Pring Pethuk Bamboofest 2025

Bambooland Indonesia (BLID) adalah sebuah organisasi sosial yang menyediakan waralaba gagasan hulu hilir pemuliaan dan pemanfataan bambu mendapatkan kepercayaan untuk memanfaatkan Layanan Dana Masyarakat untuk Lingkungan melalui  Dukungan Sumber Dana Kerja Sama Indonesia Norwegia  Tahap 2&3 [FOLU-NC2&3]. Layanan dana ini dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup. Yang mendanai program Bamboo Scholae: Culinary Diplomacy untuk Peningkatan Ekonomi Sirkular Kawasan Tematik Bambu, dari sindikasi Bamboland Indonesia.

Rebung bambu sebagai salah satu khazanah kekayaan bahan makanan belum optimal pemanfaatannya sebagai menu kuliner di  Indonesia. Di sisi lain, permintaan arang bambu sebagai bahan memasak resto-resto bebakaran, bahan penjernih air, bahan penyerap kelembaban, dan lain-lain. Bahan arang aktif bambu juga digunakan untuk pemurnian air, penyerap gas berbahaya, bahan penahan api, purnian bahan bakar (katalis), sampai bahan makanan dan kosmetika.

Dari banyaknya kegunaan rebung bambu tersebut menginspirasi Bamboo Scholae atau Sekolah Bambu menggelar pelatihan Pembuatan Arang Bambu (Workshop Arangabu) dan Pelatihan Memasak Rebung Bambu (Rebung Reborn Workshop) selama 2 hari, Sabtu – Minggu (12-13/07) bertempat di Ballab atau Bamboo Living Labo yang dikelola oleh sindikasi Bambooland Indonesia sejak tahun 2017. Diikuti oleh 50 peserta warga lokal dan masyarakat yang berminat dengan syarat pendaftaran, berdedikasi dan menunjukkan motivasi lanjutan setelah program usai.

Yulianto P. Prihatmaji, selaku kolaborator Bambooland Indonesia mengatakan bahwa program ini merupakan usaha berkelanjutan sindikasi Bambooland Indonesia untuk terus memanfaatkan tegakan, program dan turunan bambu secara beradab dan lestari di Indonesia. Pelatihan ini mendatangkan narasumber peneliti dari Badan Riset Inovasi Nasional, Dr. Saptadi Darmawan dari Pusat Riset Biomassa dan Bioproduk menyampaikan kajian dan peluang produksi dan produk arang bambu dan asap cair. Narasumber lain, Rahayu Rahayu Sumartinah dari Dapoer Timoer Resto hadir untuk memasak 11 menu masakan berbahan dasar rebung bambu terdiri dari 3 menu makanan ringan dan 8 menu makanan utama.

Hasil pelatihan, Kata Yulianto, dirayakan dalam acara Rebung Bujana wujud Dahar Kembul Mustika Rasa Rebung, sebagai ungkapan syukur atas sewindu kehadiran Bambooland Indonesia (BLID). Delapan tahun layanan BLID disyukurayakan bersama peserta, warga dan tamu undangan diwujudkan dalam delapan menu masakan utama.

“Acara ini sebagai rangkaian Pring Pethuk Bamboofest yang dihelat rutin sejak 2022 di Sleman dalam berbagai ragam, skema dan skala kegiatan sebagai ruang aktivasi kesenian dan kebudayaan bambu di D.I. Yogyakarta. Diharapkan dari acara ini produk Arang Bambu dan Rebung Bujana bisa menjadi alat dan seni diplomasi kuliner rebung di level nasional dan internasional yang akan meningkatkan ekonomi sirkular di kawasan tematik bambu,” harap Ketua Program Studi Profesi Arsitek UII. (YPP/AHR/RS)

UII Aksi Bela Palestina

Ratusan mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) berkumpul di pelataran Auditorium Prof. K.H. Kahar Muzakkir dalam sebuah aksi solidaritas bertajuk “Aksi Bela Palestina: Palestina Terluka, UII Membela”. Aksi ini menjadi bentuk nyata dukungan moral dan kemanusiaan dari sivitas akademika UII terhadap penderitaan rakyat Palestina yang hingga kini masih menghadapi genosida dan penjajahan oleh rezim Zionis Israel.

