Tantangan Industri Media di Kala Pandemi

Jiwa mukmin - UII - berita kontrol kehamilan

Pandemi Covid-19 yang datang secara tiba-tiba, telah membuat segala aspek kehidupan berubah, tak terkecuali di dunia media kreatif. Melihat fenomena ini Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) terpantik mendiskusikannya dalam acara bertajuk Ngobrol Bareng Alumni (NGOBRAL) pada Selasa (19/5) secara daring.

Kali ini, Empat alumni Ilmu Komunikasi UII dihadirkan untuk berbagi cerita dan pengalaman selama bekerja di industri media. Mereka adalah M Fajar Nugraha, Associate Producer di Trans TV, Arrozi Effendi, Head or Publik Relations KG Media, Tri Rizal Ghofuur, Production Assistant Narasi dan Yogatama Yalesena yang saat ini berkarya sebagai Production Assistant GTV-MNC Media Group.

M Fajar Nugraha merupakan alumni tahun 2008 dengan konsentrasi broadcasting. Ia mengaku pada zaman kuliah idealisme masih tinggi, berkarya bebas, bahkan dulu ia sempat membuat film yang ditayangkan secara screening dan mendiskusikannya. Hal ini membuatnya bersyukur, karena alur perjalanan selama kuliah hingga bekerja masih dalam bidang yang sama.

Pertama kali ia menginjak ke dunia pertelevisian di metroTv sebagai Production Assistant dengan memegang beberapa program, seperti Mario Teguh Golder Ways. Hingga pada tahun 2013, ia berpindah ke TransTV dengan posisi yang sama, yakni Production Assistant dan pertama kali memegang program Slide Show 100% Miring.

Di tahun 2019 Fajar Nugraha diangkat sebagai Association Producer. “Program itu ada umurnya. ketika program itu sudah tidak amemberikan rating yang baik, akan didrop atau dibungkus,” ungkap Fajar Nugraha.

Fajar Nugraha berkisah perjalanannya saat membuat program baru CemCeman. Program ini harus berhenti dan hanya tayang lima episode. Hal ini dilakukan, mengingat harus mematuhi peraturan pemerintah dan banyaknya keterbatasan saat proses produksi, mulai dari pra produksi, pelaksaan peroduksi, hingga pasca produksi.

Peralihan program sebelum dan selama pandemi banyak dilakukan oleh Fajar Nugraha beserta rekan-rekannya. Mereka memilih membuat program yang tetap menghibur dengan kru yang minimalis. Seperti program The Onsu Family dengan format vlog dan juga Bikin Laper yang hanya dilakukan di apartement hostnya.

Fajar Nugraha menyadari untuk tetap harus produktif dan aktif, karena kerja di dunia industri butuh menggaji karyawan sehingga tetap berkreasi dengan menyesuaikan kondisi sekarang. “Jadi otak tetap harus kretaif dan bisa menghibur masyarakat. Tetap bisa kerja di apartemen, di kantor. Jadi banyak keterbatasan, tetapi tetap harus kretaif dan produktif,” ungkapnya.

Arrozi Effendi, lulusan tahun 2014 dengan konsentrasi management media, mengawali karier dari magang di KompasTV sebagai promotive officer hingga ia dapat bekerja di Kompas Media dan melanjutkannya di KompasTV sebagai public relation. Saat ini, ia diamanahi untuk memegang seluruh unit media di Kompas Gramedia yang sekarang lebih dikenal dengan KG Media.

Menurut Arrozi Effendi sebelum dan sesudah ada wabah corona, media telah mengalami disrupsi media digital. Dimana pada zaman millennial banyak anak muda yang jarang menonton televisi dan lebih sibuk bersama ponsel pintarnya. Belum selesai dengan disrupsi, muncul pandemi, sehingga menjadi hal yang menantang. Di industri media saat pandemi, seakan dua mata pisau yang tidak ada tutupnya. ada sisi positif dan negatif,” ungkapnya.

