Wisudawan, Jangan Lupa Bahagia!

Selama pandemi Covid-19 menyerang umat manusia di seantero jagat, bumi seakan berputar lebih lambat. Aktivitas yang dulunya dapat dijalankan dengan jarak fisik dekat, saat ini menjadi tersendat. Kita semua harus bersiasat, supaya tetap bisa menghasilkan manfaat. Tetapi, dunia digital seakan menjadikan waktu berjalan lebih cepat. Semoga semua hajat tetap bisa diselenggarakan dengan penuh khidmat.

Di suasana yang menantang ini, mari kita hentikan ratapan dan ganti dengan harapan. Memang pandemi menjadi musibah bersama, tetapi mari kita bersama mencari makna di dalamnya untuk mendapatkan berkah tersamar. Pola pikir positif seperti ini sangat penting untuk menyuntikkan semangat dan menambah imunitas. Penelitian menemukan bahwa suasana emosi negatif, seperti marah, frustasi, dan stres, akan menurunkan imunitas (D’Acquisto, 2016; Pressman & Black, 2012).

Karenanya, selingan humor sehat dalam kadar yang pas untuk menjaga emosi positif akan sangat bermanfaat di tempat kerja dan juga di tempat interaksi sosial lainnya. Penelitian menemukan bahwa pimpinan yang mempunyai selera humor dipandang 27% lebih memotivasi dan dikagumi, dibandingkan dengan yang tidak (Decker, 1987). Bawahan juga 15% lebih tertarik untuk melibatkan diri. Tim pimpinan yang humoris juga dua kali lebih baik dalam memecahkan tantangan kreativitas, yang ujungnya adalah kinerja yang membaik.

Tertawa bersama ternyata juga mempercepat kedekatan dan kepercayaan (Gray et al., 2015). Hal ini akan menjadikan mereka yang sering berbagi kebahagiaan bersama menjadi sahabat dekat. Sahabat dekat di tempat kerja ternyata mempengaruhi kinerja. Salah satu penjelasannya adalah bahwa gaji bukan satu-satunya alasan seseorang bersemangat dalam bekerja. Demikian temuan penelitian Gallup (Maan, 2018), sebuah lembaga konsultan manajemen besar dunia. Sebagai contoh, menurut penelitian tersebut, perempuan yang menyatakan mempunyai sahabat dekat di kantor cenderung dua kali lebih termotivasi dalam bekerja dibandingkan yang tidak.

Perasaan bahagia juga bisa diindikasikan dengan senyuman. Penelitian menemukan bahwa wajah yang tersenyum juga lebih lama diingat dibandingkan dengan yang marah. Kalau melihat orang marah, kita akan bertanya: mengapa dia marah ke saya? Tetapi, kalau melihat orang tersenyum, pertanyaan kita adalah: siapa dia? (Shimamura et al., 2006). Anda mau diingat oleh orang lain lebih lama dan dengan perasaan bahagia? Tersenyumlah.

Ternyata, selain memberikan perasaan bahagia, senyum juga bisa membuat orang meningkatkan kemampuan berpikir secara holistik (Johnson et al., 2010). Orang yang tersenyum akan melihat konteks secara lebih utuh dibandingkan yang tidak.

Senyum ternyata juga dapat meningkatkan kepercayaan orang lain sebanyak 10% (Scharlemann et al., 2001). Karenanya, humornya seorang penjual dapat meningkatkan keinginan konsumen untuk membeli sebesar 18% (O’quin & Aronoff, 1981).

Orang yang suka tersenyum sebagai tanda perasaan bahagia ternyata lebih panjang umurnya selama tujuh tahun dibandingkan dengan mereka yang suka marah (Abel & Kruger, 2010).

Bisa jadi inilah salah satu penjelasan ilmiah, mengapa Nabi Mahammad sekitar 14 abad yang lalu mengatakan: “Senyuman kepada saudaramu adalah sedekah”.(HR At-Tirmidzi No.1956).

Dalam beragam hadis, Nabi Muhammad mengajak kita untuk menghindari marah, dan beragam nasihat terkait strategi mengatasinya. Jika terpancing marah ketika berdiri, maka duduklah. Jika belum reda, berbaringlah. Dalam hadis lain, disebutkan bahwa karena marah disebabkan oleh setan yang terbuat dari api, maka jika marah, ambillah wudu.