Aksi ini merupakan kolaborasi sejumlah Lembaga Dakwah di lingkungan UII, yakni KODISIA (Korps Dakwah Mahasiswa UII), TMUA (Takmir Masjid Ulil Albab), HAWASI (Hafidz Hafidzah Mahasiswa UII), UAM (UII Ayo Mengajar), DHM (Dakwah Hijrah Mahasiswa), dan LDK Al Fath. Bersama-sama, mereka menggelar acara yang berlangsung tepat setelah pelaksanaan salat Jumat dan melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk anak-anak dan warga sekitar.

Acara dibuka oleh dua pembawa acara, Sinta Prasetya Dewi dan Muhammad Agus Kurniawan, yang memandu jalannya aksi dengan khidmat. Kemudian, suasana dibuat hening dan penuh haru ketika Muhammad Zaki Tasnim Mubarok dan Diha Maulana Yusuf membacakan puisi bertema kemanusiaan dan perjuangan Palestina. Salah satu penggalan puisinya menyayat hati peserta aksi:

“Biarlah aku mati sebagai puisi,
Biarlah aku hidup sebagai bait terakhir yang tak pernah tunduk.
Dan akupun diam, bisu, karena malu
tlah membiarkan anak sekecil itu mengajarkan makna iman dengan cara paling kejam.”

Pembacaan puisi ini menjadi pengingat bahwa tragedi kemanusiaan yang berlangsung di Palestina bukan hanya statistik, melainkan kisah pilu yang mengiris nurani. Setelah sesi puisi, giliran dua mahasiswa, Dimas Al Fath dan Alfin Ibnu Hady, menyampaikan orasi mereka. Dalam orasinya, Alfin dengan lantang menyerukan:

“Saudara saudari sekalian. Siang hari ini, di tengah awan yang mending ini, kita akan menunjukkan kepada para pemimpin dunia bagaimana seharusnya bertindak.”

Orasi tersebut disambut dengan pekikan takbir dan seruan solidaritas dari para peserta aksi yang memenuhi area pelataran auditorium. Mereka membawa poster-poster bertuliskan “Free Palestine”, “Stop Genocide”, dan “Humanity for All”, sebagai simbol perlawanan terhadap penjajahan dan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina.

Puncak acara ditandai dengan pembacaan Pernyataan Sikap Mahasiswa UII oleh Rival Mustaba. Dalam pernyataan tersebut, mahasiswa UII menegaskan lima poin sikap terhadap tragedi kemanusiaan yang terjadi di Palestina yaitu Pertama, bertekad untuk terus berdiri bersama rakyat Palestina dan mendukung kemerdekaannya dari segala bentuk penjajahan. Kedua, mendesak seluruh negara di dunia untuk mengakui kemerdekaan Palestina dan memberikan keanggotaan penuh dalam forum-forum internasional. Ketiga, menuntut agar Israel diadili di mahkamah internasional sebagai penjajah dan pelaku kejahatan kemanusiaan.

Keempat, mendukung sikap Pemerintah Indonesia untuk tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel dalam kondisi dan alasan apapun. Kelima, mendukung kebebasan berekspresi masyarakat internasional, termasuk di dunia kampus, dalam menyuarakan dukungan bagi Palestina. Poin-poin tersebut tidak hanya menjadi sikap simbolis, namun juga bentuk komitmen mahasiswa UII untuk terus menggaungkan perjuangan Palestina di berbagai ruang publik, baik melalui aksi nyata maupun kampanye sosial di media.

Acara diakhiri dengan pembacaan doa oleh Muhammad Farhan Shiddiq, yang memohon keselamatan dan kemerdekaan bagi rakyat Palestina serta keistiqamahan umat Islam di seluruh dunia untuk terus membela keadilan. Suasana haru menyelimuti akhir acara, di mana banyak peserta meneteskan air mata dan saling berpelukan sebagai bentuk simpati mendalam atas tragedi yang terus berulang di tanah para nabi.

