Dampak Riset Tidak Hanya Hilirisasi

Kehadiran para doktor baru ini akan memperkuat posisi UII dalam ekosistem pendidikan tinggi—baik di tingkat nasional maupun global—melalui kontribusi akademik yang lebih bermakna, relevan, dan berguna bagi masyarakat luas.

Hingga akhir tahun 2025, UII tercatat memiliki 254 dosen bergelar doktor, atau 32,60% dari total 779 dosen yang mengabdi di universitas ini. Angka ini bukan hanya sebuah statistik, tetapi bukti konsistensi UII dalam membangun fondasi akademik yang kuat.

Selain itu, saat ini terdapat 202 dosen UII yang sedang menempuh studi doktoral di berbagai perguruan tinggi bergengsi, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Berdasarkan proyeksi yang realistis, jumlah dosen berpendidikan doktor di UII ke depan berpotensi mencapai 456 orang, atau sekitar 58,54% dari total dosen.

Pertumbuhan ini menunjukkan dua hal penting: pertama, komitmen institusi untuk terus berinvestasi pada pengembangan sumber daya manusia akademik; dan kedua, kesungguhan para dosen untuk meningkatkan kapasitas diri sebagai ilmuwan dan pendidik.

Dengan bertambahnya jumlah doktor, UII semakin memiliki modal intelektual yang kuat untuk mendorong riset bermutu, memperluas jejaring akademik, dan menghasilkan inovasi yang relevan bagi masyarakat.

 

Keragaman tradisi

UII dengan penuh rasa syukur menyambut 33 doktor baru yang telah berhasil menuntaskan studi S3 di berbagai perguruan tinggi, baik di dalam maupun di luar negeri. Selain dari beragam perguruan tinggi di Indonesia, sebagian doktor lulusan tahun 2025 ini juga menempuh pendidikan di beragam kawasan dunia—mulai dari Australia, Brunei Darussalam, Estonia, Jepang, Korea, Malaysia, Swedia, Turki, hingga Inggris—yang semuanya memberikan pengayaan perspektif dan pengalaman akademik yang sangat berharga.

Dari 33 doktor baru tersebut, 16 dosen menyelesaikan studi di universitas dalam negeri, sementara 17 lainnya meraih gelar doktor dari perguruan tinggi luar negeri.

Keberagaman lintasan akademik para doktor baru ini sungguh mencerminkan keluasan orientasi intelektual UII serta keterbukaan kita terhadap kolaborasi dan pertumbuhan nasional dan global. Para doktor baru kembali dengan pengalaman belajar yang beragam, dengan perspektif yang dibentuk oleh dialog lintas negara, lintas budaya, dan lintas tradisi keilmuan.

Dalam banyak hal, keberagaman ini dapat kita ibaratkan seperti hutan multikultur—sebuah ekosistem yang terdiri atas pepohonan dari berbagai jenis, yang tumbuh berdampingan, saling menguatkan, dan menciptakan ketahanan yang jauh lebih kokoh dibandingkan hutan monokultur.

Hutan multikultur mampu menahan badai lebih baik, memulihkan diri lebih cepat, memberikan manfaat ekologis yang lebih luas, dan menjadi sumber kehidupan bagi lebih banyak makhluk.

Demikian pula UII: keberagaman keilmuan, latar pendidikan, dan pengalaman nasional dan internasional para doktor baru menjadikan universitas ini lebih resilien, lebih subur secara intelektual, dan lebih siap menghadapi tantangan zaman.

Saya meyakini bahwa ragam latar belakang pendidikan tersebut tidak hanya memperkaya pandangan keilmuan di lingkungan UII, tetapi juga membuka jalan bagi jejaring kolaborasi yang semakin luas dan strategis.

Perjalanan untuk mencapai gelar doktor tidak hanya menuntut ketekunan, tetapi juga kedewasaan intelektual. Gelar ini menandai kesiapan para doktor baru untuk menjadi penjaga nalar publik dan penggerak transformasi di lingkungan akademik maupun masyarakat luas.

