UII Dorong Integrasi Pendidikan Islam dan Teknologi pada Student Symposium 2025
Program Studi Ilmu Agama Islam Program Magister (PSIAIPM) Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan Student Symposium on Islamic Education dengan mengangkat tema “Transformasi Pendidikan Islam di Era Digital: Membangun Karakter, Spiritualitas, dan Keberlanjutan Global” pada Sabtu (29/11) di Auditorium Gedung K.H.A Wahid Hasyim Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Kampus Terpadu UII. Dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, kegiatan ini menghadirkan Dhomas Hatta Fudholi, S.T., M.Eng., Ph.D selaku Dosen Jurusan Informatika UII dan Gus Romzi Ahmad selaku CEO Pesantren Development sebagai narasumber.
Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik dan Riset UII, Prof. Dr. Jaka Nugraha, S.Si., M.Si, dalam sambutannya menyampaikan apresiasi atas antusiasme tinggi peserta yang mencapai lebih dari 180 pemakalah. Ia menegaskan pentingnya kegiatan ilmiah seperti ini untuk memperkuat budaya akademik di kampus. “Kegiatan seperti ini merupakan bagian dari upaya menumbuhkan ekosistem akademik yang sehat, sekaligus mendukung percepatan kelulusan mahasiswa magister melalui kewajiban publikasi,” ujarnya.
Prof. Jaka juga menekankan urgensi transformasi pendidikan Islam di era digital. Ia mengingatkan bahwa perjalanan peradaban manusia adalah proses panjang yang ditopang oleh kemampuan melestarikan pengetahuan dan terus berinovasi. Dalam konteks perkembangan teknologi, ia menegaskan pentingnya pemanfaatan artificial intelligence (AI) secara bijak. “AI itu ibarat alat—jika digunakan oleh orang yang amanah, ia akan membawa kebermanfaatan. Karena itu di UII kami menetapkan etika pemanfaatan AI agar kemajuan teknologi menjadi keberkahan, bukan sebaliknya,” jelasnya. Ia berharap simposium ini membawa inspirasi dan mendorong lahirnya kontribusi ilmiah yang bermanfaat bagi pengembangan pendidikan Islam.
Kurikulum DAAI (Digital, Akhlak, dan Artificial Intelligence)
Memasuki sesi pemaparan materi, Dhomas menjelaskan perbedaan antara discriminative model dan generative model dalam penggunaan alat kecerdasan buatan (AI). Menurutnya, discriminative model bertujuan untuk mengklasifikan sesuatu sedangkan generative model digunakan untuk mengenali pola dan menghasilkan data baru berdasarkan pola tersebut.
Dhomas juga menyampaikan tiga hal yang membawa AI mampu mengubah proses belajar manusia. Pertama, increasing reach through AI yaitu kemampuan AI membuat materi yang sulit menjadi lebih mudah dipahami sehingga memperluas jangkauan pemahaman.
“Kedua, powering personal and interactive learning, cara belajar orang berbeda-beda. Dengan AI, akselerasi pembelajaran dapat dilakukan dengan menyesuaikan materi sesuai kebutuhan masing-masing. Ketiga, extending educators and assistance to everyone, ketika ada materi yang kurang jelas kita bisa meminta AI menjelaskan ulang. Belajar sekarang tidak lagi terbatas oleh tempat, waktu, atau bahasa, karena semuanya dimudahkan oleh berbagai macam media,” jelasnya.
Selanjutnya, Dhomas menunjukkan bagaimana AI dapat diterapkan dalam pendidikan Agama Islam. Ia menampilkan contoh platform AI yang memungkinkan pengguna memberikan prompt terkait tata cara berwudhu, kemudian AI tersebut menjelaskan langkah-langkahnya secara rinci sehingga memudahkan pengguna memahami praktik ibadah tersebut. Tak lupa, ia juga memaparkan pedoman etika pemanfaatan GenAI, termasuk penggunaan yang diperbolehkan seperti “membantu pemahaman materi, perbaikan bahasa, serta visualisasi ilmiah,” serta larangan seperti “copy-paste mentah” tanpa proses verifikasi. Dhomas menegaskan bahwa penggunaan AI harus dilakukan secara bertanggung jawab agar tidak menghilangkan proses berpikir kritis dalam pembelajaran.
Meninjau Ulang Pendidikan Agama Islam
Jika Dhomas Hatta membahas pemanfaatan AI dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan Agama Islam, maka pada sesi kedua Gus Romzi melengkapinya dengan menyoroti kembali fondasi utama pendidikan Islam. Ia menegaskan bahwa otoritas keagamaan bertumpu pada sejumlah unsur penting, seperti teks suci, tradisi keagamaan, aturan moral, dan peran ulama. Pemahaman terhadap komponen-komponen ini, menurutnya, menjadi landasan untuk melihat bagaimana pendidikan Islam berkembang dari masa ke masa.
Gus Romzi juga menguraikan keragaman model pendidikan Islam yang kini berjalan berdampingan—mulai dari madrasah, pesantren, hingga sekolah umum dan sekolah berkurikulum internasional. Menurutnya, perkembangan ini menunjukkan perlunya desain pendidikan yang lebih adaptif. Mengutip Ibn Khaldun, Ia mengatakan bahwa pengetahuan harus releban dengan kebutuhan sosial dan perkembangan ilmu merupakan fenomena sosial. Gus Romzi menekankan bahwa pendidikan Islam harus mampu menjaga keseimbangan antara warisan tradisi dan kebutuhan inovasi.
Dalam paparannya, Romzi turut menyoroti tantangan besar yang dihadapi pendidikan Islam ketika berhadapan dengan realitas global yang terus berubah. Ia menegaskan bahwa lembaga pendidikan tidak hanya dituntut mempertahankan nilai-nilai spiritual, tetapi juga harus membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir kritis, literasi digital, serta kepekaan sosial. “Pendidikan Islam harus melahirkan generasi yang mampu memberi kontribusi nyata, bukan sekadar mengulang apa yang sudah ada,” ujarnya. Menutup presentasi, Ia mengutip Tariq Ramadan yang menyerukan agar umat Islam berpindah dari sekadar mengonsumsi pengetahuan menuju memproduksi solusi etis dan intelektual.
Dengan terselenggaranya Student Symposium ini, diharapkan para mahasiswa, khususnya yang bergelut di bidang Pendidikan Agama Islam, mampu menyeimbangkan ilmu-ilmu keislaman dengan tren masa kini, terutama dalam era digital dan pemanfaatan AI. Dengan demikian, mereka dapat menjadi insan yang tidak hanya mampu menjaga tradisi keagamaan Islam, tetapi juga terus adaptif dan responsif terhadap perkembangan zaman. (AHR/RS)