Aksi ini menjadi bukti bahwa semangat kemanusiaan dan solidaritas masih hidup di kalangan mahasiswa, khususnya di lingkungan UII. Melalui kegiatan ini, mahasiswa tidak hanya menjadi pelajar di ruang kelas, tetapi juga menjadi agen perubahan yang membawa suara-suara kebenaran ke ranah publik. Dengan aksi damai dan bermartabat ini, mahasiswa UII menegaskan bahwa isu Palestina bukan hanya isu umat Islam, melainkan isu kemanusiaan yang seharusnya menggugah hati nurani siapa pun yang cinta perdamaian. (MFPS/AHR/RS)

Dalam upaya mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni, terjangkau, dan berkelanjutan bagi masyarakat berpenghasilan rendah di Kota Yogyakarta, Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPUPKP) Kota Yogyakarta memulai kegiatan penanganan kawasan kumuh di RT 18 RW 04 Kelurahan Kotabaru pada Kamis (03/07). Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan konsep penataan MAHANANNI (Perumahan dan Permukiman Layak Huni) melalui skema konsolidasi lahan, yang didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Yogyakarta Tahun Anggaran 2025.

Program tersebut bertujuan untuk mengurangi luasan kawasan kumuh sekaligus menuntaskan nilai scoring kumuh menjadi nol, serta menjadi bagian dari Kegiatan Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh di Kota Yogyakarta.

Program Studi Profesi Arsitek (PPAr), Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP), Universitas Islam Indonesia (UII) kembali berpartisipasi aktif dalam proses desain dan perencanaan terkait penataan permukiman kawasan kumuh lembah Code, Kotabaru. Melalui kegiatan mata kuliah Desain Advokasi, PPAr UII mendesain kawasan dan 33 unit rumah penduduk. Dalam program ini 10 rumah yang tidak layak akan dibangun ulang menjadi layak dan semuanya terhubung jalan kawasan lembah Code.

Wakil Rektor Bidang Kemitraan dan Kewirausahaan UII, Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D., pada kesempatan tersebut mengemukakan bahwa program tersebut merupakan kerjasama DPUPKP Kota Yogyakarta dan Universitas Islam Indonesia. “Kegiatan ini merupakan sebuah laboratorium belajar bersama, yang juga dijalankan di Nairobi, Kenya. Kedepannya akan dijadikan contoh untuk pelaksanaan program yang sama di negara lain, yang dalam waktu dekat ini akan dilaksanakan di Brazil,” tuturnya.

Kaprodi Program Studi Profesi Arsitek FTSP UII, Dr. Ar. Yulianto P. Prihatmaji, S.T., M.T., IPM, IAI, menambahkan bahwa hasil perkuliahan Advocacy Design (Addes) PPAr UII yang berkolaborasi dengan program Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh (PPKPK) Kota Yogyakarta dihilirisasi menjadi gerakan Housing Improvement Program (Hi-Move). UII mengajak jejaring nasional dan internasional dengan menggandeng The Society for the Promotion of Area Resource Centres (SPARC) India yang mengalokasikan dana untuk pembangunan kawasan kumuh di luar India, dan Strategi Pengkajian Edukasi Alternatif Komunikasi (SPEAK) Indonesia. (YPP/MNDH/AHR/RS)

Beberapa waktu lalu, dalam perjalanan dari Jakarta, saya menyempatkan diri mengunjungi sebuah toko buku. Saya membeli sebuah buku berjudul How to Tell a Story karya Meg Bowles dan kawan-kawan (2023).

Mengapa buku ini saya beli? Saya teringat perjalanan ke beberapa musem yang ada Eropa. Koleksi yang mereka punya sepintas “terlihat biasa”, tetapi mereka mampu menghadirkan narasi yang menggugah dan kontekstual, narasi yang luar biasa. Kemampuan menarasikan peristiwa atau bercerita inilah yang perlu kita asah.

Kemampuan bercerita relevan untuk banyak konteks: interaksi personal, komunikasi profesional, penyampaian gagasan di ruang publik, penulisan ilmiah, hingga penulisan status di media sosial. Cerita yang baik dapat menjembatani jarak, membangun kepercayaan, dan memikat perhatian.

Sambutan ini terinspirasi beberapa gagasan dalam buku tersebut, terkait dengan bagaimana menceritakan pengalaman yang sifatnya personal. Meski perlu juga dicatat, artikel jurnal ilmiah atau buku juga intinya adalah bercerita (Angler, 2020). Gagasan atau temuan riset yang sama, bisa diceritakan dengan cara yang berbeda.

 

Cerita yang jujur

Buku tersebut mengingatkan kita bahwa kekuatan cerita personal tidak terletak pada kehebatan tokohnya, tapi pada kejujuran dan kerentanannya. Cerita yang mampu menggugah hati adalah cerita yang tidak dibuat-buat, yang menunjukkan sisi manusiawi—tempat di mana orang lain bisa melihat dirinya sendiri. Dalam konteks ini, kelulusan bukanlah akhir cerita, melainkan kelanjutan dari perjuangan yang sudah Saudara jalani, penuh warna dan emosi.

