Budaya Agama dalam Perdagangan Intan di Martapura

Praktik dan relasi sosial yang terbentuk dalam perdagangan intan di kota Martapura dikupas secara menarik oleh Program Doktor Hukum Islam UII. Acara bertajuk bedah buku “Budaya Agama Dalam Transaksi Jual Beli Intan Melalui Pengempit di Martapura Kalimantan Selatan” ini diadakan pada Kamis (26/8) secara daring. Sang penulis buku, Dr. Amelia Rahmaniah, M.H. turut hadir dalam acara tersebut.

Ia melihat fenomena jual beli intan di Martapura mempunyai keunikan tersendiri dan dapat dijadikan sebagai budaya dalam daerah setempat. Kebiasaan dan rutinitas jika dimaknai secara ilmiah tentu akan memberikan manfaat. Pelaku ekonomi yang dikaji dalam bukunya adalah Suku Banjar yang mendiami daerah aliran sungai dari Banjarmasin sampai Amuntai. 

Martapura sebagai kota Intan memiliki komplek pertokoan permata Cahaya Bumi Selamat yang menjadi tujuan wisata. Produk unggulannya termasuk berbagai macam produk batu mulia, seperti intan. Transaksi jual beli intan melalui pengimpit memiliki lima poin yaitu bentuk transaksi, lamanya waktu, upah pengempit, uang jaminan, dan pencatatan.  

Transaksi jual beli ini mengandung nilai budaya Kerakatan dan Baparcayaan. Keduanya memiliki makna religius berupa solidaritas sosial dan amanah. Selain itu, makna sosial juga turut dituangkan dalam konsep ini. “Mempertahankan eksistensi dan membangun hubungan yang saling membutuhkan di antara sesama mereka (orang Banjar),” tulis Amelia dalam paparannya. 

Sebagai pengulas buku, Dr. Elsy Renie, M.Ag., Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah IAIN Batusangkar mengatakan membaca buku ini seperti berwisata ke Kalimantan. Pendekatan antropologi yang dipaparkan begitu terasa dalam penulisan yang ada. Buku ini ditinjau dalam sudut pandang relasi bisnis dalam Islam. 

Dalam transaksi yang dilakukan dinilai menggunakan dua akad yaitu Wakalah dan Ijarah. Kedua akad ini menurutnya tidak berdiri sendiri. “Wakalah misalnya, transaksi dilakukan dan terjadi peralihan kemudian adanya nilai dan harga yang dibelikan kembali oleh pemilik intan,” jelasnya.

Dalam transaksi seringkali juga ditemukan permasalahan. Proses penyelesaian permasalahan berbentuk perdamaian. Sengketa atau pertikaian yang ada juga diakibatkan persentuhan masyarakat dengan ekonomi kapitalis, seperti adanya lembaga gadai. Menyelesaikan setiap permasalahan dengan sabar tanpa kekerasan telah berjalan lama dalam budaya Kalimantan. 

Senada, pengulas buku lainnya Dr. Muhammad Muslich KS, M.Ag. berpendapat beberapa aspek penting yang dimiliki oleh masyarakat Suku Banjar dijelaskan dengan gamblang lewat kehadiran buku ini. 

Muslich mengatakan penelitian dalam budaya agama ini tentu sangat penting dalam berkehidupan bermasyarakat. “Saya mengalami betul, bagaimana perilaku budaya jual beli, politik, dan lainnya. Kita tidak perlu menentangkan budaya dan agama. Namun, relasi sosial dari keduanya itu muncul. Dan tantangan bagi kita adalah untuk mengharmonisasikan keduanya,” tutupnya. (KR/ESP)