 

Dampak riset

Dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat kuatnya dorongan nasional untuk menilai dampak riset terutama melalui hilirisasi—komersialisasi, penciptaan produk, atau kontribusi ekonomi. Hilirisasi tentu penting, namun jangan sampai kita justru menyempitkan makna riset.

Terdapat empat alasan mendasar mengapa pendekatan tersebut tidak memadai.

Pertama, riset menghasilkan dampak yang jauh lebih luas daripada komersialisasi. Ada dampak ilmiah yang memperkuat teori dan pengetahuan; dampak sosial yang mengubah praktik dan perilaku; dampak kebijakan yang memperbaiki regulasi; hingga dampak budaya dan lingkungan yang menjaga keberlanjutan kehidupan. Jika hanya dilihat dari hilirisasinya, kita mengabaikan kontribusi riset lain yang tidak kalah penting bagi masyarakat.

Kedua, pendekatan hilirisasi tidak adil bagi banyak disiplin ilmu. Humaniora, ilmu sosial, hukum, pendidikan, dan studi keagamaan tidak selalu berujung pada produk industri, tetapi memberikan kontribusi besar melalui pemikiran kritis, transformasi sosial, dan penguatan moral masyarakat. Jika kita memaksakan hilirisasi sebagai satu-satunya indikator, kita justru meminggirkan banyak disiplin.

Ketiga, hilirisasi lebih menekankan output jangka pendek—prototipe, paten, atau produk. Padahal banyak dampak riset yang bersifat outcome jangka panjang: perubahan sistem, peningkatan kualitas institusi, penguatan kapasitas masyarakat, dan perbaikan tata kelola. Dampak semacam ini tidak dapat direkam oleh indikator hilirisasi  tetapi tetap menjadi kontribusi penting.

Keempat, perguruan tinggi bukanlah pabrik inovasi komersial. Universitas adalah rumah pencarian kebenaran, ruang dialog intelektual, dan tempat menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Jika dampak riset direduksi hanya pada hilirisasi, universitas dapat kehilangan orientasi dasar sebagai institusi pengetahuan yang melayani kepentingan publik. Kita harus memastikan bahwa inovasi tidak menggeser integritas, dan bahwa perkembangan teknologi tetap berpijak pada nilai-nilai perenial, kemanusiaan, dan kebangsaan.

Empat argumen tersebut bukan hanya kerangka pikir, tetapi penanda tanggung jawab. Para doktor baru telah memasuki fase baru pengabdian ilmiah. Saya berharap para doktor baru menjadi ilmuwan yang mampu melihat dampak riset secara utuh—yang tidak hanya mengejar produk, tetapi juga mengejar perubahan sosial, memperkuat nilai, dan membangun masa depan bangsa.

Keragaman perspektif ini, menurut saya, diperlukan untuk tetap menjaga akal sehat lembaga pendidikan tinggi. Tentu, perspektif yang baru saja saya sampaikan tidak lantas mengerdilkan arti penting hilirisasi.

Saya berharap, para doktor baru akan memajukan ilmu pengetahuan tanpa kehilangan orientasi kemaslahatan; yang menghadirkan inovasi tanpa melupakan integritas; dan yang memadukan keunggulan akademik dengan kepedulian terhadap sesama.

UII berharap kehadiran para doktor baru akan memperkuat ekosistem riset yang inklusif, berakar pada nilai, dan berdampak luas bagi masyarakat. Selamat pulang kampus di Universitas Islam Indonesia.

Semoga Allah Swt. meridai setiap langkah kita dalam memajukan ilmu dan memuliakan kehidupan.

Sambutan pada acara penyambutan doktor baru Universitas Islam Indonesia, 11 Desember 2025

Fathul Wahid

Rektor Universitas Islam Indonesia 2022-2026