Nasihat lainnya adalah jika kita terpaksa marah, maka harus mengendalikan lisan dan tangah. Untuk saat ini ketika di tengah penetrasi Internat yag luar biasa, juga perlu ditambah dengan mengendalikan jari untuk mengetik pesan-pesan kemarahan di beragam media, utamanya media sosial.

Sekali lagi, di tengah situasi seperti pandemi, saya titipkan pesan sederhana: “Jangan lupa bahagia!”. Selain perasaan bahagia akan meningkatkan imunitas, bisa jadi kita sudah lama lupa bersyukur atas dengan segala nikmat yang kita punya. Rasa bahagia itu ada di dekat kita setiap saat. Caranya adalah dengan mengeluarkannya dari hati kita, dengan menambah rasa bersyukur.

Rumus ini insyaallah tidak hanya berlaku ketika pandemi, tetapi untuk sepanjang hidup kita. Semoga pesan sederhana ini, selalu Saudara ingat selalu, meski sudah berkiprah di luar sana.

Tentu, ketika Saudara berkarya nanti, yang dibutuhkan tidak hanya tersenyum dan tertawa bersama. Ada banyak keterampilan hidup lain, terutama di saat menantang seperti ini, termasuk pola pikir untuk terus bertumbuh, pembelajaran sepanjang hayat, pemikiran kritis, bertahan hidup, resiliensi, fleksibilitas, dedikasi, perasaan nyaman berhadapan dengan ambiguitas, pola pikir pendampingan, sampai dengan perasaan nyaman dengan lingkungan virtual (Forbes Human Resources Council, 2020).

Tetaplah menjadi orang baik, yang keberadaannya dicari, kehadirannya dinanti, kepergiannya dirindui, kebaikannya diteladani, dan kematiannya ditangisi.

Semoga Allah senantiasa membimbing langkah kita dan memudahkan kita dalam menjalani setiap peran yang kita mainkan.

 

Referensi

Abel, E. L., & Kruger, M. L. (2010). Smile intensity in photographs predicts longevity. Psychological Science, 21(4), 542-544.

D’Acquisto, F. (2016). Editorial overview: Immunomodulation: Exploiting the circle between emotions and immunity: impact on pharmacological treatments. Current Opinion in Pharmacology, 29, viii-xii.

Decker, W. H. (1987). Managerial humor and subordinate satisfaction. Social Behavior and Personality: An International Journal15(2), 225-232.

Forbes Human Resources Council (2020). The top 10 skills recruiters are looking for in 2021. Forbes, 9 November. Tersedia daring di https://www.forbes.com/sites/ forbeshumanresourcescouncil/2020/11/09/the-top-10-skills-recruiters-are-looking-for-in-2021/

Gray, A. W., Parkinson, B., & Dunbar, R. I. (2015). Laughter’s influence on the intimacy of self-disclosure. Human Nature26(1), 28-43.

Johnson, K. J., Waugh, C. E., & Fredrickson, B. L. (2010). Smile to see the forest: Facially expressed positive emotions broaden cognition. Cognition and Emotion, 24(2), 299-321.

Maan, A. (2018). Why we need best friends at work. Tersedia daring di https://www.gallup.com/workplace/236213/why-need-best-friends-work.aspx

O’quin, K., & Aronoff, J. (1981). Humor as a technique of social influence. Social Psychology Quarterly, 44(4), 349-357.

Pressman, S. D., & Black, L. L. (2012). Positive emotions and immunity. Dalam S. C. Segerstrom (ed.). The Oxford Handbook of Psychoneuroimmunology, hal. 92-104, OUP.

Scharlemann, J. P., Eckel, C. C., Kacelnik, A., & Wilson, R. K. (2001). The value of a smile: Game theory with a human face. Journal of Economic Psychology, 22(5), 617-640.

Shimamura, A. P., Ross, J. G., & Bennett, H. D. (2006). Memory for facial expressions: The power of a smile. Psychonomic Bulletin & Review, 13(2), 217-222.

 

Sambutan pada Wisuda Periode II dan III Tahun Akademik 2020/2021 Universitas Islam Indonesia, 27 Februari 2021