tangan yang sedang dihadapi oleh industri perbankan. Mereka dituntut untuk dapat melaksanakannya secara online.

“Pada realitanya meskipun bank memegang jaminan sebenarnya bank tidak ingin debiturnya gagal bayar. Karena dengan gagal bayar tersebut bank akan kehilangan potensi pendapatan dari cicilan. Yang kedua, meskipun mereka memegang jaminan, jaminan tersebut belum tentu liquid apalagi di tengah pandemi ini”, ungkap Insan.

Strategi perbankan di tengah pandemi dapat dilihat terlebih dahulu dari strategi pemerintah akan bergerak bagaimana. Pemerintah tentunya akan mendorong supaya strategi perbankan berputar pada framework yang telah disediakan oleh pemerintah.

Saat pemerintah mengumumkan new normal, mereka akan melakukan pembukaan ekonomi kembali dan dapat dilihat beberapa bank terlihat naik kembali. Hal tersebut menunjukkan bahwa kinerja perbankan mulai membaik seiring dengan pengumuman pemerintah terkait new normal. “Saya tidak memperdebatkan tentang aspek kesehatannya apalagi terkait tentang kesiapan new normal. Namun saya melihat pasar merespon cukup positif terhadap new normal”, pungkasnya. (MRA/ESP)