Universitas di Era AI: Masih Perlukah?
Ilustrasi pembuka
Bayangkan dua gambar: seorang siswa kelas dua SD yang memegang kalkulator, dan seorang pedagang pasar tradisional yang juga memegang kalkulator. Alatnya sama, tetapi maknanya sangat berbeda.
Bagi siswa sekolah dasar, kalkulator yang digunakan terlalu dini justru dapat merusak proses belajar. Pada tahap itu, anak harus berlatih membangun pemahaman angka, menalar, dan mencari tahu bagaimana jawaban terbentuk. Jika kalkulator masuk terlalu cepat, ia menjadi jalan pintas yang membajak proses belajar.
Namun bagi pedagang pasar, kalkulator justru menjadi penyelamat. Ia mempercepat pelayanan, mengurangi kesalahan hitung, dan membantunya menjalankan usaha dengan lebih efisien. Di sini, kalkulator berperan sebagai alat pemberdayaan. Perbandingan ini menunjukkan satu pelajaran penting: teknologi tidak baik atau buruk dengan sendirinya — nilainya ditentukan oleh tujuan, waktu, dan kesiapan penggunanya.
Sekarang, mari kita mengganti kalkulator itu dengan akal imitasi atau artificial intelligence (AI). Pertanyaannya kemudian: apa makna kehadiran AI bagi dunia pendidikan tinggi? Selama ini kita terbiasa dengan mantra “semakin cerdas, semakin baik”. Namun para pakar seperti Stuart Russell (2020) mengingatkan, kecerdasan tanpa tujuan yang tepat dapat menjadi bumerang. Mesin dianggap cerdas apabila tindakannya membawa mesin itu pada tujuannya sendiri.
Tujuan manusia
Masalahnya, bagaimana jika tujuan mesin tidak sejalan dengan tujuan manusia? Jika itu terjadi, AI berpotensi merusak kemanusiaan alih-alih memajukannya. Karena itu, tugas kita bukan hanya menciptakan mesin yang cerdas, tetapi memastikan mesin itu bermanfaat bagi manusia. AI hanya layak dipakai sejauh ia membantu manusia mencapai tujuan-tujuannya — bukan menggantikannya, apalagi menggeser nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam konteks perguruan tinggi, tujuan itu mencakup tiga ranah utama. Pertama, di ranah pembelajaran: AI seharusnya membantu mahasiswa berpikir kritis dan kreatif, bukan sekadar menyalin jawaban tanpa memahami prosesnya. Kedua, di ranah pengajaran: AI dapat memperkaya desain pembelajaran, tetapi tidak boleh menghilangkan wawasan dan sentuhan personal seorang dosen. Ketiga, di ranah administrasi: AI dapat mempercepat dan memperkuat pengambilan keputusan, tetapi tidak boleh mengabaikan keadilan, konteks, dan empati.
Selama AI membantu kita semakin dekat pada nilai-nilai yang ingin kita perjuangkan sebagai manusia, ia layak dipakai. Sebaliknya, ketika AI menjauhkan kita dari tujuan yang paling autentik — seperti integritas, pemikiran mendalam, dan hubungan manusia — maka penggunaan itu perlu dikritisi.
Kita juga perlu mengakui kenyataan: AI bukan fenomena yang “akan datang suatu hari nanti”. AI sudah hadir dalam kegiatan kita sehari-hari. Mahasiswa menggunakannya untuk belajar, dosen untuk menyiapkan materi, peneliti untuk menganalisis data, dan universitas untuk mengelola layanan. Menolak AI sama saja dengan mengabaikan realitas. Namun menerima AI begitu saja juga bukan pilihan bijak. Tantangan kita bukan memilih “menggunakan atau tidak menggunakan AI”, melainkan “menggunakan AI secara bertanggung jawab”.
Peran universitas
Pada titik ini, kita sampai pada pertanyaan penting: apa sebenarnya peran universitas di era AI? Selama puluhan tahun, universitas dibangun atas misi menyampaikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai. Kini, ilmu tersedia di mana saja dan kapan saja. Dengan bantuan AI, mahasiswa dapat memperoleh informasi dalam hitungan detik. Jika pembelajaran hanya tentang menghafal, merangkum, dan mengulang, AI bisa melakukannya lebih baik. Tetapi AI tidak bisa menanamkan empati, karakter, kepemimpinan, makna, atau nurani. Di sinilah peran universitas menjadi tak tergantikan. Perguruan tinggi bukan lagi sekadar ruang penyampaian informasi, melainkan ekosistem pembentukan manusia.
Karena itu, dosen di era AI bukan hanya penyampai materi di depan kelas. Mereka adalah pelatih berpikir kritis, mentor karakter dan profesionalisme, pemandu cara belajar, dan penerjemah informasi menjadi wawasan. AI mampu menjelaskan rumus, tetapi AI tidak mampu membuat mahasiswa percaya pada dirinya sendiri, atau mengambil keputusan etis dalam dilema kehidupan. Yang bisa melakukan itu adalah manusia.
Masa depan terbaik bukan “AI melawan manusia”, tetapi “AI bersama manusia”. Ketika mahasiswa belajar menggunakan AI dengan bimbingan dosen yang memahami kekuatan dan keterbatasannya, banyak hal besar dapat terjadi: pembelajaran menjadi lebih cepat, personal, dan kreatif. Yang lebih penting — mahasiswa belajar menggunakan teknologi dengan bertanggung jawab: untuk memecahkan masalah, bukan untuk menyontek.
Namun perubahan ini tidak akan terwujud jika hanya mengandalkan inisiatif individu. Institusi pendidikan tinggi perlu menyediakan kebijakan yang jelas, pelatihan bagi dosen, kolaborasi lintas disiplin, dan budaya yang mendukung eksperimen. Perguruan tinggi yang berhasil nanti bukan yang memiliki anggaran terbesar, melainkan yang memiliki kemauan beradaptasi terbesar.
Dalam percakapan tentang AI, kita memang mudah terbawa sikap ekstrem — terlalu optimis atau terlalu khawatir. Padahal jawaban terbaik ada di tengah: menggunakan AI secara bijaksana dan berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan. AI dapat membantu kita bergerak maju, selama kita tidak membiarkan AI mengambil alih hal yang paling manusiawi dalam pendidikan: integritas, kebijaksanaan, hubungan tulus, dan pertumbuhan pribadi mahasiswa. Jika kita mampu menjaga keseimbangan itu, masa depan pendidikan tinggi tidak hanya akan menjadi lebih cerdas — tetapi juga lebih bermakna.
Terjemahan dan elaborasi ringan dari pidato kunci bertajuk Transformasi Perguruan Tinggi di Era Kecerdasan Buatan dalam P2A Annual General Meeting di Universitas Islam Indonesia pada 21 November 2025.
Fathul Wahid
Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026




