Urgensi RUU Perampasan Aset, Antara Peluang dan Tantangan
Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar Serial Diskusi Online #7 bertajuk “Urgensi RUU Perampasan Aset: Peluang dan Tantangannya”, Rabu (24/9). Acara ini menghadirkan dua narasumber utama, yakni Sugeng Purnomo, mantan Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenko Polhukam RI, serta Zainal Arifin Mochtar, dosen Fakultas Hukum UGM sekaligus peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) FH UGM.
Ketua PSAD UII, Prof. Masduki, dalam sambutannya menekankan pentingnya RUU Perampasan Aset sebagai langkah strategis melawan gurita korupsi dan kejahatan terorganisir yang menghambat demokrasi. Ia menilai situasi saat ini menuntut kebijakan ekstra untuk mendorong sense of emergency di kalangan pembuat kebijakan. “kita lihat bagaimana pentingnya ini untuk mengatasi masalah masalah akut itu sendiri sekaligus juga memberi peluang bagaimana negara ini bisa sehat lebih lanjut bisa menegak amanah reformasi yaitu demokrasi itu sendiri”.
Sugeng Purnomo dalam paparannya menjelaskan bahwa RUU Perampasan Aset memiliki roh utama berupa mekanisme perampasan aset hasil kejahatan tanpa menunggu putusan pidana. Menurutnya, hal ini penting untuk mencegah aset haram dipindahkan atau dialihkan selama proses hukum berlangsung. Ia mengingatkan bahwa pemahaman publik perlu diluruskan agar tidak muncul kekhawatiran berlebihan bahwa aset masyarakat bisa dirampas sembarangan. Sugeng juga mengusulkan agar partisipasi publik diperkuat, tata kelola lembaga penegak hukum dibenahi, dan mekanisme pengawasan pengadilan dioptimalkan guna mencegah penyalahgunaan kewenangan.
Sementara itu, Zainal Arifin Mochtar menyoroti aspek konstitusional dan kelembagaan dari RUU ini. Menurutnya, nomenklatur “perampasan aset” sebaiknya diperluas menjadi asset recovery atau pemulihan aset, karena pengelolaan aset pasca-perampasan sama pentingnya dengan proses perampasannya. Ia juga mengingatkan potensi pelanggaran hak asasi manusia apabila regulasi tidak dirancang dengan hati-hati. “Prinsip partisipasi publik dan pengawasan perlu diperkuat agar undang-undang ini tidak justru menimbulkan masalah baru,” jelasnya.
Zainal juga menyoroti desain kelembagaan yang idealnya tidak hanya bertumpu pada kejaksaan. Ia mendorong pendekatan multi-stakeholder, misalnya melibatkan lembaga khusus atau kerja sama dengan sektor lain, untuk memastikan aset yang dirampas dapat dikelola secara optimal dan transparan.
Dalam sesi tanya jawab, peserta menanyakan bagaimana menyeimbangkan kepentingan negara dalam mengamankan aset dengan perlindungan hak individu. Menanggapi hal ini, Sugeng menegaskan bahwa perlindungan hukum tetap tersedia, misalnya melalui mekanisme keberatan di pengadilan, meski aset tetap bisa dikejar apabila terbukti berasal dari tindak pidana. Zainal menambahkan bahwa produk hukum ini harus berbentuk undang-undang, bukan sekadar peraturan pemerintah, agar benar-benar mencerminkan representasi rakyat melalui kontrak sosial.
Diskusi yang dihadiri lebih dari 270 peserta menegaskan bahwa pengesahan RUU Perampasan Aset merupakan kebutuhan mendesak bagi Indonesia. Meski demikian, implementasinya perlu disertai dengan pembenahan regulasi, penguatan tata kelola penegakan hukum, partisipasi publik yang luas, serta transparansi di setiap tahap proses. Dengan langkah tersebut, RUU ini diharapkan tidak hanya berfungsi sebagai instrumen pemberantasan korupsi, tetapi juga menjadi sarana pemulihan aset negara demi sebesar-besarnya kepentingan masyarakat. (ELKN/AHR/RS)