Arrozi Effendi bersama rekan-rekannya menganggap dampak dari pandemi sebagai peluang. Sebuah strategi kreatif yang dilakukannya adalah campaign mendukung kebijakan PSBB dengan #TerhubungDariRumah. Dari sini banyak platform-nya seperti belanja dari rumah, jajan dari rumah, dan dapat menghubungkan antar kerabat dan keluarga.

Hal yang membuat ia dan rekan-rekannya terkesan sampai sekarang adalah konser amal yang dilakukannya bersama almarhum Didi Kempot. “Ini yang melekat di kita. Ternyata bekerja di saat seperti ini tidak hanya sekedar gimana saya bisa bertahan hidup, dapat duit juga ga. Jadi kami juga bisa buat konten yang baik yang dapat membantu orang di luar sana,” ucap Arrozi Effendi.

Sementara Tri Rizal Ghofuur, lulusan tahun 2017 mengatakan bahwa Narasi merupakan media digital yang dapat dibilang peralihan dari televisi menuju digital. Di masa pandemi ini, ia merasa tidak banyak perbedaan dalam sistem kerjanya. Karena sebelum pandemi pun, ia dan teman-temannya lebih sering bekerja di rumah masing-masing. Lebih banyak tapping ketimbang on air, tidak membuatnya mengalami banyak perbedaan selama bekerja. Apalagi sebelum pandemic, ia diberi kelas mobile journalism, dimana hanya dengan telepon genggam kita dapat menjadikan media itu memberitakan apa yang kita temui.

Rizal merasa kelas tersebut cukup bermanfaat untuk membuat konten selama pandemi. Mereka syuting di handphone masing-masing lalu di email ke editor. Seperti yang sedang ia pegang sekarang adalah program Duo Bujang, dimana selama pelaksanaan tetap dilakukan di rumah masing-masing. Jadi hanya dengan software yang dapat menghubungkan Duo Bujang dan narasumber untuk berkomunikasi.

Dalam kesempatannya, ia juga bercerita kalau bekerja di media digital tidak ada pantangan atau tantangan yang cukup berat, sebab kontennya masih tetap jalan meskipun di rumah saja. Mematuhi aturan pemerintah, ia dan teman-temannya terus berkomitmen bekerja di rumah masing-masing. “Yang penting di masa ini kita bisa beradptasi. Adaptasi Narasi cukup mudah, apalagi sudah mempersiapkan itu semua sebelum pandemi,” tutupnya.

Yogatama Yalesena, lulusan tahun 2018. Sebelum bekerja di dunia industri media, ia bekerja di event proyek atau event management selama dua tahun. Ia bercerita baru empat bulan bekerja di GTV. Bekerja di dua dunia tersebut tidak memiliki perbedaan terlalu besar, karena ketika di event management membuat proyek sedangkan di media berarti membuat program yang ditayangkan di layar televisi. Meskipun begitu, ia merasa harus tetap mendalami secara intensif dan perlu digali secara realitas.

Menurut Yogatama di Indonesia perlu sesuatu yang berbau pemograman. Terutama di tengah-tengah pandemi ini agar tidak menjadi kendala yang besar. GTV tidak membuat program acara/ spesialis bulan Ramadan. “Kami menimbun-nimbun beberapa program gitu selayaknya audio. Jadi kita produksi sebelumnya lalu akan ditayangkan waktu Ramadan sebagai program yang direcording yang sudah pasca produksi,” tambahnya.

Sepertihalnya Fajar Nugraha dan Arrozi Effendi, ia merasa harus terus produktif sebab di dunia pertelevisian tetap harus ada rating yang menghasilkan. Untuk mengatasi program acara yang on air, ia mengaku harus melakukan beberapa program acara yang dibuat di studio. Dimana pekerjaan dilakukan secara tipping. Ada dua hari libur yang ditentukam oleh department manajer dengan disesuaikan per programnya. (SF/RS)