Kita sering tergoda untuk hanya menampilkan bagian yang indah dari perjalanan kita—kesuksesan, penghargaan, dan pencapaian. Padahal, cerita yang membekas justru sering berasal dari saat-saat kita tersandung. Saat merasa tidak cukup pintar. Saat nilai tidak sebaik harapan. Saat waktu hampir habis dan ide belum juga muncul. Tapi Saudara memilih bertahan. Di sanalah keajaiban narasi dimulai.

Dalam dunia yang makin dipenuhi dengan citra sempurna, keberanian untuk mengakui ketidaksempurnaan adalah tindakan radikal. Cerita tentang bagaimana Saudara pernah gagal, lalu bangkit, lebih jujur dan lebih kuat dibanding cerita kemenangan yang steril. Karena justru di saat-saat terendah, karakter diuji dan dibentuk. Dan di situlah orang lain bisa belajar, terinspirasi, dan terhubung secara emosional.

Cerita hidup bukan lomba pencitraan. Ia bukan katalog prestasi, melainkan perjalanan batin. Maka, tak perlu malu untuk bercerita tentang rasa takut, keraguan, atau kesedihan yang Saudara alami selama masa studi. Sebab, setiap detik yang Saudara lalui adalah bagian sah dari perjuangan, dan tidak satu pun dari itu sia-sia.

 

Menulis cerita hidup

Cerita yang layak dibagikan bukan yang membuat kita terlihat hebat, tapi yang menunjukkan kita tetap berusaha meski keadaan sulit. Dan orang-orang tidak terinspirasi karena kita tak pernah jatuh, melainkan karena kita selalu berusaha bangkit. Cerita seperti inilah yang membentuk empati, memantik semangat, dan menumbuhkan rasa percaya bahwa setiap orang punya ruang untuk berkembang.

Kegagalan bukan tanda bahwa Saudara lemah, tetapi bahwa Saudara sedang belajar. Bahkan, keberhasilan hari ini tidak berdiri sendiri. Ia dibentuk dari akumulasi keberanian di masa-masa sulit. Maka, jika Saudara hari ini berdiri di panggung kelulusan, itu bukan karena tidak pernah gagal, tetapi karena tidak menyerah ketika gagal.

Kelak, saat Saudara berkarya dan memimpin, ceritakanlah perjuangan itu. Jangan hanya bercerita tentang apa yang dicapai, tapi juga tentang apa yang dikorbankan, tentang luka yang sembuh perlahan, tentang air mata yang berubah menjadi kekuatan. Dunia yang kita nikmati hari ini disusun dari berjuta ketidaksempurnaan di masa lampau. Dunia tidak butuh lebih banyak kesempurnaan; ia butuh lebih banyak kejujuran.

Ingatlah: cerita paling kuat adalah yang paling manusiawi. Manusiawi berarti berani mengakui bahwa kita pernah goyah, pernah salah, tapi terus memilih berjalan. Sebagian episode cerita itu sudah Saudara susun di kampus ini.

Cerita seperti apa yang Saudara bayangkan untuk disampaikan ke anak cucu, tergantung dengan rangkaian ikhtiar baik selama mengemban beragam peran dan tanggung jawab selepas wisuda. Saya berharap di sana tidak ada cerita soal pengkhiatan, termasuk penyalahgunaan kewenangan dan korupsi.

Maka tulislah cerita hidup Saudara dengan tinta kejujuran, keberanian, dan harapan. Insyaallah, banyak orang siap mendengarkan, membacanya, dan terinspirasi.

 

Referensi

Angler, M. W. (2020). Telling science stories: reporting, crafting and editing for journalists and scientists. Routledge.

Bowles, M., Burns, C., Hixson, J., Jenness, S. A., & Tellers, K. (2023). How to tell a story: The essential guide to memorable storytelling from The Moth. Crown.

 

Sambutan pada acara wisuda Universitas Islam Indonesia, 28-29 Juni 2025.

Fathul Wahid

Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026

Suasana Selasar Auditorium Prof. Kahar Muzakkir, Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), mendadak berubah menjadi ruang dialektika yang hangat dan penuh semangat juang, Senin (30/6) sore. Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) UII bersama Pusat Studi Demokrasi dan Agama (PSAD) UII menggelar diskusi publik bertajuk “Menghidupkan Kembali Api Perjuangan di Kampus Perjuangan” yang secara khusus membahas isu krusial: Brutalitas aparat terhadap mereka yang tidak sejalan dengan rezim.

