Diperlukan Payung Hukum Untuk Berantas Ideologi Terorisme

Terorisme tidak dapat dipisahkan dari radikalisme. Terorisme merupakan aksi, sedangkan radikalisme adalah paham yang menjiwai aksi tersebut. Terorisme dianggap sebagai extraordinary crime karena dapat menyebabkan kerusakan negara hingga menimbulkan ketakutan di masyarakat. Tidak hanya itu, terorisme juga menimbulkan fitnah terhadap agama dan berpotensi menimbulkan konflik yang lebih luas.

Demikian seperti disampaikan Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid, S.E., M.M. (Direktur Pencegahan BNPT RI) dalam webinar yang diselenggarakan oleh LKBH FH UII. Webinar bertema “Problematika Penegakan Hukum Tindak Pidana Terorisme” ini diadakan secara daring pada Sabtu (3/4).

Menurutnya semua tindakan dalam terorisme sangat bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. “Adanya UU No. 5 Tahun 2018 sangat membantu Polri karena berwenang melakukan tindakan preventif straight. Polri bisa menangkap orang yang telah memenuhi kategori seorang teroris. Sebelum UU ini, Polri tidak bisa melakukan penangkapan sebelum mereka melakukan tindakan terorisme,” ujarnya. Dengan begitu, Polri dapat melacak keberadaan terorisme dan melakukan upaya pencegahan terhadap orang-orang yang telah masuk ke jaringan terorisme.

Ia berpendapat penyerangan ke Mabes Polri oleh wanita berinisial ZA, merupakan tindakan terorisme kategori lone wolf. Pelaku melakukan aksinya seorang diri yang tidak terikat dengan jaringan terorisme, namun punya kesamaan ideologi. Teroris kategori itu cukup sulit dideteksi mengingat banyak warga Indonesia yang bersimpati dengan kelompok teroris internasional seperti ISIS. Ia juga berpendapat tentang perlunya payung hukum yang melarang ideologi terorisme.

Sementara itu, Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum (Dekan FH UMY dan Ketua MHH PP Muhammadiyah) lebih menyorot bahwa tindakan terorisme prinsipnya adalah peperangan. Sedangkan UU No. 5 Tahun 2018 menggunakan sistem peradilan pidana. Implikasinya penanganan terorisme harus sesuai dengan koridor penegakan hukum pidana yang tetap menghargai hak asasi manusia terduga teroris.

Namun ia mencatat dalam penanganan terorisme ada tiga hal yang seringkali tidak sejalan dengan hal itu, yaitu: 1) adanya semboyan mematikan bukan melumpuhkan, 2) data Komnas HAM sepanjang tahun 2016 ada 121 kasus, 3) saat ini tidak kurang dari 131 terduga (Tersangka) mati saat upaya penangkapan.

“Dengan memperhatikan tiga hal tersebut, seharusnya dalam penanganan tindak pidana terorisme ini, dilakukan dengan pelumpuhan, yang kemudian dari itu dapat dilakukan interogasi untuk menemukan pemimpin dari jaringan terorisme tersebut. Dengan begitu, dalam penanganan kasus terorisme ini, seharusnya dapat dilakukan secara terbuka dan tetap memperhatikan HAM warga negara, karena pengaturan ini menggunakan sistem peradilan pidana,” ucapnya.

Ia menambahkan penanganan terorisme dapat melibatkan LSM untuk melakukan penyadaran terhadap pelaku terorisme, bukan pemberantasan dengan membunuh pelaku terorisme. Perlu keterbukaan dalam proses penanganan teroris yang selama ini dijalankan Densus 88.

Di sisi lain, pengawasan dalam menangani terorisme oleh aparat juga perlu diperkuat serta ada transparansi mengenai anggaran pencegahan dan penindakan tindakan terorisme. “Terorisme adalah tindakan kejahatan yang tidak baik, maka untuk menanganinya dalam melakukan penegakan hukumnya harus dilakukan dengan baik sesuai dengan sistem peradilan pidana,” tandasnya. (EDN/ESP)