Masa Depan Perlindungan Pekerja Migran
Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar seminar nasional bertajuk “Meneropong Masa Depan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia” pada Rabu (11/06) di Auditorium FH UII. Turut hadir 25 pekerja migran yang secara langsung hadir untuk menjadikan acara ini tidak sebatas pada forum akademik, tetapi sebagai ruang bertemu antara akademisi, pembuat kebijakan, aktivis, dan para pekerja migran.
Dalam sesi keynote speech, Dato Indera Drs. Hermono, M.A., Duta Besar RI untuk Malaysia, menekankan perlunya reformulasi menyeluruh dalam pendekatan negara terhadap pekerja migran. Ia menegaskan bahwa undang-undang nasional semestinya tidak hanya mengatur teknis pengiriman tenaga kerja, melainkan menyediakan tempat berlindung hukum dan institusional bagi Warga Negara Indonesia di luar negeri.
“Yang kita perlukan bukan sekadar perlindungan dalam arti administratif. Kita butuh pelindungan yang bermartabat, berakar pada pengakuan atas hak asasi manusia,” ujarnya, sembari mengoreksi penggunaan istilah “perlindungan” yang menurutnya kurang tepat secara terminologi hukum.
Dato Hermono juga menyoroti dua perubahan mendasar yang harus dilakukan pemerintah Indonesia. Pertama, ia menyarankan agar negara menggeser pendekatan terhadap pekerja migran dari ekonomi menjadi berbasis martabat manusia (human dignity). “Selama ini PMI dipandang sebagai komoditas ekonomi penyumbang devisa. Padahal, mereka adalah manusia yang punya hak, mimpi, dan keluarga,” tegasnya.
Perubahan kedua, lanjut Hermono, adalah perlunya perhatian yang seimbang antara pekerja migran dan keluarga mereka di tanah air. Negara, menurutnya, perlu mengembangkan sistem sosial yang juga mendukung kesejahteraan keluarga yang ditinggalkan, termasuk anak-anak pekerja migran.
Salah satu sesi yang menyentuh peserta yang hadir adalah ketika Eni Lestari Andayani Adi, mahasiswa hukum semester dua sekaligus aktivis pekerja migran, membagikan kisahnya. Eni telah menjadi pekerja migran selama lebih dari 20 tahun dan kini aktif dalam jaringan global pekerja migran. Dalam penyampaiannya, ia menekankan pentingnya Indonesia memiliki bargaining power yang kuat dalam perundingan bilateral dengan negara-negara tujuan penempatan.
“Kita tidak bisa hanya kirim tenaga kerja tanpa kekuatan tawar. Harus ada posisi yang tegas dari negara, agar pekerja migran diperlakukan sebagai manusia, bukan buruh murah,” ujarnya dengan penuh semangat, yang langsung disambut tepuk tangan audiens.
Kehadiran Eni sebagai pekerja migran sekaligus mahasiswa hukum mencerminkan jembatan yang nyata antara teori hukum dan realitas migrasi. Kisah dan perspektifnya menjadi cermin bahwa pelindungan pekerja migran adalah soal keadilan, bukan semata angka remitansi.
Seminar ini bukan hanya ruang diskusi, melainkan langkah penting dalam memperluas kesadaran sivitas akademika UII untuk ikut terlibat dalam perjuangan hak-hak pekerja migran Indonesia baik melalui riset, advokasi, maupun penguatan kebijakan berbasis keadilan sosial. (ELKN/AHR/RS)