Diskusi ini menghadirkan tiga tokoh penting, Shinta Maharani, Koresponden TEMPO wilayah Yogyakarta, Despan Heryansyah, Peneliti PSAD UII; dan Rektor UII, Fathul Wahid. Ketiganya mengajak mahasiswa untuk merenungkan situasi kebebasan sipil dan akademik yang kian terdesak dalam rezim yang tak ramah terhadap suara-suara kritis.

Sejak pukul 16.00 WIB, puluhan mahasiswa berkumpul di area selasar. Antusiasme tinggi terasa dari awal hingga akhir acara. Diskusi berlangsung hidup dengan interaksi aktif antara pembicara dan peserta. Spanduk-spanduk bertuliskan “UII Melawan Brutalitas Aparat”, “UII Melawan”, dan “Kematian Perjuangan” menghiasi lokasi diskusi, menjadi simbol perlawanan sekaligus ekspresi keresahan mahasiswa atas represi yang terus terjadi di berbagai wilayah tanah air.

Shinta Maharani mengawali diskusi dengan refleksi tajam tentang pentingnya menjaga ruang bebas di lingkungan kampus. Ia mengingatkan bahwa kampus adalah tempat merawat kebebasan berpikir. “Kalau kampus sudah dibelenggu, secara kebebasan akademiknya sudah direnggut, ya bagaimana kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan bersuara itu bisa dipertahankan? Kan sulit,” tegas Shinta.

Ia juga menyinggung kasus intimidasi yang dialami oleh tiga mahasiswa UII baru-baru ini. “Teman-teman juga penting untuk mendukung terhadap tiga mahasiswa itu,” ujarnya, mengajak seluruh elemen kampus untuk bersolidaritas. Menurutnya, suara perlawanan tidak boleh padam. “Sikap tegas itu penting, salah satunya dengan diskusi seperti ini. Suara-suara seperti ini harus terus digaungkan.”

Despan Heryansyah turut memperkuat analisis dengan menyoroti lemahnya kepemimpinan sipil sebagai penyebab menguatnya dominasi militer dalam ruang publik. “Biasanya, di banyak negara, bahkan hampir di semua negara, menguatnya militer itu salah satu sebabnya adalah karena lemahnya kepemimpinan sipil. Dan itu sedang terjadi di kalangan kita sekarang,” ujarnya. Ia juga mengapresiasi keberanian UII yang tetap menyuarakan sikap kritis, berbeda dari banyak kampus lain yang justru memilih diam. “Kampus misalnya, hampir hanya UII yang berani lantang menyuarakan penolakan terhadap berbagai kebijakan,” tambah Despan.

Rektor UII, Fathul Wahid, tak tinggal diam. Dalam paparannya, ia menekankan pentingnya membangun kultur perjuangan di kalangan sivitas akademika. “Yang ingin saya ajak malah justru kulturnya, supaya kita sebagai warga negara, warga kampus, tahu haknya dan memperjuangkan haknya,” kata Fathul.

Ia menegaskan bahwa kebebasan akademik, mimbar kampus, dan ekspresi adalah hak yang harus diperjuangkan bersama. “Jadi, kebebasan akademik, kebebasan mimbar kampus, kemudian kebebasan berekspresi itu hak yang harus diperjuangkan.” Jelas Fathul Wahid

Diskusi ini bukan sekadar forum intelektual, tetapi juga perwujudan semangat keberpihakan kampus terhadap nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan. Keberanian mahasiswa dan sivitas akademika UII dalam menyuarakan kritik menjadi bukti bahwa api perjuangan belum padam. Acara ini menegaskan kembali identitas UII sebagai “Kampus Perjuangan” yang tidak gentar menyuarakan kebenaran di tengah gelombang tekanan rezim.

Dengan berlangsungnya diskusi ini, LEM UII dan PSAD UII telah membuka ruang yang penting, ruang untuk berbicara, berpikir, dan berani bersikap. Di tengah situasi demokrasi yang kian sempit, suara-suara dari kampus seperti inilah yang menjadi titik terang harapan akan masa depan yang lebih adil dan bebas dari intimidasi. (MFPS/AHR/RS)